“Kenapa diam? Harusnya kamu berani jawab pertanyaan simple itu karena menjalin hubungan dengannya kamu sangat berani!” Gery menatap wajah Sandra dengan tatapan penuh putus asa. Sampai akhirnya mereka pun tiba di rumah milik alexi. Masih berada di dalam mobil, Gery enggan membiarkan Sandra keluar begitu saja. “Kamu pasti sudah tahu jawabannya, Mas. Tidak perlu bertanya hal yang sudah kamu tahu jawabannya,” ucap Sandra dengan pelan setelah mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu. Gery tersenyum hampa. Ia kemudian menatap Sandra yang tengah menundukkan kepalanya. Mengembuskan napasnya dengan pelan dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil tersebut. Tak lama setelahnya, suara mobil dengan rem dadakan tiba di sana. Gerald segera keluar dari mobilnya dan membuka paksa mobil yang di dalamnya terdapat Sandra dan juga Gery. Mata itu menataptajam wajah Gery yang ikut keluar dari mobilnya. “Mau elo apakan lagi, huh? Cukup sekali, elo hampir merenggut
Plak!! Sebuah tamparan keras melayang begitu saja di pipi Natasha. "Gery! Apa-apaan kamu menamparku?" pekiknya sembari memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang dilakukan oleh Gery. "Masih ingat, dengan foto yang kamu kasih ke aku? Di depan hotel, Sandra dibawa oleh pria asing dan masuk ke dalam mobilnya. Masih ingat, huh?" pekiknya kemudian. Natasha terdiam seraya menatap Gerry dengan tatapan tak suka. "Memangnya kenapa? Terbukti kan, kalau Sandra selingkuh di belakang kamu?" Gery kemudian memegang dagu perempuan itu dan menatapnya dengan nyalang. "Kamu kan, yang udah kasih obat perangsang ke dalam minuman Sandra saat itu? Kamu, yang sudah menjebak Sandra sampai akhirnya dia dibawa oleh Gerald dan melakukan hubungan itu." Gery meminta penjelasan."Kamu tidak akan bisa menjawabnya. Kalaupun dijelaskan semuanya sudah terjadi. Sandra hamil anaknya Gerald, udah bahagia sama pria itu." Gery menghela napasnya dengan pelan. "Hubungan kita juga cukup sampai di sini, Natash
“Profesor Sandra lagi hamil, ya?” tanya Dokter Virna yang menangani Sandra saat jatuh pingsan tadi. Sementara Gerald dan Joseph tengah berdiri di depan pintu klinik tersebut sembari mendengarkan percakapan Sandra dan Dokter Virna. Sandra menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Dok,” ucapnya lemas. “Wah! Selamat, ya. Akhirnya, setelah lima tahun menunggu, hamil juga,” kata Santi, teman dekat Sandra yang sering menemani perempuan itu di sana. Sandra kemudian tersenyum lirih. Masalahnya, orang yang telah membuatnya hamil bukanlah suaminya. Melainkan Gerald jika semua orang tahu, akan menjadi masalah yang sangat besar di sana. “Terima kasih, Bu Santi,” ucapnya pelan. Santi kemudian mengusapi lengan perempuan itu. “Dijaga ya, kandungannya. Hamil anak pertama itu selalu ditunggu-tunggu dan dijaga betul-betul. Apalagi ini adalah penantian panjang. Suami Profesor pasti senang banget, kalau tahu istrinya sudah hamil.” Sandra kembali mengulas senyumnya. “Dia sudah tahu kok, Bu.” “Wa
Dengan malas, Gerald melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah milik orang tuanya itu. Jason meminta dirinya untuk menemui pria itu di kediamannya. "Nggak akan jauh dari pembahasan tentang Sandra," gumamnya dengan suara datarnya. Ia kemudian masuk ke dalam setelah membuka pintu tersebut. "Duduk!" titah sang papa kepada lelaki itu. Gerald menurut. Ia pun duduk di sofa dan menatap sang papa yang tengah menatapnya dengan lekat. "Ada apa?" tanya Gerald pelan. Jason menghela napas kasar. "Mau sampai kapan kamu menunggu perempuan itu, Gerald? Bahkan, kamu sendiri tahu kalau Sandra sedang hamil. Itu artinya, rumah tangga mereka baik-baik saja. Dan katanya juga, Sandra sangat bahagia karena akhirnya bisa hamil setelah lima tahun lamanya tidak memiliki keturunan." Ingin rasanya Gerald berkata jujur saat itu juga. Namun, Kayla menahannya. Jason sedang emosi. Dia tidak akan segan-segan memarahi Gerald jika hatinya sedang tidak bisa diusik. "Papa nggak tahu ceritanya. Sandra nggak bahagia,
