“Apa Nyonya baik-baik saja Tuan?” Andreas sebenarnya ragu untuk bertanya, terlebih wajah Illarion semakin tertekuk dalam, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.
“Menurutmu?” Sepatah kata yang diucapkan Illarion barusan, lebih terasa sindiran daripada sebuah pertanyaan bagi Andreas.
Andreas langsung menyesali pertanyaanya atas dasar penasaran itu. Pria yang merupakan ‘tangan kanan’ Pangeran Hitam itu menelan saliva, dan mengutuk diri kenapa berani bertanya seperti itu. ‘Tapi kenapa ia terlihat begitu geram dengan gadis itu?’
Tiba-tiba suara lirih Amanda terdengar mengigau di antara tidurnya. “Tuan Apollo … hentikan, kumohon Tuan Apollo.”
‘Ah gadis sialan ini m
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
Segera Illarion dan Andreas berlari ke sumber suara. Tapi langkah mereka terhenti saat melihat hujan panah berapi berjatuhan di tempat pasukan hitam berkemah, seolah balasan atas apa yang mereka lakukan tadi siang. Gelap malam berubah menjadi terang benderang seakan matahari muncul kembali di tengah hari. Dan saat keadaan semakin carut marut, rombongan besar tentara bayaran mengepung tempat itu. “Sial!” umpat Andreas. “Jumlah mereka lima kali lebih banyak dari sebelumnya, Tuan.” Perkataan itu ia tujukan untuk Illarion, tapi pria bersurai hitam itu justru sudah tak berada lagi di sebelahnya. Pangeran Hitam ternyata sudah melesat cepat menuju tenda tempat Amanda berada. “Mereka tak akan membiarkan kita semudah itu kan?” ujar Illarion sambil tersenyum miring menghujamkan pedangnya ke arah tentara bayaran yang mulai merangsek masuk.
Di hadapan mereka berdua para bandit itu masih terus berdatangan tak habis-habis. Pemandangan yang begitu mengerikan bagi Amanda, padahal beberapa jam lalu ia baru saja mengalami hal saat orang-orang mempermainkan tubuhnya bak bola sepak. Dan sekarang jumlah pria-pria itu berkali-kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Kemudian hal yang membuat iris ungunya menatap nanar ketakutan adalah, pria tinggi besar di depannya sedang bermandi darah. Seluruh tubuh Illarion seolah tertutup cairan kental berwarna merah segar. Selanjutnya, suara daging terkoyak dan jeritan menuju ajal terdengar jelas di gendang telinga Amanda. Bahkan saat Amanda memanggil suami sahnya itu, Illarion sedang memegang sebuah kepala dengan mulut terbuka lebar. Gadis itu ingin memuntahkan apa pun yang ada di dalam perutnya. Pemandangan ini terlalu mengerikan untuk Amanda.
Illarion hanya balas mengangguk sebagai jawaban kode dari Andreas. “Lebih keras,” pinta putra mahkota ketiga Anarka itu pada Amanda yang masih bernyanyi di punggungnya. Amanda mengeraskan suaranya untuk menyanyikan lagu yang entah berapa kali ia ulang. “Pelukan Bunda yang hangat…” “Anakmu merindukannya, sangat merindukannya…” Andreas masih terus menghalangi musuh yang tak berkesudahan, memberi kesempatan pada Pangeran Hitam dan istrinya untuk pergi dari medan peperangan itu. Sebenarnya Illarion tak ingin lari dari peperangan, ia ingin bertarung sampai mati bersama jenderal kepercayaannya. Tapi kenyataan yang ada tak bisa seperti itu. Pria bersurai hitam
