Share

Bab 2

Setelah mengemasi semua barang-barang. Riko pun langsung mengajaknya pergi dari rumah kontrakan itu.  Riko yang sudah tidak bekerja lagi kini memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya. 

Nia yang kini sudah ada di depan rumah keluarga Riko terlihat terkejut. Pasalnya dia tahu pasti jika keluarga suaminya akan membenci keberadaannya. Persis seperti pertama kali dia datang ke rumah itu 7 tahun yang lalu. 

"Jadi kamu menyuruhku membereskan barang-barang kita karena kamu ingin mengajakku tinggal bersama orang tuamu," ucap Nia sambil menggendong Sandi. 

"Iya, aku sudah tidak bekerja jadi menurutku lebih baik kita tinggal disini saja," jawab Riko yang langsung mengangkat beberapa tas koper. 

"Tapi, Mas …." 

"Kenapa? Kamu tidak suka. Jika kamu tidak suka, kamu bisa tinggal bersama orang tuamu!" perintah Riko yang langsung berjalan masum ke rumah.

 

Jarak rumah Riko dengan rumah kontrakan mereka tidak begitu jauh. Masih dalam satu komplek perumahan tapi beda Rt. Riko memang terlahir dari keluarga kaya dan harmonis. 

Berbeda dengan Nia yang terlahir dari keluarga miskin dan broken home. Ayah Nia yang dahulu adalah seorang Polisi terpaksa dikeluarkan karena sering melalaikan tugas dinas yang diberikan kepadanya. Tidak hanya itu, selepas keluar dari anggota Polisi Budi justru memutuskan untuk melakukan poligami dan mengajak istri keduanya untuk tinggal seatap dengan istri pertamanya. 

"Makanya kalau belum mampu hidup sendiri jangan sok-sokan buat keluar dari rumah ini. Masih miskin saja sudah sombong bagaimana kaya," ucap Sukma saat melihat Nia masuk ke dalam rumah. 

"Sekarang cepat bawa masuk tas ini ke dalam kamar, setelah itu cepat siapkan makan siang untukku!" perintah Riko sambil melemparkan tas ke arah Nia. 

"Menyusahkan saja," ucap Sari yang saat itu duduk di sofa.

"Ya Allah, sifat mereka benar-benar tidak berubah. Masih sama seperti dulu," batin Nia sambil mengambil tas koper.  

Setelah menata semua pakaian di dalam lemari. Dia pun langsung berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya. Namun, baru saja dia membuka pintu lemari es tiba-tiba terdengar bentakan dari samping.  

"Eh! Mau apa kamu?" tanya Sukma dengan nada tinggi.  

"Ini Bu. Aku mau masak untuk makan siang," jawab Nia sambil langsung menutup pintu lemari es.  

"Asal kamu tahu ya! Di rumah ini hanya aku yang boleh masak untuk makan. Jadi, lebih baik sekarang kamu cepat cuci baju dan piring-piring kotor itu," perintah Sukma sambil menunjuk ke arah piring kotor yang menumpuk.  

"Tapi, Bu. Bukannya tadi Mas Riko menyuruhku untuk memasak." Nia terlihat ketakutan. 

"Eh perempuan miskin! Yang menjadi Nyonya besar di rumah ini aku atau kamu? Kamu lupa kalau rumah ini adalah rumahku bukan kontrakan orang tuamu! " bentak Sukma sambil bertolak pinggang. 

Orang tua Nia yang memang dari keluarga kurang mampu. Memang tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Sebuah rumah kontrakan yang sederhana dan tidak jauh dari tempat tinggal Sukma. 

"Maafkan aku, Bu. Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku saja." Nia terlihat menunduk menyembunyikan air matanya. 

"Ada apa sih, Bu? Siang-siang kok teriak-teriak," tanya Sari yang baru saja keluar dari dalam kamarnya. 

"Perempuan miskin ini, enak saja dia mau ambil makanan dari dalam lemari es. Memang dia pikir makanan ini hasil minta apa seenaknya saja main ambil-ambil," jawab Sukma dengan ketus. 

"Eh, aku tidak pernah melarang kamu untuk tinggal di rumah ini. Tetapi untuk makan paling tidak kamu usaha dong, masa harus numpang juga apa nggak malu?" ucap Sari dengan tatapan tajam. 

"Iya, Mbak. Nanti saya akan minta Mas Riko untuk bekerja agar dia bisa memberi nafkah untuk kami," jawab Nia sambil menoleh ke arah Sari.  

"Riko! Enak saja kamu menyuruh adik ku kerja, kamu dong kerja jangan bisanya hanya jadi benalu dalam kehidupan orang lain," ucap Sari sambil mendorong tubuh Nia pelan. 

Riko bukanlah anak tunggal di keluarga itu, dia mempunyai seorang kakak dan adik. Sari adalah anak pertama di keluarga itu, Sari memiliki pekerjaan yang cukup bagus daripada kedua adiknya. Namun, sayangnya di usia yang sudah menginjak 44 tahun Sari belum juga mendapat jodoh.  

Hal berbeda justru terlihat pada adik bungsu Riko yang bernama Anton. Anton memiliki sikap yang lebih pendiam daripada kedua kakaknya. Tetapi berbeda dengan sang istri yang bernama Rumi yang diam-diam sering memfitnah dan mengadu domba Nia dan Sukma. 

