Setelah mengemasi semua barang-barang. Riko pun langsung mengajaknya pergi dari rumah kontrakan itu. Riko yang sudah tidak bekerja lagi kini memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya.
Nia yang kini sudah ada di depan rumah keluarga Riko terlihat terkejut. Pasalnya dia tahu pasti jika keluarga suaminya akan membenci keberadaannya. Persis seperti pertama kali dia datang ke rumah itu 7 tahun yang lalu. "Jadi kamu menyuruhku membereskan barang-barang kita karena kamu ingin mengajakku tinggal bersama orang tuamu," ucap Nia sambil menggendong Sandi. "Iya, aku sudah tidak bekerja jadi menurutku lebih baik kita tinggal disini saja," jawab Riko yang langsung mengangkat beberapa tas koper. "Tapi, Mas …." "Kenapa? Kamu tidak suka. Jika kamu tidak suka, kamu bisa tinggal bersama orang tuamu!" perintah Riko yang langsung berjalan masum ke rumah. Jarak rumah Riko dengan rumah kontrakan mereka tidak begitu jauh. Masih dalam satu komplek perumahan tapi beda Rt. Riko memang terlahir dari keluarga kaya dan harmonis. Berbeda dengan Nia yang terlahir dari keluarga miskin dan broken home. Ayah Nia yang dahulu adalah seorang Polisi terpaksa dikeluarkan karena sering melalaikan tugas dinas yang diberikan kepadanya. Tidak hanya itu, selepas keluar dari anggota Polisi Budi justru memutuskan untuk melakukan poligami dan mengajak istri keduanya untuk tinggal seatap dengan istri pertamanya. "Makanya kalau belum mampu hidup sendiri jangan sok-sokan buat keluar dari rumah ini. Masih miskin saja sudah sombong bagaimana kaya," ucap Sukma saat melihat Nia masuk ke dalam rumah. "Sekarang cepat bawa masuk tas ini ke dalam kamar, setelah itu cepat siapkan makan siang untukku!" perintah Riko sambil melemparkan tas ke arah Nia. "Menyusahkan saja," ucap Sari yang saat itu duduk di sofa."Ya Allah, sifat mereka benar-benar tidak berubah. Masih sama seperti dulu," batin Nia sambil mengambil tas koper. Setelah menata semua pakaian di dalam lemari. Dia pun langsung berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya. Namun, baru saja dia membuka pintu lemari es tiba-tiba terdengar bentakan dari samping. "Eh! Mau apa kamu?" tanya Sukma dengan nada tinggi. "Ini Bu. Aku mau masak untuk makan siang," jawab Nia sambil langsung menutup pintu lemari es. "Asal kamu tahu ya! Di rumah ini hanya aku yang boleh masak untuk makan. Jadi, lebih baik sekarang kamu cepat cuci baju dan piring-piring kotor itu," perintah Sukma sambil menunjuk ke arah piring kotor yang menumpuk. "Tapi, Bu. Bukannya tadi Mas Riko menyuruhku untuk memasak." Nia terlihat ketakutan. "Eh perempuan miskin! Yang menjadi Nyonya besar di rumah ini aku atau kamu? Kamu lupa kalau rumah ini adalah rumahku bukan kontrakan orang tuamu! " bentak Sukma sambil bertolak pinggang. Orang tua Nia yang memang dari keluarga kurang mampu. Memang tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Sebuah rumah kontrakan yang sederhana dan tidak jauh dari tempat tinggal Sukma. "Maafkan aku, Bu. Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku saja." Nia terlihat menunduk menyembunyikan air matanya. "Ada apa sih, Bu? Siang-siang kok teriak-teriak," tanya Sari yang baru saja keluar dari dalam kamarnya. "Perempuan miskin ini, enak saja dia mau ambil makanan dari dalam lemari es. Memang dia pikir makanan ini hasil minta apa seenaknya saja main ambil-ambil," jawab Sukma dengan ketus. "Eh, aku tidak pernah melarang kamu untuk tinggal di rumah ini. Tetapi untuk makan paling tidak kamu usaha dong, masa harus numpang juga apa nggak malu?" ucap Sari dengan tatapan tajam. "Iya, Mbak. Nanti saya akan minta Mas Riko untuk bekerja agar dia bisa memberi nafkah untuk kami," jawab Nia sambil menoleh ke arah Sari. "Riko! Enak saja kamu menyuruh adik ku kerja, kamu dong kerja jangan bisanya hanya jadi benalu dalam kehidupan orang lain," ucap Sari sambil mendorong tubuh Nia pelan. Riko bukanlah anak tunggal di keluarga itu, dia mempunyai seorang kakak dan adik. Sari adalah anak pertama di keluarga itu, Sari memiliki pekerjaan yang cukup bagus daripada kedua adiknya. Namun, sayangnya di usia yang sudah menginjak 44 tahun Sari belum juga mendapat jodoh. Hal berbeda justru terlihat pada adik bungsu Riko yang bernama Anton. Anton memiliki sikap yang lebih pendiam daripada kedua kakaknya. Tetapi berbeda dengan sang istri yang bernama Rumi yang diam-diam sering memfitnah dan mengadu domba Nia dan Sukma. "Sudah-sudah! Lebih baik cepat kamu cuci piring-piring itu, tapi ingat jangan sampai ada barang-barangku yang pecah! Jika pecah satu saja kamu tidak akan mendapatkan jatah makan," ucap Sukma yang langsung menarik tangan Nia. Nia yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya menuruti perintah sang mertua. Terlihat tumpukan beberapa piring kotor, panci dan tempat bekas membuat kue tergeletak di lantai tempat cuci piring. Entah sudah berapa lama barang-barang itu tidak dibersihkan hingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Satu jam berlalu, Sukma yang sejak tadi sibuk memasak akhirnya selesai. Dengan kasar dia mulai meletakkan kembali barang-barang kotor di tempat cuci piring. Nia yang belum makan sejak pagi akhirnya berdiri dan berjalan ke arah meja makan. "Ya Allah aku lapar sekali, sejak pagi aku belum makan. Lebih baik aku ke meja makan dan makan terlebih dahulu," batin Nia sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan."Mau apa kamu?!" tanya Sukma dengan ketus. "Maaf, Bu. Aku lapar, apa boleh aku bergabung untuk makan siang?" jawab Nia sambil memegangi perutnya. "Memang tugas kamu sudah selesai?" tanya Sukma yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Nia. "Dasar pemalas, sudah tahu pekerjaan belum selesai sudah minta makan. Eh kalau kamu mau makan selesaikan dulu semua pekerjaanmu," jawab Sukma sambil menyendokkan nasi untuk ketiga anak Nia. "Tapi, Bu. A-aku ….""Sudahlah! Lebih baik kamu cepat selesaikan dulu pekerjaanmu biar kamu cepat bisa makan," ucap Riko dengan tiba-tiba. "Ya ampun, perutku lapar sekali. Tega sekali mereka menyuruhku kerja tanpa memberiku makan," batin Nia sambil menatap semua orang yang ada di meja makan. "Bunda, ini makanan buat Bunda. Kebetulan Doni sudah kenyang," ucap putra pertama Nia yang bernama Doni. "Tidak-tidak. Lebih baik kamu cepat habiskan makananmu, biar Bunda kalian kerjakan dulu pekerjaannya!" bentak Sukma hingga membuat kedua ketiga cucunya terkejut."Nek, kenapa Bunda tidak boleh makan bersama kita." Tiba-tiba terdengar suara Sesil putri kedua Nia."Bukan tidak boleh, tapi Bunda kalian harus menyelesaikan dulu pekerjaannya baru nanti Nenek izinkan makan," jawab Sukma sambil tersenyum. Sambil melirik ke arah Doni dan Sesil. "Doni, Sesil cepat habiskan makananmu! Setelah