“Nikah? Sama dosen killer yang baru keluar dari frezeer? Oh my God, Papa! Nggak ada yang lain apa?” protes Laura dengan mata melotot menatap sang papa.
Jason kemudian bangkit dari duduknya seraya menatap Laura yang tengah berdiri dengan wajah kagetnya. “Jangan jadi kakakmu, Laura. Ini demi kebaikan kamu juga! Papa tidak ingin kamu memilih pasangan yang sala—““Siapa yang salah? Mereka semua bahagia dengan pasangan pilihannya. Bahkan, kalau Papa maksa aku buat nikah dengan dia, belum tentu bisa bahagia seperti apa yang Papa pikirkan!” skak Laura kemudian. “No, Laura. Keputusan Papa sudah bulat. Papa tidak pernah meminta apa pun pada kamu. Hanya minta supaya kamu mau menikah dengan pilihan Papa. Sudah, itu saja. Dia sudah janji, akan menjaga kamu dengan baik.” Laura tersenyum pasi. “Dosen killer begitu, mana bisa dipercaya, Pa. Di kampus aja udah kayak orang asing. Apalagi jadi suami. Papa yang bener aja dong, kalau jodohin aku!” Laura menggaruk rambutnya seraya mengeluh lesu. “Mom. Mommy nggak mau bantu aku apa? Masa iya, aku nikah sama beruang kutub begitu!” Laura mengadu kepada sang mama. Kayla hanya melirik Laura dan Jason bergantian. Kemudian beranjak dari duduknya dan menatap Jason dengan sangat lekat. “Kamu bisa jamin, anak kita akan bahagia dengan pilihan kamu? Lagian, Laura masih kuliah. Tunggu dia lulus dulu, nggak bisa?” “No! Ini demi kebaikan Laura, Sayang. Kamu tidak tahu apa yang dia lakukan dengan pria itu!” “Papa! Virza nggak pernah ada niat untuk hancurin aku!” Ya. Laura sudah memiliki pasangan. Hanya saja, lagi-lagi Jason tidak merestui. Setelah tragedi kisah cinta Gerald, Jason hampir gila dibuatnya. Hampir mati lebih tepatnya. Saat itu, hanya bisa pasrah dan membiarkan Gerald menikah dengan Sandra. Jason menggeleng. “Pokoknya, keputusan Papa sudah bulat. Kamu dan Jonathan, akan menikah di minggu depan, titik! Jangan hubungi kekasih gak jelas kamu itu! Jangan jadi kakakmu yang sudah buat Papa gila!” Keputusan Jason sudah bulat. Satu minggu lagi, Laura akan mengikat janji dengan Jonathan—pria pilihan Jason yang katanya akan menjadi suami yang baik untuknya. Laura menyunggingkan bibirnya. “Mana ada, Kakak kasih contoh yang buruk buat aku. Di mananya sih, Mom? Kalau boleh tahu, di mananya?” Kayla mengusapi punggung anaknya itu. “Yang penting kan, cakep.” “Mommy!” pekik Laura seraya mengerucutkan bibirnya. “Mommy nggak benci kan, sama Kak Gerald? Karena udah buat Papa hampir gila?” Kayla tersenyum tipis. “Nggak. Mommy selalu menyayangi kakakmu walau udah hampir buat Mommy jadi janda. Dia nggak salah. Keegoisan papa kamu yang udah bikin semuanya jadi panjang. Andai saja saat itu dia mau kasih uang, semuanya nggak akan terjadi seperti itu.” Laura menghela napasnya dengan pelan. “Baiklah. Jonathan, dosen killer yang baru keluar dari frezeer. Harus ngalah supaya Papa nggak nyalahin Kakak lagi.” Laura mengeluh lesu lagi seraya menggaruk rambutnya. Ia tidak menyangka, rupanya jodohnya berada di tangan papanya. Alhasil, dia pun harus menurut demi keberlangsungan hidup yang lebih aman, damai dan sejahtera. Menghadapi sikap dingin Jonathan bukanlah hal mudah baginya. Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Kinara and family, Gerald and family diminta datang ke rumah orang tuanya untuk mengumumkan pernikahan Laura. “What! Nikah? Masih kuliah begini, harus nikah?” Kinara tampak terkejut mendengarnya. “Aku nggak mau ada pesta dulu. Pokoknya nggak mau ada yang tahu kalau aku nikah sama si beruang kutub itu! Nggak mau! Pemberkatan nikah selesai, udah. Nggak ada lagi acara lainnya!” Semuanya dengan kompak menoleh kepada Laura yang sedari tadi sibuk bicara. “Berisik banget sih, lo! Kayaknya seneng banget, mau nikah,” ledek Gerald kepada adik bungsunya itu. Laura menghela napas kasar. “Nggak usah ngeledek deh!” “Daripada sama Virza nggak bakalan mau juga ikut elo. Mending