Dan waktu terus berjalan, tetapi siksaan dari ayah kandungnya tak pernah reda, begitu pun dari ibu dan adik tirinya. Mereka merasa Amanda adalah aib besar di keluarga Broke, selain karena gadis itu yang terlahir berbeda dari kebanyakan orang, ia juga ditinggal begitu saja setelah malam pernikahannya dengan Pangeran Hitam seolah menambah daftar panjang kenapa Amanda White begitu dibenci seluruh keluarga Broke.
“Sepertinya sudah mulai memudar,” gumam Amanda, bukan merujuk pada noda hitam yang sudah tersingkir pada pantat kuali yang ia gunakan untuk bercermin melainkan pada luka memar di atas tulang pipinya. “Ayah tak pernah seperti ini. Ayah tak pernah memukulku, walau ia tak menyukaiku.”
Amanda sadar, sejak lama Baron Broke seakan kehabisan napas ketika harus satu ruangan dengan dirinya. Tapi hanya saat mereka berdua, begitu ibu kandung Amanda masuk ke ruangan yang sama, suasana jadi begitu berbeda, hangat dan penuh cinta, seperti keluarga kebanyakan.
“Cinta akan merubah segalanya,” ujar ibu Amanda di saat-saat terakhir hidupnya.
Kenyataan seolah membenarkan perkataan Ibunda Amanda. Semenjak kematian istrinya, Ben Broke mengalami kehilangan yang begitu dalam. Kepala keluarga Broke yang biasanya senang berada di rumah itu, mulai jarang pulang, dan perlakuannya yang tak suka ketika melihat Amanda mulai Ben Broke tunjukkan dengan terang-terangan.
“Kau terlalu mirip dengannya,” ujar Ben suatu hari sambil membuang mukanya ke arah lain saat melihat Amanda. “Hanya saja kau versi rusaknya,” lanjut pria itu sambil menenggak kembali botol anggurnya.
Mencoba memahami kesedihan Ayahnya, Amanda hanya diam saja menerima perkataan kasar itu. “Semua akan kembali seperti semula,” gumam Amanda saat itu.
Tapi semua tak pernah kembali, Ben Broke tenggelam terlalu dalam. Tiap hari pria tua itu hanya mencari sesuatu yang mampu mengisi kekosongan di hati, tak mempedulikan anak semata wayangnya.
“Amanda, kenalkan ini Brenda, dan ini putrinya Gisella, kalian sepantaran ia hanya terpaut delapan bulan denganmu,” begitulah Ben Broke mengenalkan keluarga baru Amanda.
“Terima kasih sudah menjadi keluargaku,” ujar Amanda waktu itu dengan tulus. Mengira dengan hal ini, ayahnya bisa kembali menjadi sosok seperti yang ia kenal sebelumnya.
Seorang pelayan bar murahan dan anaknya menatap janggal sebagai balasan pada Amanda, menurut Brenda dan Gisella, Amanda adalah sosok paling aneh yang pernah mereka temui seumur hidup, dengan kulit seputih salju, manik mata ungu besar, dan rambut keperakkan. Dan selanjutnya keberadaan Amanda dibuat semakin ganjil di kediaman itu. Mereka tak akan pernah menganggap gadis berkulit pucat itu sebagai keluarga, bahkan manusia.
Begitupun Ayah Amanda tak pernah kembali seperti dulu, ia benar-benar berubah ketika menemukan cintanya yang baru. Ben Broke biasanya merasa cukup dengan harta yang ia miliki sebagai bangsawan kelas rendah, mulai merasa tak puas. Pria itu mencoba peruntungan di meja judi, hingga berhutang di sana-sini, hal itu semata ia lakukan guna memenuhi gaya hidup istri barunya. Seolah belum cukup, Baron Broke juga menjual anak gadisnya sendiri.
Hal itu terjadi ketika Duke Alantoin yang merupakan kakak kandung sang Ratu Minerva menawarinya sebuah kesepakatan kala itu. “Bukankah kau punya anak gadis berambut tembaga yang kulihat sering berpenampilan seronok di pesta jamuan para bangsawan. Kau berhutang untuk membesarkannya, ‘kan? Kenapa tidak sekarang kau buat ia untuk membalas budimu?”
