Jonathan menepuk jidatnya kemudian memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Setelahnya menatap Laura dengan sangat lekat. "Sayang, bisa logis sedikit? Kamu baca cerita dari mana, diperkosa jin segala. Kamu benar-benar manusia paling absurd yang aku kenal, Laura. Nggak ada, Sayang. Nggak ada yang namanya diperkosa jin. Kalaupun ada, seperti apa, bentuk bayinya?"
"Yaa kayak jin," jawab Laura dengan polosnya.
Jonathan menghela napas kasar kemudian geleng-geleng kepala. Ia pun keluar dari mobilnya, diikuti oleh Laura.
"Jo. Nggak ada ya, hamil anak jin?" tanya Laura lagi.
"Astaga, Sayang. Nggak ada, ya Tuhan. Istriku kenapa ini?" Jonathan kembali menepuk jidatnya.
"Yaa habisnya Kiara aneh. Hamil sama kamu, tapi kamu nggak merasa hamilin dia. Kan, bikin bingung." Laura menggaruk rambutnya.
"Jangan bingung, yaa. Lupakan saja. Yang jelas, itu bukan anak aku." Jonathan menerbitkan senyumnya kemudian memberikan undangan yang akan disebar oleh Laura ke
Laura menjadi lemas seketika mengingat kehamilan Kiara. Orang tua Jonathan yang amat sangat menunggu kehadiran bayi mungil di tengah keluarganya itu membuat Laura khawatir sendiri. Mengingat Tiara sangat menginginkan cucu, membuatnya berpikir tak karuan.‘Kalau nanti Kiara kasih tau orang tua Jonathan, dia lagi hamil anaknya Jonathan. Terus, gue jadi apa? Diceraikan? Terus, Jonathan nikah sama Kiara?’Laura banyak melamun sampai tak sadar bila Jonathan sudah ada di depannya.“Kenapa dia?” tanya Jonathan kepada Virza.Pria itu mengendikan bahunya. “Nggak tahu. Tiba-tiba melamun. Mungkin bete, nunggu Pak Jonathan nggak datang-datang. Ya sudah kalau gitu, aku balik duluan.”Jonathan menganggukkan kepalanya. “Thanks, udah nemenin Laura,” ucapnya kemudian mengulas senyum.Virza mengangguk seraya membalas senyum itu. Lalu melajukan motornya, pergi dari sana karena Jonathan sudah tiba.“L
Jonathan menyunggingkan senyumnya. Ia kemudian menatap sang istri dengan tatapan yang begitu manis dan lembut. “Kita punya banyak aktivitas yang bisa kita lakukan, Laura. Selain memikirkan Kiara yang terus menerus ganggu rumah tangga kita.” Laura mengendikan bahunya. “Aku belum bisa kasih kamu anak. Khawatir nggak bisa juga.” Jonathan lantas memegang kedua lengan istrinya itu. “Aku tidak pernah mempermasalahkan itu, Laura. Usia pernikahan kita baru mau menginjak satu bulan. Tidak perlu buru-buru apalagi pesimis. Mami pasti mengerti, Laura.” “Bener sih.” Laura menghela napasnya dengan pelan. “Aku lagi pengen jus alpukat. Tiba-tiba perutku lapar lagi. Cacingnya udah tumbuh kayaknya.” Jonathan terkekeh dengan pelan. “Mau aku buatkan sekarang juga?” Laura menggelengkan kepalaya. “Aku aja yang buat. Tiap hari perasaan kamu terus yang siapin apa pun buat aku. Sekali-kali, aku lah yang siapkan kebutuhanku sendiri.” Jonathan mengerutkan keningnya. Terdengar aneh, kala mendengar Laura y
Perempuan itu menerbitkan senyum sembari mengangguk kecil. “Sure!” ucapnya kemudian meraup bibir lelaki itu lagi, mengambil alih dalam permainan di malam itu dan ingin melupakan pelik yang selalu terngiang dalam pikirannya. Deru napas saling berhasutan tatkala melepaskan tautan yang mereka lakukan sedari tadi. Mata itu saling menatap, kemudian memberikan senyum manis. Keduanya kini sudah tak berpakaian alias polos. Hanya kulit putih dengan lampu temaram menyinari kedua insan yang tengah dimabuk cinta. Gerayang nafsu sudah hadir di antara kedua pasangan bahagia itu. Permainan semakin panas dengan gerakan tangan Jonathan bermain riang, yang semakin memburu di bawah sana. Sementara mulut itu sibuk menyesap pucuk merah muda, gumpalan kenyal yang semakin membesar ia rasakan. Sementara tangan Laura tengah meremas rambut lelaki itu sembari mulutnya bersuara, desahan dan erangan terus keluar di sana. “Jo! Oh my God!” pekik Laura dengan dada membusung. Lelaki itu lantas tersenyum menyerin
"Diih! Amit-amit deh. Mana boleh begitu. Anak gue yaa mirip gue sama bapaknya, lah!" sengalnya tak terima dengan ucapan sahabatnya itu. Misya menghela napasnya lagi. "Gue hanya kasih masukan aja, biar elo nggak nyesel di kemudian hari. Udah hamil belum, sih? Udah mau tiga minggu kan, usia pernikahan elo? Tiap hari kan, bikinnya? Keliatan dari muka elo. Pucet mulu tiap hari. Sangar ya, kalau di kamar?" Laura menganggukkan kepalanya. "Gitu deh. Gagah banget. Makanya gue nggak bisa lupa apalagi relain Jonathan buat Kiara. Big no! Bukan hanya itu aja. Tapi, karena kasih sayangnya tulus banget buat gue, Sya." Misya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. "Senjata makan tuan, lo. Dulu bilangnya, kagak bakalan mau, gue cinta sama dosen killer setan kutub Utara itu. Laah sekarang ... ada mantan pacarnya minta tanggung jawab, gak dibolehin." Misya geleng-geleng kepala seraya menyeruput teh melati miliknya. Laura mengerucutkan bibirnya. "Karena gue nggak tahu kalau ternyata Jonathan udah c