beruang kutub lah. Udah jelas statusnya!” sengalnya memperjelas ucapannya. Jason yang mendengarnya lantas melirik dengan tajam kepada anak sulungnya itu. “Diam kamu, Gerald. Papa minta kamu datang ke sini bukan untuk menyindir Papa!” Gerald mengatup bibirnya kemudian melirik Sandra yang tengah duduk di sampingnya. “Iya, Pa.” Jason menghela napas panjang. “Orang tua Jonathan sudah sepakat, kita pun sudah sepakat. Pernikahan akan digelar minggu depan. Tidak ada pesta, tidak ada resepsi. Sesuai permintaan Laura. Tidak masalah, yang penting dia menikah.” Laura mengusap wajahnya seraya menunduk. Tidak bisa dibayangkan, menikah dengan pria yang tidak dia cinta. Laura harus menyiapkan diri menghadapi dinginnya sikap Jonathan yang tidak ada satu pun yang berani melihat lelaki itu. **Satu minggu berlalu. Hari di mana pernikahan Laura dan Jonathan diselenggerakan. Hanya keluarga dan kerabat terdekat saja yang datang. “Kak. Jangan jauh-jauh dari aku, yaa. Pokoknya nggak boleh. Nanti aku beku, di dekat si Jonathan yang sayangnya ganteng itu.” Laura tengah berjalan menuju altar kemudian berbisik kepada Gerald. Sungguh, lelaki itu tidak bisa lagi menahan tawanya. Pernikahan paksa, mendadak bahkan tidak diinginkan oleh adiknya itu sungguh lucu. Sampai akhirnya tiba di altar. Jason menyerahkan puteri bungsunya kepada Jonathan yang saat itu terlihat lebih tampan dari biasanya. ‘Jangan sentuh tangan gue bisa, nggak? Nanti tangan gue jadi beku, kan berabe,’ gerutunya dalam hati. Pemberkatan pernikahan pun dilakukan. Keduanya tengah bergantian mengucapkan janji suci yang bahkan hingga saat ini Laura masih tak rela mengucapkan ucapan itu di depan Jonathan. Selesai mengikat janji suci, imam memberikan cincin pernikahan mereka. Jonathan kemudian memasangkan cincin itu pada jari manis Laura. Pun dengan perempuan itu. Dengan malas, ia memasangkan cincin itu di jari manis Jonathan. “Silakan untuk dicium, istrinya,” ucap imam kepada Jonathan. Mata Laura seketika terbelalak kala mendengar imam meminta Jonathan agar mencium Laura yang kini sudah jadi istrinya itu. Jonathan kemudian membuka kain veil yang menutupi wajah cantik perempuan itu kemudian menariknya penuh dengan nafsu, setelahnya mencium bibir itu dengan memiringkan kepalanya. Riuh tepuk tangan membuat Laura tak habis pikir bila lelaki dingin itu bisa menjadi agresif kala menciumnya. “Ini belum seberapa, Laura. Kamu akan tahu yang lebih dari ini,” bisik Jonathan setelah melepas ciumannya itu. Laura menatap sinis lelaki yang sialnya sudah menjadi suaminya itu. “Nggak ada!” ucapnya menolak. Jonathan terkekeh pelan. “Up to you!” ucapnya dengan suara beratnya. “Yang dapat ori hanya Laura, yaa,” celetuk Ramos kemudian. Kinara dan Gerald lantas menoleh dengan kompak kepada sahabat papanya itu. “Bener juga sih. Kayaknya si beruang kutub, sapaan Laura ke suaminya itu, belum pernah menjamah satu orang pun perempuan.” “Yakin?” Gerald menatap Kinara yang tengah menebak adik iparnya itu. Kinara mengendikan bahunya. “Yang jelas, dia masih ori. Belum pernah nikah.” Gerald menghela napasnya dengan panjang. “Papa jodohin Laura karena nggak mau masuk rumah sakit jiwa untuk kedua kalinya.” “Papa nggak masuk rumah sakit jiwa, Kakak. Nggak usah bahas itu lagi deh. Bikin mumet kepala tahu, nggak!” “Oke!” Gerald pun diam. Acara pemberkatan pernikahan pun selesai. Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Bahkan, malam itu juga Laura sudah pindah ke rumah barunya bersama Jonathan. Meski masih satu komplek, dia tetap merasa sedih karena harus jauh dari sang mama. “Are you ready for tonight, Laura?”