“Dengan cara?” Ben Broke balik bertanya, perasaan takut tapi juga senang membuncah di hatinya.
“Menikahkan putrimu dengan Pangeran Hitam.”
“Bunuh diri.”Itu kalimat pertama yang melintas di benak Ben Broke saat Duke Alantoin menyebutkan syarat untuk melunasi hutang-hutang Baron tua itu berikut menambah pundi-pundi harta miliknya dan menaikkan derajat kebangsawanannya menjadi seorang Duke. “Ta-tapi siapapun tahu kalau Pangeran Hitam sangat membenci keluarga sang Ratu, dan hamba pun masih memiliki keturunan yang sama dengan sang Ratu, T-tuan?” tanya Ben lagi, sekaligus mengingatkan kalau mereka memiliki hubungan kekeluargaan walau sangat jauh.
“Aku tak pernah mengatakan syaratnya mudah, bukan?” ujar Duke Alantoin mengakhiri pembicaraan.
Ben Broke pun berpikir keras, istri tercintanya tak mungkin membiarkan putri tunggal yang paling ia sayangi dikorbankan untuk kesejahteraan mereka.
“Bukannya kau punya satu anak gadis lagi, Ben?” tanya mantan pramusaji bar-brenda- dengan lengkungan tipis di bibirnya. Karena itulah kesepakatan pernikahan Pangeran Hitam dan Amanda White terjadi.
Namun, tampaknya kesepakatan yang terakhir itu kurang menguntungkan keluarga Broke, keuntungan yang Ben Broke harapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, bahkan gelar ‘Duke’ yang akan ia dapatkan lenyap begitu saja. Dan dengan dalih untuk mengurangi segala pengeluaran anggaran rumah tangga, alhasil Amanda White yang telah resmi menikah dengan Pangeran Hitam empat bulan yang lalu, sekarang malah bekerja layaknya pembantu di kediaman Baron Broke.
“Kenapa kau kerja begitu lambat?!” bentak seorang pelayan pada Amanda, menyadarkan gadis bersurai perak dari lamunannya. Segera ditaruhnya kuali itu di atas perapian, dengan cekatan Amanda memasukan bahan-bahan masakan ke dalamnya.
“Ia payah sekali!” timpal pelayan lain yang meletakan sekeranjang labu di atas meja, “Hei! Kupas ini juga segera!” perintahnya, kemudian pelayan itu malah duduk santai tak membantu Amanda yang sedang sibuk meniup bara api hingga mukanya berjelaga.
Tak lama kuah di kuali itu mendidih. Pelayan yang sedari tadi membentak Amanda, tanpa ijin mengambil semangkuk sup. Melihat hal itu Amanda menurunkan pisau dan labu di tangannya, “Kumohon supnya jangan dihabiskan, ayam yang tersisa tinggal dua ekor saja. Aku bisa dimarahi lagi oleh Nyonya Besar ...,” ujarnya memelas.
“Dan? Apa peduliku?” tanya pelayan itu balik sambil menaruh seporsi sup lagi dari kuali di bawah perapian. Amanda hanya membalas dengan menghela napas berat.
Tiba-tiba saja pintu dapur terbanting membuka, belum sempat teriakan protes terlontar dari dua orang pelayan di dalam ruangan itu, seseorang yang tampak di balik pintu itu ternyata Nesa si pelayan.
“Kembali! DIA KEMBALI!” teriak Nesa lantang dengan napas tersengal-sengal.
Tiga orang di dapur itu menampakan wajah bingung dan penasaran. “Siapa kembali? Dia siapa?”
“PANGERAN HITAM!” jerit Nesa.