itu Ayah antar kamu ke rumah Mbah utie." Mbah utie adalah panggilan yang diberikan anak-anak Nia kepada orang tua Nia. Anak pertama dan kedua Nia memang sejak kecil dirawat oleh orang tuanya yang kebetulan tinggal di daerah yang sama. Berbeda dengan putra ketiga Nia yang selalu menghabiskan hari-harinya bersama dengan Riko dan Nia. "Ini makanan untukmu," ucap Sukma sambil menyerahkan nasi sisa. "Ini nasi sisa, Bu?" jawab Nia sambil menunjukkan isi piring itu. "Iya, tadi makanan Sari, dan ketiga anakmu tidak habis. Jadi daripada dibuang dan mubazir lebih baik Ibu jadikan satu. Lumayan kok masih ada lauk dan daging ayamnya walaupun sedikit," jawab Sukma yang langsung meninggalkan Nia. "Tapi, Bu. Makanan ini sudah tidak layak makan, Ibu lihat saja ada beberapa kotoran yang masuk ke piring ini." Nia melihat makanan itu dengan jijik. "Kenapa! Kamu tidak mau?Sini. kalau kamu tidak mau lebih baik aku berikan kucing, tapi jangan harap kamu akan mendapatkan jatah makan hari ini!" bentak Sukma sambil menarik piring yang ada di tangan menantunya."Serendah itukah aku di hadapan mereka? Sampai mereka memberikan aku nasi sisa, bagaimana ini perut ku lapar sekali," batin Nia sambil menatap piring yang sudah berada di tangan Sukma. "Gimana apa kamu tetap menolak makanan ini?!" bentak Sukma hingga membuat Nia terkejut."Iya, Bu. Aku mau," ucapnya sambil mengulurkan tangannya. "Nah gitu dong, jadi nasi ini nggak mubazir. Miskin saja pakai pilih-pilih makanan," oceh Sukma sambil berjalan meninggalkan menantunya.***"Permisi, apa benar ini rumah Ibu Nia?" tanya laki-laki tersebut sambil membawa beberapa lembar kertas di tangannya. "Iya, saya sendiri. Maaf Bapak ada perlu apa mencari saya?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Begini, Bu. Kami kesini untuk menagih uang angsuran motor yang sudah menunggak hingga 4 bulan," jawab laki-laki tersebut sambil menyerahkan selembar kertas. Sambil membaca kertas tersebut. "Bukti tagihan pembayaran motor."Nia yang tidak merasa pernah melakukan pengajuan kredit apapun langsung menolak untuk membayar tagihan tersebut. Keributan kecil itu ternyata didengar oleh Sukma dan Sari yang saat itu sedang menonton televisi di dalam rumah. Saat keduanya keluar terlihat Nia sedang berdebat dengan dua dekoleptor tersebut. "Ada apa ini?!" bentak Sukma yang baru saja keluar dari rumah. "Ini Bu. Dua laki-laki ini datang kemari untuk meminta uang angsuran motor yang belum terbayarkan selama 4 bulan lebih," jawab Nia sambil menunjukkan surat kepada Sukma. "Kredit motor." Sukma terlihat membaca surat itu dengan seksama. "Benar. Di surat itu tertulis jika Ibu Nia telah melakukan pembelian motor kepada kami, dan ini sudah hampir 5 bulan dia menunggak pembayaran." jawab salah satu dekoleptor. Setelah mendengar penjelasan sang depkolektor wajah Sukma langsung terlihat kesal. Terlihat jelas jika dia sedang menahan amarah yang besar kepada sang menantu. Sambil menyerahkan kertas itu kepada Nia, Sukma langsu