Laura mengindahkan ucapan sekretaris suaminya itu. Ia kemudian menghubungi Jonathan, memberi tahu kalau dirinya sudah ada di depan ruangannya.“Sekretaris kamu kurang ajar banget, yaa. Emangnya kamu nggak pasang foto pernikahan kita, di ruang kerja kamu?” Laura memarahi Jonathan melalui panggilan telepon.“Maaf, Sayang. Aku keluar sekarang, yaa.” Jonathan lantas membukakan pintu ruangannya.Betapa terkejutnya ia kala melihat Kiara juga ternyata ada di sana. “Ada apa lagi, Kiara?” Jonathan kemudian menghubungi security seraya menarik tangan Laura agar berdiri di sampingnya.“Ke sini sekarang juga!” titah Jonathan dengan suara datarnya.“Jonathan. Kamu pikir, aku akan lepas kamu gitu aja setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku! Bahkan kamu belum mendengarkan penjelasan aku!” kata Kiara yang masih ingin membahas perihal kehamilannya itu.Jonathan menghela napas kasar. “Oke! Ki
Laura menggelengkan kepalanya. “Nggak punya. Apaan, yaa? Panggil nama aja deh. Aku nggak tahu soalnya, harus manggil kamu apa.” Jonathan yang tidak ingin ribet itu hanya menganggukkan kepalanya. Setuju-setuju saja dengan keputusan istrinya itu. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Jonathan baru saja menyelesaikan memasak nasi goreng permintaan sang istri. Keduanya langsung menyantap makan malam tersebut dengan romantis. “Thank you ya, Jo. Udah repot-repot buatin aku nasi goreng. Makin cinta, deh.” Jonathan geleng-geleng kepala seraya mengulas senyumnya. “Aku sudah mencintai kamu sejak lama, akhirnya terbalaskan setelah memberi tahu kamu yang sebenarnya. Lalu, kalau aku tidak pernah memberi tahu kamu, kamu juga tidak akan pernah mau berusaha untuk mencintai aku?” Laura menganggukkan kepalanya. “Aku nggak mau jatuh cinta sendirian, Jo. Rasanya itu sakit dan hanya bisa makan hati. Aku ingin mencintai dan dicintai. Kalau kamu udah nggak cinta sama aku, aku pun akan melupakannya
Tiara menganggukkan kepalanya dengan sangat cepat. “Oke, Sayang. Mami nggak akan deket-deket sama mantan pacar gak jelas kamu itu. Lebih baik nggak usah kenal dia lagi, daripada harus dibenci sama Laura. Iya nggak, Jo?” Jonathan mengangguk seraya mengulas senyum tipis. “Ya. Udah, gitu aja. Jam sembilan, acaranya tutup ya, Mi. Laura udah lelah, udah pengen istirahat.” Tiara kemudian menatap Laura yang tengah duduk lemas di bangku pelamin. “Istri kamu pucat sekali, Jo.” Perempuan itu lantas menghampiri sang menantu dengan tergesa-gesa. “Sayang. Muka kamu pucat sekali. Istirahat aja ya, Nak. Udah mau selesai pun, acaranya.” Tiara sangat mengkhawatirkan menantunya itu. “Laura. Are you okay?” tanya Jonathan cemas. Laura menganggukkan kepalanya kemudian mengusap wajahnya dengan pelan. “I’m okay, Mi, Jo. Hanya sedikit pusing aja.” “Jo. Bawa Laura masuk ke kamar, yaa. Acaranya sebentar lagi akan ditutup,” titahnya kemudian. Jonathan kemudian membawa Laura ke dalam kamar yang sudah dise
Jonathan lantas melepaskan bibirnya lantaran oksigen yang hampir habis. Kemudian mengatur napasnya dan membuka handuk yang masih melilit di pinggangnya. Sementara Laura sudah polos, tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Lalu, menggendong perempuan itu, membawanya ke atas tempat tidur. Perempuan itu ia jatuhkan ke atas tempat tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. “Are you ready, to our first night? Sebagai pasangan suami-istri yang sudah diketahui banyak orang,” kata Jonathan seraya menatap sang istri yang tengah berada di bawah kuasanya. Perempuan itu mengangguk. “Of course!” ucapnya parau. Laura kemudian mengambil alih. Ia duduk di atas paha sang suami dan mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Bibirnya ia gigit. Menikmati gesekan dan gerakan yang tengah mereka lakukan. Memompa dengan irama yang masih santai. Kemudian Jonathan meraup bibir perempuan itu dengan gemas. Tangannya meremas kedua gundukan itu dengan pelan. Jonathan pun menaik turunkan tubuh sang