Acara makan malam dengan keluarga Gerald begitu terasa. Seperti menemukan keluarga di dalam sana. Ada adik, mama dan pasangan. Sandra yang sudah lama tidak pernah merasakan hangatnya kebersamaan dengan keluarga. Bahkan bisa dibilang Sandra tidak pernah mendapatkan hangatnya makan malam bersama keluarganya. Hidup sebatang kara sejak usianya delapan tahun. Hanya bersama neneknya, tiga tahun kemudian meninggal dunia. Pergi ke rumah kakaknya, tidak ada yang mau menerimanya. Sandra hidup melarat dari kecil hingga sekarang. Hingga memiliki suami. Namun, Gerald datang membawa cinta yang sudah dia simpan selama lima tahun ini. Berjanji akan mencintai Sandra dan mengeluarkan dia dari penderitaannya selama ini. “Terima kasih, untuk makan malamnya ... Mom,” ucap Sandra kemudian mengelap bibirnya dengan tissue. “Kapan-kapan kita dinner lagi, yaa. Mommy senang, seperti punya anak empat jadinya. Mimpi Mommy ingin punya anak banyak harus tertahan karena rahimnya harus diangkat. Tapi, ada kamu, a
Sandra berdiri mematung setelah sampai di dalam apartemen. Gerald kemudian menyalakan lampunya kemudian duduk di sofa ruang tengah. Memandang Sandra yang masih berdiri di depan pintu. Gerald lantas bangun dari duduknya kemudian menarik tangan Sandra hingga membuat perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Kenapa diam di situ? Mau pulang?” tanya Gerald kemudian. Sandra menggeleng pelan. “Nggak. Jadi keinget satu minggu yang lalu,” ucapnya jujur. Gerald tersenyum tipis. Ia kemudian melangkahkan kakinya satu langkah agar lebih dekat dengan perempuan itu. Menatapnya dengan sorot mata yang begitu lembut dan hangat. “Karena itu, aku bawa kamu ke sini. Ingin mengulang kesalahan satu minggu yang lalu,” ucapnya dengan lembut. “Heuung?” “Itu pun kalau kamu mau. Kalau tidak ingin, aku akan mengantarmu pulang sekarang juga.” Gerald membuka jaket yang ia kenakan itu kemudian menyimpannya dengan asal di atas sofa. Kulit putih itu terekspos jelas oleh Sandra yang masih berdiri mematung. Hanya
"Profesor Sandra?" Seseorang memanggilnya dengan menggerakkan bahunya lantaran perempuan itu tidak juga tersadar jika ada yang memanggil namanya. Sandra terlalu menikmati lamunannya kala bercinta dengan Gerald di malam itu. Ia pun langsung tersadar kemudian menoleh pada dosen yang memanggilnya tadi. "Iya, Pak? Ada apa?" tanyanya kemudian. "Profesor kenapa, dari tadi melamun sambil gigit bibir? Sariawan, ya? Bibirnya merah soalnya."Sandra meringis pelan seraya menganggukkan kepalanya. "I—iya, Pak." "Hemmm ... minum obat, jangan lupa. Sudah masuk jam kuliah, Prof. Kelas Teknik program S2."Sandra segera menatap jam yang melingkar di tangannya kemudian bergegas bangun dari duduknya. "Astaga. Terima kasih, Pak sudah mengingatkan saya. Sudah lewat sepuluh menit yang lalu." "Itulah kenapa saya memanggil Anda sedari tadi." Sandra kembali meringis. "Sekali lagi terima kasih, Pak. Saya ke kelas dulu." Perempuan itu melangkahkan kakinya dengan lebar agar segera tiba di kelas.Setibanya d
Mereka sudah tiba di apartemen. Sandra tengah mengeluarkan semua belanjaan yang mereka beli tadi di supermarket. Sementara Gerald tengah menyimpan tasnya dan mengganti kemejanya dengan kaus. Kemudian menghampiri Sandra lagi yang masih sibuk dengan belanjaan yang mereka beli tadi. “Kamu, suka banget sama daging sapi. Steak, rendang, dan semuanya. Dari dulu hingga sekarang, selera kamu masih sama.” Gerald mengulas senyumnya. “Seleraku dalam mencintaimu saja tidak pernah berubah. Aku bukan orang yang banyak memilih. Kalau satu, sudah ... satu saja. Tidak perlu ganti-ganti.” Sandra manggut-manggut dengan pelan. “Seperti itu. Padahal, banyak banget yang suka sama kamu. Dari tua hingga muda.” “Tapi, hatiku hanya memilih kamu. Tidak bisa diganggu gugat!” Sandra mengendikan bahunya. Ia kemudian mengambil pisau dan membuka plastik daging yang akan ia masak di sore itu. “Mandi dulu, Gerald. Setelah itu makan,” titah Sandra seraya menyalakan api untuk memanggang daging sapi tersebut. “Ka