Joseph menganga kala mendengar ucapan Jason yang memberi tahu bila dirinya tengah berada di depan apartemen Gerald. Matanya menatap Gerald yang tengah menunggunya bicara. “Kenapa?” tanyanya dengan suara paraunya. Joseph menghela napas pelan. “Om Jason ... dia lagi di depan apartemen elo.” Gerald langsung mendongakan kepalanya kemudian beranjak dari duduknya. Segera pulang karena sangat bahaya bila Jason nekad mengutak-atik sandi yang sudah dia ganti itu. Ia kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera tiba di apartemen. Rasa pengar yang dia alami dihiraukan begitu saja. Seperti tidak sedang mabuk, padahal matanya sudah oleng. “Sandra. Jangan keluar dari kamar, yaa. Ada Papa di depan apartemen. Aku sebentar lagi sampai.” Sandra terkejut bukan main saat mendengar ucapan Gerald. “I—iya, Gerald. Aku masih di kamar, kok. Nggak ke mana-mana. Sejak kapan, papa kamu ada di sana?” “Barusan. Ya sudah kalau gitu, jangan keluar dulu sebelum aku masuk ke kamar.” Gerald ke
Pagi hari telah tiba .... Ting! Notifikasi pesan masuk di ponsel Gerald. Lelaki itu lantas membukanya karena memang dia sudah terbangun dari tidurnya. Keningnya berkerut kala melihat pesan masuk tersebut. Papa: [Gerald. Papa akan melakukan apa saja asalkan kamu mau melupakan dia. Jangan coba-coba berurusan dengan Gery. Papa sayang sama kamu, Nak. Tolong, sama-sama jaga nama baik kita, oke?] Gerald hanya bisa memijat keningnya. Tidak bisa menjawab apa pun selain menghela napasnya dengan pelan. ‘Maafkan aku, Pa.’ Hanya itu yang bisa dia ucapkan, walau dalam hati.Sandra kembali diserang oleh morning sickness yang membuatnya harus berlari ke kamar mandi kemudian memuntahkan semua isian yang ada di dalam perutnya. Gerald menghampiri perempuan itu seraya mengusapi punggungnya dengan lembut. “Masih mabuk rupanya,” ucapnya pelan. Sandra kemudian menyiram muntahan di dalam wastafel tersebut. “Baru tiga bulan, Gerald. Trimester pertama emang masa-masa paling berat dalam kehamilan. Semog
Sore hari .... Gerald sudah keluar dari kampus dan langsung pulang ke apartemennya. Ia kemudian menoleh ke arah ponselnya di mana Sandra menghubunginya. “Iya, Sandra?” tanyanya setelah menerima panggilan tersebut. “Kamu sudah pulang?” “Sudah. Kamu mau apa?” tanyanya lagi. “Pengen jalan-jalan. Bosen, di dalam kamar terus. Mau kan, temenin aku jalan-jalan?”Gerald mengulas senyumnya setelah mendengar permintaan kekasihnya itu. “Oke. Mau jalan-jalan ke mana?” tanyanya kemudian. “Ke mana aja, yang penting liburan.” “Mau ke luar kota? Ke Bogor aja, yaa.” “Boleh. Aku tunggu, yaa.” Sandra kemudian menutup panggilan tersebut setelah mengiyakan ajakan Gerald pergi ke Bogor, di mana banyak tempat untuk menenangkan diri di sana. Lima belas menit kemudian Gerald pun sampai di apartemen. Ia langsung menghampiri Sandra yang tengah duduk sembari memandang kota Jakarta di balik jendela. Cup! Lelaki itu mengecup pipi kanan sang kekasih kemudian menerbitkan senyumnya. “Bosen banget, yaa? Tap
“Selamat makan, Sandra.” Gerald mengulas senyumnya seraya melahap makanan yang ada di atas mejanya.Malam pertama ada di villa mereka awali dengan makan malam terlebih dahulu agar perutnya terisi yang setelahnya akan melakukan hal lain di sana.“Kamu jago masak, Gerald,” puji Sandra yang tengah menikmati sup ayam yang dibuatkan oleh lelaki itu.Gerald lantas mengulas senyumnya. “Tidak sejago kamu, tapi. Karena kamu lagi pusing dan mabuk, aku paksakan buat masak untuk kamu.”Sandra terkekeh pelan. “Tapi beneran lho, enak. Makasih ya, Gerald.” Sandra mengulas senyumnya kepada lelaki itu.“Sama-sama.”Keduanya kembali melahap makanan yang masih tersisa banyak itu agar segera habis. Karena waktu sudah menunjuk angka sembilan malam.Udara di sana semakin dingin. Membuat jiwa Gerald ingin menuntaskan hasrat yang ada di dalam dirinya kala melihat betapa c