Share

Baru Awal

"Mbok, menurut Mbok, bagusnya si Maya diapain ya?" tanyaku pada Simbok. Ia yang sedang mencuci piring dan aku sedang duduk sambil memainkan pisau.

"Aduh, itu pisau buat apa?" kata Simbok ketakutan. Ia yang sedang mencuci piring pun segera meraih pisau di tanganku.

"Apa sih, Mbok?" ulasku halus.

"Non jangan nekad ah. Mending kita jahilin aja tuh si non Maya. Jangan dengan benda tajam kayak gitu." Wajah Simbok parno. Memangnya aku fikir aku akan berbuat nekad dengan pisau di tanganku?

Aku terkekeh. Pisau sudah ada di genggaman Simbok. "Ya ampun, Mbok, aku masih waras kali. Kalau yang adanya pisau di meja, ya yang aku raba pisau, lah," jawabku masih terkekeh.

"Syukurlah. Simbok pikir Non mau ...."

"Enggaklah, Mbok. Aku kan gak jahat. Tindakan kriminal mah aku gak suka. Lebih suka ke, menjahili gitu. Biar sesekali pita suara ini dimanjakan dengan tawa riang bahagia," jawabku lagi. Simbok nampak mengelus dada. Ia tak lagi khawatir.

"Non gak sakit hati?" tanya Simbok dengan lirih. Wajahnya amat iba padaku.

"Istri mana yang gak sakit hati sih, Mbok. Ini aku lebih dari sakit hati. Tapi aku tak akan jadi bucin. Aku gak akan menangisi perselingkuhan mereka. Orang semacam mas Andri tak pantas ditangisi."

Blugk!

Saat kami masih ngobrol, aku mendengar suara mobil memarkir di depan halaman rumah. Dan terdengar pula suara pintu mobil menutup.

"Mbok, aku lihat dulu!"

Simbok manggut-manggut.

Aku segera berlari. Membawa kemoceng dan alat bersih-bersih lainnya. Ini baru pukul dua siang, dan siapa yang datang? Mas Andri?

Aku yang tadinya ingin mengintip dari lubang pintu pun tak berhasil, karena orang dari dalam mobil keburu masuk. Mereka tertawa-tawa bahagia. Dan itu Mas Andri dan si Maya tidak tahu diri. Mereka datang bersama. Bawa belanjaan lagi.

Aku pura-pura sedang membersihkan lemari dengan kemoceng. Juga lap-lap kaca yang padahal sudah mengkilap.

"Makasih ya, Sayang. Baju sama sepatunya bagus-bagus banget," kata si Maya sambil gelendotan. Mereka jalan santai di belakangku. Masuk pun tanpa permisi. Seperti rumahnya saja.

"Tuan, Nyonya, sudah pulang," sapaku lembut dan amat sopan. Batin ini bergemuruh dan emosi melihat dua orang yang ahli dalam hal penipuan. Emosi menggebu-gebu, namun aku berhasil menahannya.

"Iya. Tolong ambilkan kami minum." Mas Andri menyuruhku.

"Es jeruk, ya. Dua gelas," pinta si Maya sambil gelendotan. Dan kini mereka duduk.

"Iya, Tuan, Nyonya. Siap." Aku segera berlari ke arah dapur. Akan kubuatkan jus untuk mereka. Jus jeruk sesuai pesanan.

"Eh, sama cemilannya juga. Jangan lupa." Pinta Maya dengan imingan cemilan.

"Oke, Non." Seenaknya saja. Tapi biarlah, biar dia nikmati dulu menjadi Ratu di rumah ini. Dan aku menikmati jadi babu di rumahku. Selama beberapa hari ini juga kerjaanku ringan. Semuanya dikerjakan Simbok. Ia tak boleh membiarkanku bekerja. Kecuali di depan Mas Andri. Sekedar pura-pura.

Maya dan Mas Andri tak curiga kah? Yang pastinya tidak. Mereka amat santai saja. Masuk rumah mewah milikku, belanja menggunakan uang dari hasil jerih payahku. Selama ini kan Mas Andri tak bisa apa-apa. Hotel terus aku yang jalankan. Dia hanya numpang tenar saja.

"Non, mau buat apa?" tanya Simbok.

"Ini, aku mau buat jus jeruk buat mereka, Mbok," jawabku sambil meraih beberapa buah jeruk untuk kubuat jus.

"Simbok saja yang bikin," tawar Simbok.

"Gak usah. Biar aku saja." Aku menolak tawaran Simbok. Biar kubuatkan minuman spesial untuk mereka. Minuman jus jeruk spesial yang tak pernah mereka dapatkan dari manapun.

"Mbok duduk saja. Biar aku yang buat ini." Aku kembali meminta Simbok duduk. "Yo wes, Simbok mau lap piring basah saja." Simbok menjawab sambil memulai pekerjaannya.

