****
♥️♥️♥️"Non? Mau pergi ma siapa?" Simbok bertanya saat aku sudah selesai bersolek dan memakai gaun sederhana berwarna putih. Aku menuruni tangga.
"Sendiri saja," jawabku masih terus melangkah.
"Loh? Kok sendiri? Hem ... makanya cepet-cepet nyari gebetan, Non! Biar ada yang dampingin." Bi Atun tiba-tiba menyambar dari samping. Aku sudah sampai lantai bawah.
"Enak sendiri. Mau pergi gak ada yang kepo." Kujawab cuek.
"Biasanya ada den Juna, Non? Kok dia gak jemput?" tanya Bi Atun. Pun dengan Simbok. "Iyo!"
"Sepertinya gak di undang. Cuma Feri saja yang di undang." Kujawab lagi.
"Suruh den Feri jemput saja, Non?" ide Simbok. "Iyo, betul!" tanggap Bi Atun. Kepala ini hanya menggeleng saja. "Ah, bisa sendiri, kok," jawabku sambil duduk di sofa. Terlihat jam dinding masih men
PoV Feri*****Setelah kucari-cari, ternyata wanita yang mengenakan gaun putih kutemui. Dia sepertinya Aurel. Dari kejauhan perawakannya memperlihatkan bahwa itu adalah ciri-ciri seorang Aurel."Sedang apa dia?" Hatiku berbisik saat melihat dia sedang termenung sendiri di pinggir danau. Duduk di kursi pendek yang terbuat dari kayu atau entah itu adalah sebuah batu artifisial yang sengaja dibuat, aku tak tahu.Dia tidak nampak sedang di sekap atau di culik orang. Dia cukup santai sambil terus melemparkan batu kerikil ke danau. Percikan airnya makin terdengar karena langkah kaki ini kudorong makin mendekatinya. Dia melamun. Aneh. Ada apa?Cluk!Cluk!Suara kerikil menembus permukaan air danau. Tatapan anak itu kosong. Dia tidak takut kesambet? Apa ada makhluk ya
PoV Feri*****Terlihat dari belakang roda empat Aurel masih mengikutiku. Dia hari ini akan kubawa ke sebuah makam. Dimana aku akan mengajarkan dirinya bagaimana cara supaya dia bisa move on.Aku sudah turun."Fer? Kok ajak aku ke makam, sih?" Dia turun pula dari mobilnya. Menghampiriku dan langsung bertanya perihalku yang mengarahkan langkah kita ke sebuah area pemakaman."Ayok. Aku mau ajak kamu temui seseorang." Aurel nampak masih heran. Wajahnya bingung. Netranya menyapu setiap sudut area pemakaman yang sebagian besar di penuhi dengan pohon-pohon beringin dan kamboja."Di makam? Ketemu orang?" herannya."Ayok. Ikut saja. Siang bolong kayak gini penghuni makam gak bakalan keluar, kok." Aku berjalan lebih dulu."Ih, tunggu, Feri!" Wanita itu seperti ketakutan. Dia
PoV Aurel***Hatiku masih terkekeh. Bisa juga cowok semacam Feri berniat membawaku ke salon. Tadi aku malah berfikir bahwa aku akan pergi dengan keadaan lusuh ke pesta pernikahan mantan sekretarisku. Tapi tak apa juga, sih.Fer, Fer."Nah, make up-nya sudah selesai. Sekarang tinggal rambutnya ya, Mbak." Aku mengangguk. Selain sebagai tata rias wajah Mbak Erla juga kompeten sebagai hairstaylist. Aku tahu namanya karena tadi aku bertanya. Kami pun berkenalan."Ini sih sudah bagus. Saya rapikan lagi ya, Mbak. Biar lebih rapi." Mbak Erla kembali permisi merapikan rambutku. "Oke." Aku mengangguk."Gaunnya cantik, Mbak. Kok kotor. Mema
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 59♥️♥️♥️PoV Aurel***"Ayok! Kok berhenti?" Tiba-tiba Feri berhenti."Aku 'kan tadi udah naik dan kasih selamat, Rel. Aku lupa. Masak aku harus dua kali naik?" jawabnya. Kini ia garuk bagian belakang kepala yang tak gatal."Oh, gak apa-apa. Bilang aja sekalian pamit.""Tapi kamu gak akan langsung pamit, kan? Baru juga dateng," jawabnya."Iih, aku juga mau langsung pamit, Fer. Gak mau lama-lama. Aku mau kesini untuk menghargai undangan dari Irlan aja. Setela
