Lila duduk dibangku panjang ditemani pria bernama Fandy Hermawan. Pria tua yang jika ditelisik lebih jauh, memiliki kemiripan bentuk hidung dan garis senyum yang sama dengan Lila.
Keheningan yang panjang menyeruak diantara keduanya. Fandy tentu tidak pandai merangkai katanya, sedangkan Lila memilih cukup tahu saja siapa yang ada disampingnya.
Setelah berpikir lama dengan pergulatan batin yang tidak mudah, wanita itu akhirnya membuka suaranya. "Jadi gimana kabar Bapak sekarang?"
Pria itu ragu-ragu memandang Lila. "Ya kayak gini. Kamu sudah tau soal penyakitku?"
Lila mengangguk saja tanpa mengatakan apapun.
"Penyakit seperti ini gak bisa sembuh Lila. Setiap hari aku selalu melihat ibumu. Bahkan sekarang Ibu kamu lagi meman
Lila tampak cantik dengan kebaya putih yang membalut indah tubuhnya. Senyuman menghias wajahnya, menutupi rasa gugup yang mendera. Mungkin ini bukan yang pertama, tapi semua prosesi panjang yang akan ada di depan matanya, baru kali ini ia lalui. Dulu hanya ijab kabul sederhana karena dirinya dan mantan suaminya sama-sama anak yatim piatu. Jadi tidak ada acara mewah dan hanya ada acara selamatan kecil-kecilan. Kini Lila harus duduk di depan puluhan pasang tamu undangan yang menyaksikan pernikahannya. Setelah mengucapkan janji sehidup semati dihiasi teriakan para hadirin yang datang. Semua kegugupan Banyu dan Lila hilang berganti dengan rasa syukur yang tak henti-henti mereka ucapkan dalam hati mereka. Setelah menyematkan cincin di tangan satu sama lain, tanpa aba-aba Banyu mencium kening Lila. Lama pria itu menciu
Meira menggandeng tangan anak lelakinya. Langkahnya sedikit berat, namun ia meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa melangkah maju dengan berani. Sementara itu banyak mata yang melihat ke arah Meira dan bergantian melihat ke arah Banyu yang wajahnya sudah cukup dingin. Pria itu tidak suka dengan keberadaan Meira. Kejadian ini pasti akan menimbulkan banyak kesalahpahaman. Suara kasak-kusuk terdengar sumbang ditelinga keluarga besar Adnan. Mereka menebak-nebak siapa wanita yang berjalan dengan anak kecil yang sedari tadi berada di pesta besar itu. Bahkan anak berumur sepuluh tahun itu juga tidak pernah dilihat oleh kolega keluarga Adnan. Mereka hanya mengenali anak kecil berumur dua tahun yang beberapa kali memang bersama Samudera ataupun Diani. Banyu juga sering membawanya dan mengenalkan bahwa bayi kecil itu adalah
Setelah beberapa jam yang melelahkan Banyu dan Lila pun melangkah menuju kamar tempat mereka beristirahat dengan bergandengan tangan. Banyu masih dengan senyumnya yang mengembang seolah memang harinya tidak rusak dengan kedatangan Meira, sedangkan Lila sendiri berjalan dengan tatapan kosong. Campuran antara rasa lelah juga terpikirkan dengan Meira dan Bara membuat tubuhnya terasa sangat lelah. Penampakan keduanya memang sangat kontras jika dilihat kali ini. Banyu membuka kamarnya dan menarik istrinya masuk dengan lembut. Lila segera tersadar dan menatap lekat suaminya. Banyu mengunci pintu kamarnya dan mereka masih berdiri di depan pintu dengan pandangan beradu. “Kenapa kamu sedih di hari pernikahan kita. Apa cuma aku yang bahagia disini?” tanya Banyu dengan tatapan lembut dan tangan yang mengusap pipi Lila dengan hangat.