“Oh ...,” jawab Amanda singkat mendengar kabar itu, sedangkan tiga pelayan lainnya menatap ke arahnya dengan gugup.“Dia tak akan melaporkan perbuatan kita pada suaminya, ‘kan?” bisik pelayan yang sedari tadi memerintah Amanda pada pelayan lain yang urung memakan sup di depannya.“Tenang saja ia sudah dilupakan, bahkan jika ia memberi tahu suaminya kurasa Tuan Besarlah yang pertama mati.”Amanda melirik sekilas pada mereka, kemudian kembali melanjutkan memotong tumpukan labu di hadapannya.“Kau tak tahu? Pangeran tak pernah memberimu kabar? Ayahmu tak memberi tahu?” tanya Nesa bertubi-tubi.Amanda menggeleng pelan. “Tidak” jawabnya lirih.Pelayan yang tadi berbisik itu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. “Lihat aku benar ‘kan, ia tak memiliki daya tarik! Pangeran terlalu jijik padanya hingga tak mau menyentuhnya dan sekarang malah sudah melupakannya!” u
Perhelatan besar untuk menyambut sang tuan rumah digelar di kediaman Pangeran Hitam. Tapi sebelum ke kediamannya, Illarion Black atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Hitam memberi hormat terlebih dahulu pada sang Raja Abraham di ruang peristirahatan pribadinya. Raja tua itu masih terbujur lemah di atas ranjang yang tertutup oleh kelambu mewah berwarna merah maron. Pangeran Hitam berlutut memberi hormat pada sang Raja. “Kali ini Exilas?” tanya Raja sedikit parau tapi tak sedikit pun mengurangi karisma yang dimiliki penguasa Anarka itu. “Ya,” jawab Pangeran Hitam singkat. Raja tua itu terkekeh. “Sebuah kemenangan besar kau dapatkan, tapi kenapa nada suaramu seperti kau kalah perang, Rion?” “Maaf,” jawab Pangeran Hitam singkat sekali lagi. Tak berminat sedikit pun menjawab panjang lebar pertanyaan sang Raja. Sedikit bangkit dari sandaran kepala kasurnya, Raja tersenyum sinis. “Ah rupanya kau masih membenciku, Rion.” Pangeran Hitam masi
Pangeran Hitam menembus dinginya malam dengan berkuda. Tujuan yang di tempuh tak begitu jauh, hanya sekitar beberapa jam saja dibanding ke kota-kota lain yang harus memakan waktu berhari-hari dari ibu kota Anarka. Sedikit cemas mengingat perkataan Raja tadi, Illarion jadi mengingat perkataanya ketika meninggalkan kediaman gadis itu terakhir kali. “Kita balik keperbatasan dan bawa semua pengawal. Dia akan aman karena syarat dari Raja sangat melindunginya, ia pun masih keluarga sang Ratu. Lagipula Raja tak memberi syarat bahwa aku harus bersamanya selama setahun.” Rion tak menyangka celah kecil dari perintah Raja yang ia temukan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan oleh Raja. “Pria tua itu benar-benar ingin aku berkubang dengan keluarga setan wanita,” umpat Pangeran Hitam sambil terus memacu kudanya menuju Sulli. Sesampai di sana, Illarion Black heran melihat kediaman keluarga Broke yang temaram, tak semegah terakhir seperti terakhir kali yang ia ingat. Dan ha
“Duduk? Kurasa kau sudah tak menyayangi nyawanmu lagi! Benar-benar kurang ajar, hanya karena ku nikahi kau jadi besar kepala dan berani memerintahkanku untuk duduk! Kau kira aku binatang apa! Eh... .” Tiba-tiba Rion menyadari sesuatu, terlebih saat Amanda kembali berteriak hal yang sama, tapi kali ini tangan putih itu menunjuk pada kucing hitam yang sekarang sedang duduk manis sambil menjilat-jilat kaki depannya.“Nama kucing itu-,“ Rion menghentikan kalimat tanyanya.Amanda yang berlinang air mata menatap pria itu dengan ketakutan. “Ma-maaf sa-saya benar-benar minta maaf, Tuan. Tapi saya memberi nama kucing itu jauh sebelum saya mengenal Tuan. Saya benar-benar minta maaf....” Amanda masih mengucapkan beribu kali kata ‘maaf’ sambil bersujud dengan tubuh gemetar, sedangkan di sampingnya si kucing dengan polosnya masih menjilat-jilat tubuh berbulu hitamnya.Rion tercenung menyadari apa yang terjadi, ia nyaris saja me
