Lila terbangun setelah beberapa jam yang lalu sibuk dengan kenangannya. Ia menyingkirkan tangan suaminya sebelum beranjak untuk minum di dapur bawah.
Sepanjang perjalanan menuju dapur, rumah mewah nan luas itu tampak sepi. Ia sepertinya bangun terlalu pagi.
Saat matanya menemukan sebuah jam di sudut ruangan, ia melihat waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Ternyata tebakannya benar, ini masih terlalu pagi.
Merasa matanya sudah segar dan tak akan bisa tertidur lagi, Lila pun beranjak ke halaman belakang rumah yang ditumbuhi banyak bunga, juga kolam renang.
Setelah termenung cukup lama, suara langkah kaki membuat Lila menoleh ke belakang. Ia menemukan Diani dengan setelan olahraga mendekat ke arahnya.
"Kamu bangun pagi
Lila menatap alat tes kehamilan ditangannya. Akibat dari celetukan mertuanya tadi, Lila jadi banyak berpikir. Sebenarnya dilihat dari gejalanya, memang sama ketika ia mengandung Raga. Tapi perasaan mual dan sensitif terhadap cahaya itu terjadi saat usia kandungannya memasukin minggu ke enam. Saat ini bahkan Lila belum telat menstruasi. Tanggal merah itu masih akan datang tiga hari lagi jika sesuai jadwal. Haruskah ia melakukan tes kehamilannya saat ini? Tapi, lagi-lagi Lila ragu. Saat mendapatkan Raga, ia bahkan harus menunggu lebih dari dua tahun untuk mendapatkan putranya. Lagi pula Raga masih kecil dan juga ada Bara. Pernikahan mereka bahkan belum genap satu bulan. Bagaimana ia bisa hamil secepat itu? "La? Gimana? Udah enakan? Mau ke dokter?" tanya Banyu yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam kamar dengan
Banyu menggandeng Raga yang tampak antusias menyentuh semua tanaman di depannya. Banyu membiarkan anak sambungnya itu mengeksplorasi semua yang ingin ia tahu. Anak itu sudah cukup pintar. Dia tahu mana yang berbahaya dan tidak. Jadi Banyu tak lagi khawatir. Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, tiba-tiba Raga berlari dan bersembunyi di belakang Banyu. Saat Banyu mengikuti arah pandang Raga, ia menemukan Dimas berjalan mendekat ke arah mereka. Banyu sedikit menghela nafas, anak lelaki itu masih saja menunjukkan sikap permusuhan saat Papanya datang, meskipun sudah berulang kali pertemuan mereka. Di lihat dari gelagatnya, Raga sepertinya ketakutan apalagi saat Dimas berbicara. Apa anak sekecilnya sudah memiliki trauma? "Maaf, Pak. Saya datang terlambat karena ada urusan," ucap Dimas dengan mata yang sudah
Menyambut kelahiran anak ketiga yang tinggal beberapa minggu lagi, membuat Lila dan Banyu sangat berdebar. Lila yang tak mengkhawatirkan kehamilannya karena dokter mengatakan bahwa Lila sejauh ini sehat dan bisa melahirkan normal meskipun sebelumnya telah melahirkan sesar. Banyu sangat bersemangat menyambut kelahiran putranya. Ia bahkan sudah mempersiapkan sebuah kamar khusus untuk bayinya, juga melengkapi semua peralatan untuk bayinya. Meski Lila mengatakan bahwa putra mereka bisa menggunakan barang milik Kakaknya yang juga masih bagus, tapi Banyu tentu saja menolak. Ia menginginkan semua barang baru untuk bayinya. Saat Banyu terdiam dengan ponselnya, saat itulah Lila curiga. Pria itu bisa saja sedang melihat sesuatu untuk putranya dan tiba-tiba saja membelinya. Seperti saat ini, suaminya sudah tenggelam dengan