Tidak berapa lama Nia dan Riko sudah tiba di sebuah hotel mewah yang ada di kota Surabaya. Sesaat Nia terlihat bingung saat baru saja tiba di hotel tersebut. Terlihat Nia sedang melihat sekeliling lobby hotel dengan rasa takjub. "Mas, kenapa kita ke hotel ini?" tanya Nia yang sedikit bingung. "Pertemuan memang diadakan di sini, jadi jangan buat aku malu." Riko mencoba memperingatkan Nia. "Ya Allah, besar sekali hotel ini. Sepertinya Mas Riko memang memiliki pekerjaan yang lebih baik," gumam Nia sambil melihat sekeliling hotel. Riko yang sejak tadi berdiri di loby hotel langsung meminta Nia untuk duduk di sebuah sofa. Sementara Riko langsung berjalan ke arah sebuah meja yang berjarak 50 meter dari tempat duduk Nia. Terlihat Riko sedang berbicara dengan seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun. “Mas Riko sedang bicara dengan siapa itu? Apa mungkin itu Bos besar yang dia maksud,” ucap Nia sambil memperhatikan Riko dari kejauhan. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Riko pun kemb
"Lebih baik aku menceritakan perbuatan Mas Riko pada orang tuaku," batin Nia sambi duduk di tempat tidur.Sejak pertengkaran itu, Nia akhirnya berusaha mencari solusi dengan menceritakan semua perbuatan Riko kepada orang tuanya. Harapan akan pembelaan orang tuanya ternyata hanyalah isapan jempol belakang. Bukannya mendapat pembelaan Nia justru disalahkan atas apa yang dikatakannya. "Kamu pikir Ayah percaya dengan ceritamu? Tidak, karena selama ini Ayah tidak pernah melihat keburukan pada diri Riko!" bentak Budi yang terlihat kesal. “Ayah memang tidak pernah melihat keburukan pada Riko karena selama ini dia selalu bersikap baik di depan kalian, berbeda saat dia ada dirumahnya!” teriak Nia sambil menangis. “Nia, jaga ucapanmu! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu menjadi wanita pembangkang, apalagi pada suami,” bentak Budi yang langsung menampar pipi sang putri. "Nia, semua masalah itu pasti ada di setiap rumah tangga. Tetapi Ibu yakin Riko tidak akan sampai hati menjualmu pada l
"Kalian berdua memalukan! Anak tiga saja kalian tidak mampu memberi kehidupan yang layak, sekarang malah mau punya anak lagi." Sukma masuk ke dalam rumah sambil marah-marah. "Ada apa, Bu? Pulang dari Rumah sakit malah marah-marah seperti itu?" tanya Rumi yang saat iti duduk di sofa bersama Sari. Sambil menoleh ke arah Nia dan Riko yang ada di belakangnya. "Kalian tanya saja sama saudara kalian ini." "Nia! Apa kamu tidak melakukan KB selama ini?" tanya Riko pada sang istri. "Tidak, Mas. Karena selama ini aku tidak pernah cocok setiap melakukan KB," jawab Nia sambil menunduk. "Itulah bodohnya dirimu, sudah tahu miskin masih saja sok-sokan punya anak lagi," ucap Sukma. "Riko Ibu tidak mau tahu kalian harus menggugurkan anak itu." "Apa di gugurkan? Tidak aku tidak mau mengugurkan anak ini!" bentak Nia sambil memegang perutnya. "Jadi wanita miskin ini sedang hamil, dasar tidak tahu diri. Bayakin itu uang bukan anak," ucap Sari sambil memandang Nia dengan tatapan hina. "Ibu benar, ka
"Riko! Apa kamu tidak mendengar istrimu berteriak seperti itu?" tanya Sukma yang terlihat kesal. "Halah, sudahlah. Bu, biarkan dia berteriak sesuka hati nanti kalau capek juga diam sendiri," jawab Riko sambil terus menatap ke arah televisi. "Bukan masalah dia nanti diam atau apa, tapi Ibu ini pusing mendengar teriakan istrimu. Lagi pula tidak enak jika sampai tetangga mendengarnya," ucap Sukma. "Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan, Ibu tahu sendiri aku sedang melihat acara televisi." Sambil menarik tangan Riko."Sekarang kamu masuk ke dalam dan minta istrimu untuk menghentikan teriakannya." "Tidak mau, aku masih melihat acara ini." Riko langsung menolak perintah Sukma. "Dasar anak tidak bisa di atur," gerutu Sukma sambil berjalan ke arah kamar Nia. Sukma yang baru saja membuka pintu terkejut saat melihat menantunya duduk di lantai dengan darah segar yang menggalir. Merasa khawatir Sukma langsung berteriak memanggil Riko. Hingga membuat seluruh orang yang ada di rumah itu te