Cahaya mentari berpendar indah di iris ungu Amanda yang terbuka perlahan. Rasa kebas di tubuh akibat pukulan yang ia terima kemarin sudah jauh berkurang. Amanda jadi bertanya-tanya dalam hati, ‘apa aku sudah terbiasa dipukuli dan merasakan sakit, hingga bisa sembuh dengan cepat?’ . Tanpa gadis itu ketahui, obat yang Illarion beri lewat ciuman semalam sepertinya sangat mujarab. 'Tidurku pun nyaman sekali, membuat tak ingin segera bangun,' pikir Amanda sambil bergelung masuk semakin dalam rangkulan seseorang. Deg! Amanda langsung membuka mata, semua indera miliknya waspada. Ia baru sadar kalau tertidur di pelukan seorang pria! "Pergi!!! Lepas!!!" Amanda berteriak lantang bak kesurupan, ledakan ketakut
Illarion kembali ke tempat perkemahannya semalam. Dari puncak bukit ia bisa melihat kepulan asap dan beberapa titik api yang sudah padam. ‘Semuanya luluh lantak,’ pikir pria itu sambil menatap datar satu titik. Sosok mayat tertambat di atas kayu pancang, wajahnya sudah tak dapat dikenali lagi karena begitu rusak. Tapi Ilarion tahu, itu adalah sosok jenderal pemberani yang menemaninya dari hari pertama ia diterjunkan ke medan perang. Illarion mengeraskan rahang, dadanya sesak. “Hamba bersumpah setia pada Anda Tuan,” ujar Jenderal Andreas ketika pertama kali ditunjuk sebagai pendamping Illarion. Perkataan itu Jenderal Andreas ucapkan sambil menyayat telapak tangan dan meneteskan darah di atas cawan, sebuah janji sakral bagi kesatria yang akan setia sampai pada Tua
Illarion masuk ke kedai makanan yang cukup ramai di desa itu, ia butuh sesuatu untuk mengisi perutnya yang kosong. Lucunya ia malah tak sempat memakan sedikit pun daging rusa gemuk yang ia tinggalkan di atas perapian semalam. ‘Ia pasti sedang menghabiskan daging itu dengan lahap. Ah kenapa juga aku memikirkan gadis itu. Ia bisa pergi kemanapun sekarang, mungkin merayu pria lain atau menanyakan jalan menuju Landyork.’ Setelah memesan beberapa potong roti dan sup ayam, Illarion duduk di sudut ruangan. Gerombolan pria besar mengenakan seragam tentara kerajaan Anarka sedikit membuat suasana kedai itu gaduh. Dengan arogan mereka memesan makanan dan menyingkirkan pelanggan lain hanya untuk duduk di tempat yang menurut mereka paling nyaman. Illarion masih bergeming di tempatnya, ia mendengar pelangg
Malam ini bintang di langit malam tak terlihat karena cuaca mendung, seolah selaras dengan pikiran Amanda. “Apa ia baik-baik saja? Kenapa ia belum balik? Apakah Tuan, Jenderal Andreas, dan yang lainnya mampir ke tempat lain dulu sebelum ke sini?” Amanda sudah berapa kali bolak balik di mulut gua. Sangat khawatir, mereka di serang habis-habisan kemarin siang dan saat ini Illarion belum kembali. ‘Mungkin ia sedang membawa pasukan yang terluka sehingga berjalan begitu lambat. Aku harus menyiapkan makanan juga untuk mereka, aku juga harus berguna!’ Amanda tak mengetahui seberapa parah hasil penyerangan kemarin karena matanya tertutup, dan setelahnya ia juga pingsan kelelahan sebelum sampai ke tempat persembunyian ini.
"Ia tak melawan? Menyihir atau sejenisnya? Penampilannya sesuai yang digambaran orang-orang itu?" "Ia tak melawan sama sekali, dan penampilannya sangat aneh! Benar-benar berbeda dari orang kebanyakan, terlihat seperti penyihir tua. Mengerikan!” Illarion menatap kembali kaca jendela yang terketuk-ketuk terkena tetesan hujan. 'Ia sudah tertangkap?' Kembali Illarion mengulang kalimat yang sama, "bukan urusanku." Kali ini dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya seolah meyakinkan dirinya sendiri *** Amanda meringkuk di depan gua, cahaya perapian sedari tadi sudah mati. Matanya terbuka menatap kejauhan, hanya kegelapan serta beberapa binatang melata dan gerak-gerak samar pepohonan yang terlihat.