Amanda menatap hampa dari kejauhan melihat gundukan tanah yang dibuat Aime. Kucingnya terkubur di dalam sana. Mati dengan keadaan yang mengenaskan. ‘Bahkan Illarion -kucingku- lebih pantas hidup. Ia sangat berani dan jauh berharga jika dibandingkan denganku… .’ Amanda merasa tak memiliki lagi alasan hidup. Selanjutnya pikiran gadis berambut putih itu hanya dipenuhi hinaan yang ia tujukkan untuk dirinya sendiri.
Pria di depannya dengan wajah tak kalah dingin mulai melihat iris amethyst berkaca-kaca yang beberapa waktu lalu sempat ia rindukan. ‘Menjijikan.’ batin Illarion. Dan sekarang rasa rindu itu sudah berubah menjadi benci, pengkhianatan adalah hal yang paling tak ia sukai di dunia ini. ‘K
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
Sebuah kata yang langsung membuat seluruh tubuh Amanda kembali lemas. Jika kemarin kata penghinaan itu, Illarion lemparkan saat ia sedang mabuk berat. Kali ini yang membuat kata itu jauh lebih kejam, karena pria bersurai hitam itu mengatakannya saat ia sedang sadar. Sepenuhnya tahu kalau kata-kata yang Illarion ucapkan memang ditujukkan untuk istri sahnya itu. Kesedihan Amanda mendengar hal itu tercetus dari bibir Illarion membuat sakit yang mengiris hatinya semakin tak terperi. ‘Kenapa aku masih hidup?’ benaknya kembali melontarkan pertanyaan itu. ‘Kucing kesayangan yang menjadi alasanku hidup sudah mati, pria yang ku cintai sekarang malah membenciku. Ia bahkan mulai memperlakukanku dengan kejam. Apa perlu menjelaskan padanya? Tapi tentu saja ia tak akan percaya
Ratu Minerva tersenyum mendengar titah tersebut, tapi hal itu malah membuat wajahnya terlihat semakin tak bersahabat. “Duke Gramer adalah mantan mertua Illarion, aku yakin ia akan sangat canggung dengan hal itu. Terlebih harus membawa istri barunya. Bagaimana kalau Pangeran Alex-,” ucapan Ratu Minerva langsung terpenggal melihat tatapan tak suka penguasa Anarka itu. “Kau mencoba mengaturku, Minerva?” “H-hamba….” Pemandangan yang sangat aneh bagi Amanda, ia tak menyangka Ratu Minerva yang terlihat angkuh dan kaku langsung menciut begitu Raja Abraham menegurnya. Hubungan mereka seolah begitu dingin. ‘Bahkan keluarga pria ini juga tak jauh lebih hancur jika dibandingkan dengan hidupku, tak ada kehangatan. Mungkin karena itu aku bisa mencintai pria ini, kami terliha
Illarion berjongkok di sebelahnya. “Dengar aku tak peduli, ambilah gadis itu. Aku juga ingin segera membuangnya,” ujar Illarion sambil menaikkan alisnya yang memiliki bekas luka. Kemudian ia berdiri dan menendang ulu hati Apollo sebelum berjalan keluar ruangan. Erangan mengerikan keluar dari mulut Pangeran yang berasal dari Landyork itu. “Siapkan pasukan, kita menuju tempat Duke di Elger sekarang!” perintah Illarion pada Andreas. Hal itu langsung membuat pria yang sebentar lagi genap berumur empat puluh tahun itu mengumpat dalam hati. ‘Ah sial, aku lelah sekali. Kita bahkan belum setengah hari sampai dari Eden.’ Amanda merapikan bajunya, pandangan mata ungunya kosong menatap ke arah gundukkan tanah basah di bawah jendela kamarnya. ‘Karena aku begitu lemah, semua ini ter
“Semua siaga!” perintah Jenderal Andreas. Illarion berdecih di tempat duduknya. ‘Jalanan sepi dengan hutan rimbun dan tanah lapang berujung jurang, tempat yang bagus untuk mencegat siapa pun yang lewat. Harusnya aku sudah menduga hal ini. Wanita iblis itu tak akan mudah membuatku menjalankan perintah Baginda Raja di daerah kekuasaannya.’ Suasana begitu hening, setelah penyerangan pertama belum ada lagi serangan susulan. Pria bersurai hitam itu mendekatkan diri pada jendela tempat pengawal setianya itu berada. “Kurasa kita kalah jumlah, Tuan” bisik Jenderal Andreas. “Tapi Hamba punya rencana, Tuan.” “Jelaskan,” perintah Illarion, ia begitu mempercayai Andreas yang sudah sangat berpengalaman dalam situasi ini.