Aku meraih blender. Kumasukkan perasan jeruk manis yang agak masam, biar seger. Namun yang sudah agak busuk sedikit. Untuk menghilangkan aroma baunya, aku bisa atasi dengan sesuatu. Dan tak lupa aku juga menuangkan air mentah dari keran. Acap kali aku menoleh pada Simbok sambil terkekeh. Simbok hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil ikut terkekeh pula.

"Pakai cabai, Non," tawar Simbok.

"Jangan dong, Mbok. Entar kan jadi pedes. Nanti mereka curiga. Kalau pakai yang kayak ginian kan masih serasa jus jeruk segar." Aku menjawab sambil terus mengisi blender dengan air mentah dari keran.

"Itu apa, Non?" tanya Simbok saat ia melihatku meraih sesuatu.

"Ini serbuk pencuci perut. Tapi baru akan bereaksi sesudah beberapa jam. Biar gak curiga. Aku akan masukkan ke minuman Maya." Aku menjelaskan.

"Owalah." Simbok menggeleng-geengkan kepala lagi.

Rrrrdttt ... rrrrdttt ...

Sudah kuaduk di blender jus jeruk tadi. Ditambah es batu yang kuambil dari freezer. Sengaja pula aku mencium aroma lada dan bumbu serbuk biar aku flu. Dan ...

Hacim!

Aku flu di depan minuman mereka. Simbok hanya cekikikan. Dan kini jus jeruk asam manis dingin beraroma flu Aurel pun sudah jadi. Kukucek segera.

"Inah! Kok lama!" teriak Maya. Dia memang rewel. Aku tak menyahut. Langsung saja aku berjalan memberikan dua gelas jus buat mereka.  Kusimpan di atas meja. "Ini untuk Tuan, ini untuk Nyonya," tawarku pada mereka.

"Ini gak ada racunnya kan?" kata Maya menuduh. "Silahkan di coba saja, Non. Atau kalau gak mau, biar saya yang minum. Memangnya Non baru pertama saya bikinkan minuman?" jawabku lembut. Polos.

"Sayang, kamu jangan suudzon sama Inah. Ini kan bukan kali pertama Inah buatin kita minum. Ayok, diminum!" tawar Mas Andri. Dengan jahilnya Maya menukar gelasnya dengan punya Mas Andri. Aku sudah tahu ia akan melakukan ini. Karena sejak kemarin ia berfikir kalau aku menyukai Mas Andri. Dia lumayan ketus.

Sengaja kusimpan minuman tepat di depan mereka. Biar Maya mudah menukar dan mencurigai kalau minuman yang kubuat ada apa-apanya. Tidak kudampingkan. Dan benar saja, Maya nampak menginginkan minuman yang kubuat untuk dia. Namun kutaruh di depan Mas Andri.

"Aku mau yang ini," kata Maya ketus.

"Boleh," jawab Mas Andri. Lalu Maya meraih gelas jus yang ada di hadapan Mas Andri. Kalaupun Mas Andri yang minum jus berisikan serbuk pencuci perut pun tak masalah. Hanya aku tak masukkan kedua-duanya, supaya mereka tak curiga. Curiga pun tak apa. Tinggal kutendang saja mereka.

"Ini cemilannya," tawarku lagi setelah balik ke arah dapur untuk kedua kalinya. Mengambil cemilan yang diminta Maya.

Kulihat Maya mulai meminum jus yang kubuat dengan penuh cinta itu. Namun belum seberapa. Hanya sekedar kuganti airnya saja jadi air mentah. Ditambah debu flu yang keluar dari hidung dan mulutku.

Maya nampak menikmati. "Gimana? Kamu merasa teracuni?" kata Mas Andri. Maya diam. Ia merasakan dan menduga-duga.

"Enggak, kok. Ya, aku takut dia racuni aku saja. Coba yang kamu minum!" titah Maya pada Mas Andri. Aku masih berdiri melihat mereka. Karena aku diminta jangan dulu pergi. Kalau ada apa-apa detik itu juga, aku akan mereka hukum.

Mas Andri mulai minum. Sedikit demi sedikit. "Enggak, kok. Enak. Aku gak ngerasain apa-apa," kata Mas Andri. "Ini yang tadinya jus buat kamu 'kan," kata Mas Andri lagi. Kini ia kembali meminum jus itu lagi.

Hati kecilku hanya terkekeh. Namun tak seberapa. Aku masih belum lihai. Tapi aku sudah pikirkan rencana kedepannya.

***

"Inah, sini!" perintah Mas Andri padaku yang sedang menata makanan dan piring di meja makan.

"Iya, Tuan," jawabku sambil mendekat.

"Sini," pintanya lagi.

"Ada apa, Tuan?" tanyaku. Kini ia menyuruhku untuk duduk.