Dua hari yang melelahkan dan menyenangkan dihabiskan oleh Lila dan Banyu dengan baik. Meskipun liburan setelah pernikahan hanya mereka habiskan di hotel, tapi itu saja sementara sudah cukup. Banyu dan Lila juga sudah mulai merindukan kedua anak mereka yang entah bagaimana kabar keduanya, karena tak ada satupun anggota keluarga yang bisa dihubungi atau menghubungi mereka. Baru saja mereka masuk, keduanya disuguhkan pemandangan dua anak mereka yang sedang tantrum. Banyu dan Lila tentu saja terkejut. Tidak biasanya suasana begitu ramai seperti ini. Banyu dan Lila menghela nafas besar dan mereka mendekat ke arah berlawanan. Banyu menuju Raga sedangkan Lila menuju Bara. Tangis Raga segera reda setelah melihat ayah Banyunya. Sedangkan Bara masih terisak di ujung ruangan. "
Seorang wanita paruh baya dengan baju sederhana, kini sedang duduk bersama dengan Banyu. Selepas pemakaman Meira tadi, Bara merengek tak mau kembali. Jadi Banyu menemani anak sulungnya dan menemui mantan ibu mertuanya yang datang tergopoh saat diberi tahu kondisi Meira dan lokasi anak tirinya yang telah berpulang. Kini saat Bara sudah pulang terlebih dahulu, pria itu meminta waktu berdua saja dengan mantan ibu mertuanya. "Terima kasih kamu sudah mengabari Tante, Nyu. Walaupun Tante hanya Ibu tiri Meira," ucap wanita bernama Fita itu. "Iya, Tante. Karena Banyu pikir Papa Meira masih ada. Itu semua karena Bara bilang belum pernah bertemu Kakek dan Neneknya. Jadi, Banyu mencoba cari Tante dan untungnya Tante masih dirumah . Apa Om sudah lama tidak ada?" tanya Banyu yang membuat Fita menghela nafas panjang.
Sudah seminggu ini, Bara mengurung dirinya di dalam kamar. beruntungnya kamar anak itu tidak dikunci, jadi seluruh anggota keluarga bisa mengecek keadaan Bara. Termasuk pria paruh baya yang awalnya tidak mau menganggap keberadaan Bara. Pria itu lebih banyak diam ketika Bara ada disekitarnya. Agar adil, ia pun sedikit mengabaikan Raga yang menurutnya sedang dalam fase menggemaskan. Ia tak mau Bara memiliki pandangan buruk tentang dirinya, namun ia juga masih enggan mendekat pada Bara. Perasaan sakit saat tahu anak lelakinya dipermainkan, membuatnya juga enggan pada cucu lelakinya. “Mau sampai kapan di kamar?” suara berat pria itu tentu saja mampu mengalihkan perhatian Bara sepenuhnya. Pria yang bahkan enggan menatapnya. Kini mengajaknya berbicara. Bara bingung menanggapinya. Apakah ia harus senang atau curiga?
Semua orang sedang berkumpul di meja makan saat seorang asisten rumah tangga mendekat ke arah Banyu dengan segan. “Maaf, Mas Banyu. Di luar ada yang mencari. Saya suruh tunggu dulu atau gimana ya? Maaf ya, Mas. Mengganggu waktu sarapannya,” ucap salah satu asisten rumah tangga yang tampak takut menginterupsi Banyu. “Siapa?” tanya Banyu bingung karena hari yang masih pagi, tapi sudah ada yang ingin menemuinya tanpa membuat janji. apalagi ini kediaman pribadi orang tuanya. “Pak Dimas, Mas Banyu.” Tidak hanya Banyu yang terkejut. Tapi seluruh anggota keluarga yang berada di meja makan juga merasa aneh dengan kehadiran Dimas. Tentu saja kecuali Bara dan Raga yang tidak memahami situasinya. “Ayo. Papa ikut menemui Dimas,” uca
Lila memandangi suaminya yang terpejam tapi tidak tidur. Matanya terus mengagumi ketampanan suami yang tidak pernah dia pikirkan akan menjadi miliknya. Memiliki suami yang sangat rupawan saja tidak ada di benaknya, apalagi ini banyak tambahan di dalamnya. Pintar, penyayang, dan kaya raya. Lila bagai mendapat durian runtuh. “Kamu mau sampai kapan ngeliatin aku gitu?” tanya Banyu yang ternyata telinganya memerah karena tingkah Lila. “Ternyata suamiku ganteng banget,” puji Lila tulus. “Aku memang ganteng, kok. Aku sadar.” “Mas, geli banget! Kamu sejak kapan narsis gitu?” ucap Lila yang kini mengalihkan pandangannya dan memilih menutup mata. Ia menyamankan posisi tidurnya. Banyu tertawa geli melihat tingkah istrinya yang kes