"Sudah-sudah! Lebih baik cepat kamu cuci piring-piring itu, tapi ingat jangan sampai ada barang-barangku yang pecah! Jika pecah satu saja kamu tidak akan mendapatkan jatah makan," ucap Sukma yang langsung menarik tangan Nia. 

Nia yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya menuruti perintah sang mertua. Terlihat tumpukan beberapa piring kotor, panci dan tempat bekas membuat kue tergeletak di lantai tempat cuci piring. Entah sudah berapa lama barang-barang itu tidak dibersihkan hingga menimbulkan bau yang tidak sedap.  

Satu jam berlalu, Sukma yang sejak tadi sibuk memasak akhirnya selesai. Dengan kasar dia mulai meletakkan kembali barang-barang kotor di tempat cuci piring. Nia yang belum makan sejak pagi akhirnya berdiri dan berjalan ke arah meja makan. 

"Ya Allah aku lapar sekali, sejak pagi aku belum makan. Lebih baik aku ke meja makan dan makan terlebih dahulu," batin Nia sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan.

"Mau apa kamu?!" tanya Sukma dengan ketus. 

"Maaf, Bu. Aku lapar, apa boleh aku bergabung untuk makan siang?" jawab Nia sambil memegangi perutnya. 

"Memang tugas kamu sudah selesai?" tanya Sukma yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Nia. 

"Dasar pemalas, sudah tahu pekerjaan belum selesai sudah minta makan. Eh kalau kamu mau makan selesaikan dulu semua pekerjaanmu," jawab Sukma sambil menyendokkan nasi untuk ketiga anak Nia.  

"Tapi, Bu.  A-aku …."

"Sudahlah! Lebih baik kamu cepat selesaikan dulu pekerjaanmu biar kamu cepat bisa makan," ucap Riko dengan tiba-tiba.  

"Ya ampun, perutku lapar sekali. Tega sekali mereka menyuruhku kerja tanpa memberiku makan," batin Nia sambil menatap semua orang yang ada di meja makan.  

"Bunda, ini makanan buat Bunda. Kebetulan Doni sudah kenyang," ucap putra pertama Nia yang bernama Doni. 

"Tidak-tidak. Lebih baik kamu cepat habiskan makananmu, biar Bunda kalian kerjakan dulu pekerjaannya!" bentak Sukma hingga membuat kedua ketiga cucunya terkejut.

"Nek, kenapa Bunda tidak boleh makan bersama kita." Tiba-tiba terdengar suara Sesil putri kedua Nia.

"Bukan tidak boleh, tapi Bunda kalian harus menyelesaikan dulu pekerjaannya baru nanti Nenek izinkan makan," jawab Sukma sambil tersenyum. 

Sambil melirik ke arah Doni dan Sesil. "Doni, Sesil cepat habiskan makananmu! Setelah itu Ayah antar kamu ke rumah Mbah utie." 

Mbah utie adalah panggilan yang diberikan anak-anak Nia kepada orang tua Nia. Anak pertama dan kedua Nia memang sejak kecil dirawat oleh orang tuanya yang kebetulan tinggal di daerah yang sama. Berbeda dengan putra ketiga Nia yang selalu menghabiskan hari-harinya bersama dengan Riko dan Nia. 

"Ini makanan untukmu," ucap Sukma sambil menyerahkan nasi sisa. 

"Ini nasi sisa, Bu?" jawab Nia sambil menunjukkan isi piring itu. 

"Iya, tadi makanan Sari, dan ketiga anakmu tidak habis. Jadi daripada dibuang dan mubazir lebih baik Ibu jadikan satu. Lumayan kok masih ada lauk dan daging ayamnya walaupun sedikit," jawab Sukma yang langsung meninggalkan Nia. 

"Tapi, Bu. Makanan ini sudah tidak layak makan, Ibu lihat saja ada beberapa kotoran yang masuk ke piring ini." Nia melihat makanan itu dengan jijik. 

"Kenapa! Kamu tidak mau?Sini. kalau kamu tidak mau lebih baik aku berikan kucing, tapi jangan harap kamu akan mendapatkan jatah makan hari ini!" bentak Sukma sambil menarik piring yang ada di tangan menantunya.

"Serendah itukah aku di hadapan mereka? Sampai mereka memberikan aku nasi sisa, bagaimana ini perut ku lapar sekali," batin Nia sambil menatap piring yang sudah berada di tangan Sukma. 

"Gimana apa kamu tetap menolak makanan ini?!" bentak Sukma hingga membuat Nia terkejut.

"Iya, Bu. Aku mau," ucapnya sambil mengulurkan tangannya. 

"Nah gitu dong, jadi nasi ini nggak mubazir. Miskin saja pakai pilih-pilih makanan," oceh Sukma sambil berjalan meninggalkan menantunya.

***

"Permisi, apa benar ini rumah Ibu Nia?" tanya laki-laki tersebut sambil membawa beberapa lembar kertas di tangannya. 

"Iya, saya sendiri. Maaf Bapak ada perlu apa mencari saya?" tanya Nia yang terlihat penasaran.  

"Begini, Bu. Kami kesini untuk menagih uang angsuran motor yang sudah menunggak hingga 4 bulan," jawab laki-laki tersebut sambil menyerahkan selembar kertas. 

Sambil membaca kertas tersebut. "Bukti tagihan pembayaran motor." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status