‘Aku membuatnya mengorbankan nyawa dan ia sama sekali tidak menggila malah mengucapkan terima kasih? Bukankah itu berarti anak buah wanita sialan itu tak akan membunuhnya? bahkan mungkin mereka akan memperlakukannya begitu hormat! Sialan! Aku benar-benar terkecoh olehnya!’ Tangan Illarion tergenggam erat karena kemarahan, dan memacu kuda hitamnya makin kencang. Rombongan besar Pangeran Hitam berbelok ke arah hutan rimbun, sedangkan kereta yang dinaiki Amanda menuju padang gersang berujung jurang tanpa pengawalan. Hal ini membuat kesan pada para penyerang bahwa justru di dalam kereta itulah sosok orang yang mereka harus bunuh sebenarnya berada. Karena melarikan diri tanpa pengawalan, berusaha mengecoh mereka. Amanda mendengar puluhan mungkin ratusan derap langkah kuda mendekat ke arahnya. Ia berada di dalam keret
Brak! Pintu kereta yang sekarang sudah menghadap atas, dibuka paksa oleh salah satu pemimpin penyerangan. “Kau ternyata jauh lebih kecil dari apa yang aku pikirkan, Pangeran,” ujar pembunuh bayaran itu. Dengan sekali tarik, ia berhasil melempar Amanda keluar kereta. Gadis itu menarik tudung kepala dan jubahnya agar tak terhempas membuka. ‘Aku harus menyamar menjadi Tuan, sampai rombongan pria itu benar-benar pergi jauh dari tempat ini.’ “Astaga! Ini kah sosok Pangeran Hitam yang bahkan bisa mengalahkan kerajaan Exilas. Dia hanya pria mungil!” Gelegar tawa dari para penyerang itu terdengar hingga atas bukit tempat Illarion menonton kejadian itu dari jauh. ‘Kenapa ia belum membuka penyamarannya?’ Pembunuh ba
Ucapan Andreas berhasil menghentikan langkah lIlarion Black. Jenderal pasukan berkuda itu tampak terkejut, rasa kaget yang sama juga dialami para pria berprofesi pembunuh bayaran yang mengelilingi Amanda. 'Mereka tak akan membunuhnya,' batin Illarion terus meyakinkan dirinya. 'Mereka masih satu kubu.' “Apa! Kita ditipu. Ia seorang wanita! Pangeran Hitam sudah menghilang,” geram salah seorang dari mereka kemudian menampar Amanda. Gadis itu terlempar lagi, baju putihnya sudah berlumuran bercak darah bercampur debu, menjadikan Amanda terlihat seperti mayat hidup. Salah satu pria itu mendekat ke arah Amanda yang tergeletak lemas. “Aku tak pernah melihat wanita seperti ini sebelumnya. Kulit dan rambutnya begitu putih, seakan ia bukan berada dari dunia in
Para pembunuh bayaran itu terperangah, kemudian mereka semua memusatkan perhatiannya pada hal yang sama. Pria yang menembakkan anak panahnya di atas bukit. “Sial kita dijebak!” kata salah seorang dari mereka. Para pembunuh yang bertubuh besar itu mulai berkumpul membuat kelompok, mereka seperti ikan kecil yang terperangkap pada bubu jebakan. Di belakang Illarion, Andreas dan pasukan panah berapi berbaris rapi, tinggal menunggu perintah. “Kami sudah siap Tuan.” Illarion menyipitkan matanya, melihat jauh pada tempat Amanda berada. Gadis itu tampak tergeletak tak bergerak di samping kaki pembunuh bayaran yang bertubuh paling besar. ‘Dia mati?’ Illarion menggigit bibirnya. Andreas melihat kegalauan di mata Tuannya. “Jika kita menyerang mereka dengan pasukan berpana