Suara tangis yang pecah di tengah hiruk pikuk ruangan, membuat basah sepasang mata milik suami istri yang semenjak tadi sudah saling menggenggam erat tangan satu sama lain. Bahkan keduanya pun tidak menyadari ada beberapa luka di bagian tangan pria yang semenjak tadi menggenggam tangan istrinya dengan beribu rasa membuncah dihatinya. Lila mulai bisa mengatur nafas setelah mengejan cukup lama. Air matanya dan Banyu tak lagi bisa terbendung. Rasa syukur terus mereka ucapkan, sampai seorang perawat menunjukkan bayi tampan yang sangat mirip dengan Lila tengah menangis hebat. "Hello, boy. Welcome to the world. Terima kasih sudah berjuang dengan baik sama Mama. Ayah sayang kalian," ucap Banyu yang kemudian mencium kening anaknya lama dan kemudian mencium kening Lila hangat
Banyu memandangi Bara, Raga, dan Noah yang bermain bola bersama di halaman belakang. Ketiganya tampak akrab meskipun selisih umur diantara mereka cukup jauh. Banyu bersyukur, meskipun ketiganya memiliki orang tua yang berbeda, tapi mereka bisa sangat akur. Lila yang datang dengan membawa satu pitcher sirup dengan beberapa gelas, disambut hangat oleh Banyu. Pria itu bahkan sudah berdiri membantu istrinya membawa minuman yang terlihat berat di tangan Lila. Saat keduanya sedang duduk bersantai, Banyu yang awalnya memusatkan perhatiannya pada ketiga anaknya, kini mulai menatap lekat istrinya. Senyumnya tersungging saat melihat wajah Lila yang tidak berubah dan tetap cantik tanpa polesan make up. "Kenapa sih, Mas? Jangan gitu ah! Ma
Banyu menggamit lengan Lila di sebelah kirinya sementara tangan lainnya menarik koper. Senyumnya mengembang saat mereka melangkahkan kaki di New York, tepatnya di bandara John Kennedy. "Mau makan dulu atau langsung ke hotel, Sayang?" tawar Banyu, tidak berselang dua detik, perutnya sudah keroncongan dan terdengar jelas di telinga Lila. "Ya jelas makan dulu lah, Kamu sudah kelaparan begitu, Mas," jawab Lila dengan tawa kecil. Banyu pun ikut tertawa karena tidak punya pilihan lain. "Tapi kalau kita makan dulu bakal ketinggalan kereta. Yang penting kita naik kereta dulu biar cepat sampai hotel," ujar Banyu yang sudah lumayan paham trik perjalanannya. Keduanya memang ingin merasakan perjalanan yang baru. Terbiasa di antar jemput dengan fasilitas perusahaan, membuat kedua
Niat hati ingin ke New York selama sepuluh hari untuk liburan dan mengurus pekerjaan, Lila dan Banyu malah belum juga pulang sampai hari ke dua belas. "Ayolah, Mas. Kita pulang, kasihan anak-anak. Ibu dan Papa juga kasihan jagain anak kita terus," ujar Lila saat Banyu menyeruput kopinya di pagi hari. "Lho, 'kan kamu yang bikin kita lama di sini," jawab Banyu seperti tanpa beban. "Lagian Mas Banyu bukannya ketemu klien dulu malah duluin jalan-jalan." Lila tidak mau dituduh begitu saja. "Justru itu yang utama, kamu harus bersenang-senang, Sayang. Di rumah kamu pasti sibuk ngurus anak-anak," ucap Banyu sembari melompat ke ranjang menjajari Lila yang sibuk mengedit foto. Lila beringsut, akhir-akhir ini kata 'bersenang-senang
Dengan tangan gemetar, Lila mengambil sebatang testpack. Seketika Ia terhenyak melihat dua garis merah yang terpampang di sana, sekali lagi Ia pun mengerjap memastikan dirinya tidak salah lihat. "Tidak," desisnya tidak percaya. Wajahnya merah padam dengan air mata yang siap ditumpahkan. Ia memutar knop pintu kamar mandi dan bergegas keluar. Rasanya sudah seperti tidak menginjak bumi lagi. Perlahan, air matanya pun berjatuhan. Ia langsung menyekanya karena menyadari Banyu berdiri tidak jauh darinya. "Kamu kenapa?" tanya Banyu khawatir. "Tidak." Lila pun menggeleng. Ia tidak yakin jawabannya adalah untuk menyangkal atau menyembunyikan sesuatu, mungkin keduanya. "Ada sesuatu yang salah?' tanya Banyu sekali lagi sambil mence