“Kamu di sini dulu. Kalau mau mandi dulu juga silakan. Jangan keluar!” Gerald segera mengenakan celana dan juga kausnya. Ia kemudian keluar dari kamar setelah merapikan diri agar tidak dicurigai oleh papanya itu . “Gerald?” Sekali lagi, lelaki itu memanggil nama anaknya. “Iya, Pa.” Gerald keluar dari kamarnya seolah baru saja bangun dari tidurnya. “Baru bangun tidur?” tanya Jason kemudian duduk di sofa ruang tengah. Gerald menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ada apa, Pa? Tumben banget, datang ke sini. Tahu juga kalau aku ada di sini.” “Nanya Kayla, katanya kamu nggak ada di rumah. Papa hubungi dari tadi nggak diangkat-angkat.Tahunya lagi tidur.” Gerald tersenyum tipis. ‘Iyaa. Tidur sama perempuan,’ ucapnya dalam hati. Ia kemudian menatap sang papa yang terlihat lebih santai dari biasanya. “Kenapa, Pa? Ada apa, sampai hubungi aku berkali-kali, terus datangin aku ke sini?” Jason menghela napasnya dengan panjang. “Papa mau bahas pertunangan kamu dengan Cynthia.” Mata itu lant
Pagi hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Di dalam kamar, hanya berselimut tebal tanpa mengenakan sehelai benang pun. Gerald dan Sandra masih dalam keadaan tertidur dengan saling berpelukan. Setelah berbagai jenis perdebatan yang mereka lakukan, Sandra meminta Gerald untuk melepasnya jika dirinya hanya menjadi beban hidup lelaki itu. Gerald semakin murka dengan ucapan perempuan itu hingga membuat perdebatan sengit pun terjadi. Namun, akhirnya kembali reda setelah Sandra meminta maaf. Ia hanya ketakutan tidak mendapat restu dari papanya jika Gerald membangkang. Suara alarm membuat bising telinga keduanya. Sandra kemudian mengambil ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Mengucek matanya dan melihat jam di ponselnya. “Heuuh? Udah jam tujuh. Aku masih di sini.” Sandra menoleh kepada Gerald yang masih menutup matanya. “Mandi dulu deh. Habis itu aku buatkan sarapan dulu untuk Gerald terus pulang. Aku takut Gery sudah pulang.” Sandra beranjak dari tidurnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Sudah hampir sepuluh jam lamanya Sandra berdiam diri di kamar sembari memikirkan ucapan perempuan yang sudah menjadi perebut suaminya itu. Hanya satu yang jadi pikirannya. Apakah Gerald juga merasakan yang sama saat bercinta dengannya? Seperti patung manekin yang bernyawa, tidak berhasrat hanya untuk mengeluarkan puncaknya. Dengan tangan memeluk kedua lututnya, pikiran Sandra terus melayang pada ucapan menohok Gery dan juga Natasha. “Sandra!” Gery menghampiri perempuan itu. “Eeuh! Iya, Mas?” Ia segera bangun dari duduknya dan berdiri di depan lelaki itu. “Kamu sedang apa? Sudah masak atau belum? Aku lapar!” “Mas. Bukankah sudah ada Natasha yang bisa membuat hidup kamu seperti ini. Kenapa masih mengikatku? Bukankah pernikahan kita sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan?” Sandra meminta penjelasan kepada suaminya itu. “Bayar dulu utangmu, dan aku akan menceraikan kamu.” Sorot mata tajam itu membuat Sandra merinding mendengarnya. “Di
Gerald menatap wajah Sandra dengan tatapan tajam hingga membuat bahu perempuan itu meringkuk dengan kepala menunduk. Ia berani mengatakan hal itu kepada Gerald, tapi ada rasa takut juga yang menghantuinya. “Apa kamu bilang? Jangan hubungi kamu lagi? Semudah itu, kamu berucap kayak gitu ke aku setelah semua yang sudah kita lewati seperti tidak ada halangan untuk melakukannya.” Gerald mencengkeram bahu perempuan itu dengan suara cukup menekan. Sandra kemudian memberanikan diri untuk menatap Gerald yang tengah mengeluarkan kemarahannya. "Lalu, kamu pikir hubungan kita akan berjalan dengan baik?” tanyanya lemas. “Ya. Aku yang akan berjuang, Sandra. Kamu cukup jalani saja. Aku yang sudah memilih kamu untuk menjadi pasanganku. Itu artinya, aku sudah tahu konsekuensinya, apa yang harus aku lalui. Kamu takut pada Gery, itu wajar. Tapi, nggak perlu takut juga sama Papa. Dia urusan aku, bukan urusan kamu!” Gerald menegaskan sekali lagi kepada Sandra. Dengan cara apa pun, dia akan terus meya