"Aku akan membawa mu bertemu dengan Maya, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa syaratnya?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Yang pertama kamu tidak boleh menyakitinya, dan yang kedua setelah bertemu dengannya kamu harus mau melayani seorang tamu," jawab Riko sambil dudukdi tempat tidur. "Syarat pertama aku terima, tapi tidak dengan syarat kedua. Aku akan bekerja sebagai pembatu untuk membayar semua hutang-hutang mu," ucap Nia dengan tatapan tajam. "Tidak bisa! Kamu harus terus melayani tamu yang datang, jika tidak aku akan melaporkanmu ke Polisi. Sekaligus tidak ada pertemuan dengan Maya." Bagaimana ini, lebih baik aku iyakan saja. Semua ini aku lakukan untuk mengetahui siapa wanita bernama Maya tersebut," batin Nia sambil menatap wajah licik sang suami. "Baik, aku terima semua syarat darimu." *** Keesokan harinya, Nia dan Riko akhirya pergi ke ruma Maya. Nia yang saat itu memiliki sedikit uang pemberian ibunya. Meminta sang suami untuk berhenti di sebuah toko kue. "Assalammua
Riko yang sudah menahan amarahnya sejak tadi. Langsung menyeret Nia kedalam kamar. Dengan sadis Riko langsung mencambuk istrinya itu dengan menggunakan ikat pinggang. "Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kamu kabur dari tempat itu." Riko terus mencambuk sang istri tanpa belas kasihan. "Ampun, Mas. Aku mohon ampuni aku!" teriak Nia sambil menangis. "Kamu tahu, gara-gara kelakuanmu itu hari ini aku rugi banyak! Dan kamu harus mengganti semua kerugian itu," jelas Riko sambil terus mencambuk tubuh sang istri. "Aku janji akan membayar semua, tapi aku mohon jangan paksa aku untuk melakukan pekerjaan itu lagi. Mas, aku lebih baik menjadi pembantu daripada harus melayani laki-laki yang bukan suamiku!" teriak Nia sambil memohon. "Tutup mulutmu! Ingat aku tidak akan segan-segan menyakitimu jika kamu melaporkan hal ini pada orang lain," ancam Riko sambil menjambak rambut Nia. Sambil mengetuk pintu kamar. "Riko! Riko. Cepat buka pintu kamarnya." "Ibu, ada apa sih mengganggu sa
Riko yang sejak tadi pergi. Kini sudah ada di depan pintu. Dengan segera dia langsung menarik tangan sang istri dengan kasar dan membawanya masuk kedalam kamar. "Riko! Lepaskan putriku. Kamu tidak bisa memperlakukannya seperti itu!" bentak Indah sambil menangis. "Kenapa tidak bisa? Aku suaminya, jadi aku bebas melakukan apapun yang aku mau," jawab Riko sambil mendorong mertuanya. "Dasar menantu durhaka, bisa-bisanya kamu memperlakukan mertua sendiri seperti itu!" bentak Rosa sambil membantu Indah berdiri. "Nia! Nia, keluar. Nak! Ayo kita pulang, lepaskan saja suamimu ini!" teriak Indah sambil menangis. Riko yang tidak mau tetangga mendengar pertengkaran itu. Langsung menyeret tangan Indah keluar dari rumahnya. Sukma yang melihat kejadian itu terlihat tertawa bahagia. "Kamu benar-benar menantu tidak punya hati, aku menyesal sudah menikahkan putriku dengan laki-laki sepertimu!" teriak Indah. Teriakan Indah ternyata didengar oleh beberapa tetangga Riko. Hingga membuat mereka semua