"Non? Gak di suruh masuk?" Simbok bertanya setelah Feri berlalu. Dia memang tidak mampir dulu, katanya sudah sore. Ada hal yang harus dia kerjakan pula."Enggak, Mbok. Dia katanya lagi ada urusan." Aku menjawab."Oh, begitu, silahkan, Non!" Simbok dengan ramah mempersilahkan aku masuk. Aku pun mengangguk lalu masuk ke dalam rumah."Loh, Non? Bajune, kok kayak berubah? Rambut, Non juga?" Simbok kaget dengan tampilanku yang berbeda dari tadi saat akan berangkat."Ceritanya panjang, Mbok." Aku mendorong tubuh ini ke sofa lalu duduk. Melihat Arloji di lengan masih menunjukkan pukul dua siang. Adzan ashar masih sekitar satu jam lagi."Panjang gimana, Non?" Ah, Simbok ingin tahu saja. Dia pasti penasaran sekali. "Si Non pergi ke salon?" Ia menduga. "Iya." Aku menjawab diiringi dua alis yang meninggi."Oh
Ada panggilan masuk dari Feri beberapa kali saat aku masih menelepon Tante Windy. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Tania."Ya sudah, syukurlah kalau Tante sama om baik-baik saja. Kalau gitu udahan dulu ya, Tan? Aurel juga udah agak ngantuk," pungkasku ada rasa khawatir pada Tania."Oh, oke. Thank you so much, Rel, Tante sama om, very-very fine." Tante Windy menanggapi dengan nada sumringah."Oke, bye Tante.""Bye ... love you, Rel.""Ya." Segera kuakhiri panggilan. Lalu aku balik menelepon Feri. Bathin ini terus saja merasa khawatir. Apa Feri gagal memberitahu Tania? Oh tidak.Tudt ...Tudt ...Feri langsung jawab panggilanku."Halo, Fer? Kok kamu teleponin aku? Apa Tania sudah keburu minum susu dari tante Windy?" Aku benar-benar khawatir."Hem ...." Feri malah men
"Jangan masuk!" Tante Windy terus mencegah kami. Aku dan Feri terus berjalan menaiki tangga."Kamar Arjuna kamu tahu?" tanyaku pada Feri. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Ish, aku pikir kamu tahu," ketusku. Ia masih memegangi lenganku supaya bisa jalan dengan cepat. Karena aku mungkin akan lelet kalau tak di tarik."Feri? Aurel?" Kalian mau Tante panggilkan security, hah?" ancam Tante Windy."Kenapa cuma mau jenguk Tante sampai ngancam kami? Aku curiga." Feri menanggapi ancaman Tante Windy sambil terus berjalan. Berati benar, Arjuna ada di kamar atas. Tante Windy terus mengejar kami.Sekitar beberapa meter dari tangga, kami meliputi beberapa kamar. "Yang mana?" tanyaku."Pasti yang itu. Yang ini kamar papa dulu." Dia menjawab dengan yakin menunjuk ke salah satu kamar. Tante Windy masih mengekori kami. Tak
*** "Assalamualaikum, permisi!" Seorang wanita datang mengejutkanku dan Feri. Dia tampakkan senyuman hingga lesung pipinya terlihat. "Putri?" Feri beranjak dari kursi. Aku lumayan heran dan kaget. Feri menyebut nama wanita itu dengan sebutan Putri. Siapa dia? Pacar Feri kah? Dari raut wajah Feri, dia nampak sumringah sekali. Seperti terkesima. Pun dengan wanita itu. Aku ikut berdiri sambil terus menatap lekat raut wajah Feri dan Putri itu. "Mas Feri?" Wanita itu berjalan makin dekat sambil menyapa Feri dengan sebutan Mas. Ia hampiri kami. Wanita itu memakai pakaian setelan rapi sekali. Selendang tas kecil dengan rambut di ikat satu. Dia tinggi dan cantik. Sedikit lebih tinggi daripada aku. Apa wanita itu pacar Feri? "Putri? Apa kabar?" Wanita itu langsung berlari dan