Amanda tampak berpikir sejenak, kemudian ia memeras kain steril itu sambil membuka mulutnya dan menelan cairan merah yang menetes dari perasan itu. Rion berdecih. “Kau bisa saja menahan cairan itu dengan lidahmu.” Mendengar Rion yang tampak kurang puas dengan cara pembuktiannya, Amanda kembali memeras kain kemerahan itu dan meneteskan ke matanya, tak lupa ia juga meneguk sedikit cairan merah di cawan yang berada di atas meja. Rion tersenyum saat melihat kerutan di dahi gadis berkulit putih itu. Amanda tampak menahan mati-matian rasa pahit yang sekarang menjalar di lidahnya. Gadis itu berdiri tegak di hadapan Pangeran Hitam, menunggu jikalau ada reaksi dari tindakannya barusan. Beberapa menit berlalu, Amanda mulai tampak gugup karena tatapan tajam Illarion yang seolah mempelajari dirinya. “Menjijikan, kulit yang putih seperti ular derik seperti kata Gisella, pasti ia berpikir seperti itu,” batin Amanda sambil menunduk memperhatikan kulitnya. “Dan rambu
“Kau kira sekarang jam berapa Amanda! Kau belum menyiap-,“ teriakan Nesa terhenti di sana, saat sebuah belati melintas cepat di sampingnya dan langsung tertancap sempurna pada bingkai pintu kayu jati di belakangnya. Mata pelayan itu terbelalak tak percaya, di hadapannya -lebih tepatnya- di atas ranjang Amanda duduk pria tampan dengan tatapan keji menatap ke arahnya. “Apa begini cara pelayan di kediamanmu membangunkan majikannya?” tanya Rion dingin pada Amanda. Sedangkan gadis bersurai perak itu tak bereaksi apapun, ia hanya menatap beku pada belati yang baru saja di lemparkan oleh Rion. Dan Nesa tak kalah terkejutnya karena ia lah yang dilempari senjata tajam itu. Pelayan itu tak menyangka mendapat pengalaman menuju kematian justru dari pria tampan bertelanjang dada yang persis Dewa Ares di pagi hari cerah ini. “Aku akan membuat keluarga pelayan ini menerima peti matinya sekarang juga.” Mendengar itu Nesa berlutut sembari memohon. “Ma-ma
Amanda mengigit bibirnya panik, ia benar-benar bingung ketika pagi tadi Pangeran Hitam hendak sarapan. “Aku akan membawakannya ke kamar,” tawar Amanda. “Aku tak terbiasa makan di kamar, tunjukkan saja jalan ke ruang makan,” tukas Rion dengan nada memerintah. Ruang makan adalah salah satu tempat di kediaman keluarga Broke yang Amanda hindari, karena keluarga tirinya sangat tak menyukai kehadirannya ketika mereka sedang bersantap. “Menjijikan.” Begitu kata mereka, yang langsung melemparkan makanan itu ke arah Amanda, karena nafsu makan mereka menghilang begitu saja akibat kehadiran gadis itu. Namun, di sinilah mereka, di depan ruang makan milik mewah keluarga Broke. Dan Amanda semakin panik saat mengetahui keluarganya belum selesai sarapan. “Lanjutkan sarapan kalian,” ujar Pangeran Hitam sembari mengangkat tangan kanannya seolah menolak salam hormat khas Anarka yang Ben Broke lakukan. Amanda yang berada di belakang Pangeran Hitam
Sekarang Amanda berdiri di depan kediamannya dan bersiap menaiki kereta kuda yang akan membawa gadis itu ke istana. Pasangan suami istri Broke tampak bahagia mengantar Amanda, sedangkan Gisella masih berwajah muram.Brenda membuat perpisahan itu tampak dramatis. “Kembalilah dengan banyak uang, jika tidak jangan harap kau punya tempat untuk pulang,” bisiknya saat memeluk Amanda sambil menahan jijik. “Ingat baktimu pada orang tua,” nasihat Brenda dengan penekanan setelah melepas pelukannya pada Amanda.“Hanya itu barangmu?” tanya Pangeran Hitam sambil menatap koper kecil yang berada di samping Amanda.Amanda mengangguk pelan, isi lemarinya yang tak lebih dari tiga potong baju beserta pakaian dalamnya sudah berada di koper kecil itu, ditambah lukisan tua keluarganya.Kereta kuda berjalan perlahan, Amanda menatap kediaman keluarga Broke yang mulai menjauh. Sepertinya ini kali pertama aku pergi meninggalkan rumah seumur