“Mau ngapain kamu? Jangan mentang-mentang udah jadi suamiku, seenak jidatmu mau ini dan itu!” sengal Laura seraya menutupi bagian dadanya padahal tubuhnya masih tertutup rapi oleh baju yang ia kenakan. Jonathan tak merespon apa pun. Hanya membuka kaus yang masih dia pakai seraya menatap Laura yang sudah ketakutan. “Jangan mendekat!” teriak Laura kemudian. Jonathan menghela napas pelan. “Laura. Bisa nggak, jangan teriak-teriak. Kamu pikir, aku mau perkosa kamu? Kamu ini istri aku. Di mana ceritanya, istri sendiri diperkosa? Gilak!” Laura mengerucutkan bibirnya seraya menatap Jonathan yang hanya mengenakan kaus oblong saja. Lalu, mengambi tas milik Laura. “Nih! Selesaikan tugas kamu kalau tidak mau aku kasih nilai E!” Laura membolakan matanya kemudian mengambil buku yang dipegang Jonathan dengan kasar. “Kirain apaan!” ucapnya kemudian. Jonathan tersenyum miring. “Selesaikan tugasmu. Setelah itu, baru ….” Jonathan tidak meneruskan ucapannya. Ia langsung keluar dari kamar tersebut
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Laura lebih dulu pulang ke rumah dari Jonathan karena lelaki itu sedang ada meeting dengan para dosen lainnya. “Halo, Kak. Di mana? Nanti malam ikut dinner nggak?” Laura menghubungi Kinara. “Nggak, Lau. Itu hanya dinner keluarga suami kamu aja. Kita nggak ikutan, males juga. Lama.” “Yaah. Kak Gerald, gimana?” “Apalagi dia. Itu orang lagi bulan madu, mau kasih adik buat si kucrit.” “Haah? Udah mau punya adek? Gilak!” “Gilak kenapa? Si kucrit udah gede, kali. Udah mau tujuh tahun usianya.” “Iya sih. Ya udah deh, aku mau mandi dulu. Kirain kalian juga ikut. Males banget, nggak ada kalian.” “Laura, Sayang. Kamu udah beristri, ada keluarga baru yang harus kamu sambut. Jangan harus ada kami terus. Beradaptasi dengan keluarga baru itu wajib. Jangan sedih terus dong. Masih cinta, sama Virza? Kamu yakin, dia mau ikut kamu?” Laura menelan salivanya dengan pelan. “Masih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Bener sih, kata Kakak. Belum tentu mau ikut aku. Ak
Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Acara dinner keluarga sudah selesai dilangsungkan. Pertemuan antar dua keluarga itu cukup sukses. “Kamu tahu nggak, tadi Mami bilang apa?” kata Jonathan kepada istrinya itu. “Tahu!” ucapnya pelan. Jonathan tersenyum tipis. “Kalau nggak mau, belum mau, jangan dipaksa.” Laura tidak menjawabnya. Matanya sudah berat, ingin ditutup dan tak ingin mendengar suara apa pun. Jonathan kemudian menghela napasnya dengan pelan dan kembali melajukan mobilnya agar segera sampai ke rumah. Lima belas kemudian, mereka pun tiba di rumah. Laura segera keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam rumahnya. Tidak peduli dengan Jonathan yang masih di dalam mobil. Ting! Notifikasi pesan masuk di dalam ponsel lelaki itu. Ia baru menghidupkan ponselnya karena tidak ingin ada yang mengganggu saat pertemuan keluarga itu. Tanpa nama: [Kamu di mana? Kenapa nomornya nggak aktif?] Jonathan meghiraukan pesan tersebut. Ia memilih memblokir nomor itu dan kembali mela
Laura dan Misya menoleh kompak ke arah perempuan cantik, tinggi, langsing. Cukup sempurna bagi pria yang melihatnya sudah pasti ingin memiliki perempuan itu. “Woaah! Bidadari turun dari mana ini?” gumam Misya, terpesona melihat kecantikan perempuan itu. “Kalau boleh tahu, Mbak ini siapa?” tanya Laura kemudian. “Eeum ....” Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya karena matanya sudah menangkap orang dia cari. Ia kemudian melebarkan senyumnya dan melangkahkan kakinya menghampiri Jonathan yang tengah berdiri sembari menerima panggilan entah dari siapa. “Wahh! Wahh! Kayaknya pacarnya laki elo tuh! Gosipnya kan, Pak Jonathan punya pacar. Kata gue juga apa, Lau. Ada kan, pacarnya. Mana cantik banget, lagi. Kagak bisa move on gue sama mukanya.” Laura menelan saliva dengan pelan seraya menatap suaminya yang terlihat marah kala perempuan itu menghampirinya. Lalu, pergi dari taman tersebut tanpa ingin tahu siapa sebenarnya perempuan itu. “Nggak panas sih, hanya gosong aja. Tapi, kenapa ha