"Inah, saya memerlukan tanda tangan kamu untuk membuat identitas baru kamu. Kan KTP dan semua identitas kamu hilang. Aku akan urus semuanya. Jadi kamu tinggal tanda tangan disini." Mas Andri memintaku tanda tangan.

"Dimana, Tuan?" tanyaku.

"Disini," kata Mas Andri. Dia memberikanku selembar kertas yang kosong. Tak ada apa-apanya. Dan pasti ia butuh tanda tanganku untuk hal serius.

"Kok kosong, Tuan?" tanyaku.

"Iya, nanti tinggal aku buat tulisannya. Gampang. Karena malam ini juga aku harus kirim tanda tangan kamu. Barusan pak RT telepon. Jadi aku belum sempat buat surat pernyataannya. Kamu tanda tangan saja." Mas Andri seperti memaksa.

Aku tahu, dia menginginkan tanda tanganku untuk dibawa pada pengacara. Ia inginkan hartaku. Ia ingin ambil semua asetku.

"Beneran, Tuan?" selidikku polos. "Ini bukan buat aneh-aneh kan, Tuan?" tanyaku lagi.

"Enggak, cepetan. Kamu mau kan diakui negara ini. Terus kalau kamu nanti pulang kampung, gak bawa identitas, kan gak bisa sembarangan. Kita itu sebagai warga negara yang baik, harus memiliki identitas. Biar kita bisa terlindungi," alasnnya. Tak ada alasan lain yang lebih bagus apa?

"Baiklah, Tuan. Terima kasih Tuan telah repot-repot urus dokumen-dokumen ini untuk identitas saya yang hilang." Aku mengutarakan rasa terima kasihku.

"Ayok, tanda tangan saja." Ia kembali meminta sambil memberikan bolpoin berwarna hitam untuk kugunakan. Matanya amat penuh harap kalau aku bisa menuruti apa yang ia inginkan.

Bod*h! Dia tak pernah tahu tanda tanganku. Dan dia tak pikir? Orang amnesia masih ingat tanda tangan? Ya ampun.

Dengan ragu-ragu, aku pun mulai mendekatkan bolpoin ke atas kertas putih yang sudah ditempeli materai. Perlahan dan perlahan. Aku suka melihat wajah Mas Andri yang polos, bod*h dan binar akan harta itu.

"Aduh," ujarku sambil menggaruk sikut. Tanda tangan belum kububuhkan. Kedua rahang Mas Andri beradu. Kesal. Greget. Bercampur. Aku melihatnya.

Dan.

Langsung saja kutanda tangani kertas putih yang sudah diberi materai itu. Pasti Mas Andri akan bawa tanda tanganku pada pengacara. Tanda tangan yang kubentuk sedemikian rupa.

***

Keesokan harinya.

"Inah! Inah!" Mas Andri teriak-teriak.

"Iya, iya, Tuan!" Aku segera menghampiri.

"Ada pa Tuan?"

Wajah Mas Andri amat kesal dan murka. "Inah! Ini bukan tanda tangan kamu 'kan? Kamu bohongin saya?" bentaknya sekuat tenaga. Aku hanya sedikit kaget sambil memasang wajah polos.

"Lho, itu memang tanda tangan saya, Tuan. Tuan memangnya tau darimana kalau itu bukan tanda tangan saya?" tanyaku pura-pura. Amat polos. Aku sudah singkirkan semua dokumen yang ada tanda tanganku di seisi rumah ini. Biar ia tak bisa cari.

Mas Andri lumayan kaget dan bingung. "Oh, Tuan, saya tahu. Mungkin karena saya amnesia, jadi saya lupa tanda tangan saya seperti apa. Maaf, Tuan," jelasku lagi dengan amat polos. Haha. Ya ampun, sudah jadi istri orang kaya, masih saja bod*h Mas.

"Aaarkh!" Mas Andri tak menjawab. Dia malah pergi ke lantai atas dengan kesal. Raut wajahnya memerah melihatku yang menjawab pertanyaannya dengan polos. Batinku cekikikan. Sumringah. Dia juga tidak tahu kalau aku sudah telepon pengaca keluargaku sejak awal. Dan dia tak bisa andalkan hanya tanda tanganku. Dia harus bawa aku langsung untuk bertemu pengacara. Mas Andri meninggalkanku dengan penuh kebingungan. Sambil ia membawa-bawa map yang tak berguna.

Jangan kamu sudah merasa menang, Mas. Kamu tak bisa bodohi aku. Kamu yang bod*h. Memang orang amnesia masih ingat tanda tangannya? Kubuat pula tanda tanganku tadi seperti huruf 'i' di awal, dan di iming-imingi ekor ikan. Hahaha. Sama sekali ia tak curiga. Itulah kalau pandangan sudah dihiasi kilauan harta istri.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
tinggal ttd aja : INAH.... gitu kok repot. kan sesuai dg namanya saat inj ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status