Laura mengerjap-ngerjapkan matanya kala mendengar ucapan Jonathan.“Heuuh?” Laura menatap Jonathan dengan mulut menganga. Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian memegang kedua lengan perempuan itu. Matanya menatap dengan lekat seraya tersenyum tipis. “Aku … cinta, sama kamu,” ucapnya pelan. Laura semakin salah tingkah. Dia tidak pernah tahu isi hati Jonathan yang ternyata sudah mencintainya. “Sejak kapan?” tanyanya kemudian. “Perasaan tidak pernah tahu kapan datangnya, Laura. Yang jelas, aku mencintai kamu karena kamu istri aku. Cukup tahu itu saja. Semoga kamu bisa membalasnya.” Laura kembali menganga. “Serius?” tanyanya lagi. Jonathan menggetok pelan kening istrinya itu. “Harus dibuktikan dengan apa, supaya kamu percaya kalau aku cinta, sama kamu?” Laura menghela napasnya. “Kiara. Kenapa dia sampai datang ke kampus, nyariin kamu? Katanya udah putus. Kalau belum, itu artinya kamu selingkuh. Aku ini istri kamu. Kasta tertinggi dari hanya sekadar pacar!” Jonathan men
“Misyaaa!!” Laura berteriak kemudian menghampiri Misya yang tengah duduk di resto bersama sang kekasih.“Anak dajjal! Ngapa sih lo, teriak-teriak mulu? Dikira hutan apa.” Misya menyunggingkan bibirnya.“Misya. Besok gue suruh izi nggak masuk. Tolong kasih tahu Pak Santoso, yaa. Gue nggak nggak bisa masuk. Mau ke villa.”“Bulan madu lo, yee? Udah mau nih, ceritanya? Kok bisa?” tanyanya ingin tahu.“Emang kenapa sih Lau, harus ditunda-tunda? Enak tahu!” timpal Ricko kepada Laura.“Diem, dugong! Gue nggak ngomong sama elo. Emang dasar pedofil elo mah.”Misya memukul lengan sahabatnya itu. “Sendirian?”“Mana ada. Laki gue nungguin di mobil. Nggak mau ke sini dengan alasan malas. Nggak mau lihat muka kalian pada.”Misya lantas menyunggingkan bibirnya. “Setan Kutub Utara mana mau, mencairkan suasana di sini. Kita mah bobrok, dia mah kalem.”Laura meringis pelan. “Untung ganteng, yaa. Masih ketolong dikit.”Misya memutar bola mata lagi. “Udah siap beneran? Kok bisa?”Laura menghela napasnya.
Jonathan mengangguk. “Pasti.” Kemudian menerbitkan senyumnya.Dengan sangat pelan, lelaki itu melajukan temponya dengan sangat hati-hati. Menggerakan tubuhnya hanya untuk membuat Laura terbiasa akan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.“Euuh!” keluh Laura seraya menggigit bibirnya menhan desahan yang ingin dia keluarkan. Namun, bukannya mendesah, yang ada menangis lagi. Ia pun memilih untuk diam saja seperti patung boneka yang tengah digerayangi.Mata itu kemudian terbuka. Menatap Jonathan yang masih mencoba bertahan dengan sikap Laura yang sedari tadi hanya diam. Jonathan benar-benar bekerja sendiri.“Kenapa, Jo?” tanya Laura tanpa dosa.Jonathan menatap Laura kemudian mencabutnya lagi. Duduk di samping perempuan itu seraya menatapnya dengan lekat.“Maunya, kamu ini juga ikut gerak. Jangan diam kaku seperti robot begitu. Kenapa ditahan? Semangatnya laki-laki itu karena mendengar desahan istriny
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Kedua insan yang baru saja menyelesaikan malam pertama yang penuh dengan drama itu masih terlelap dalam tidurnya. Sinar mentari yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar tersebut tak berhasil lantaran tirai itu masih ditutup dengan rapat.Namun, dering panggilan dari ponsel Jonathan membuat telinga Laura bising sebab ponsel tersebut berada tepat di sampingnya. “Heeuuhh! Siapa sih, pagi-pagi begini telepon!” gerutu Laura seraya mengambil ponsel tersebut. Keningnya mengkerut kala melihat nomor tak dikenal menghubungi suaminya itu. “Nomor siapa nih?” Laura langsung beranjak dari tidurnya seraya menggeser tombol hijau pada ponsel tersebut.“Jonathan. Kamu pikir, dengan satu nomor bisa kamu blokir. Aku masih bisa menghubungi kamu dengan berbagai nomor yang aku punya. Di mana kamu, Jonathan? Aku sudah ada di depan rumah orang tuamu.” Laura menarik tangan Jonathan seraya melempar ponsel itu. “BANGUUNN!” teriak Laura merasa kesal. Jonathan kemud