Dalam keadaan benar-benar terdesak, Damian mengangkat tangannya ke udara sambil menggelengkan kepala. “Sumpah, Om. Pamela bersamaku. Tapi-tapi...” Damian tampak kesulitan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya selagi moncong pistol itu tetap mengarah ke jantungnya.Anang Brotoseno tersenyum kecil. Lihatlah betapa kerdil blegug sia macam Damian Airlangga sekarang. Menggigil ketakutan dengan tampang yang dia buat sedemikian tidak terpengaruh pada tekanannya. “Tapi apa?” Anang Brotoseno menarik sudut bibirnya. Astaga, pria itu terlihat menyeramkan dalam senyuman seperti itu. Pantas saja cita-citanya jadi jendral, tampangnya mendukung dalam mengintimidasi lawan meski dalam kewibawaan yang terlatih.“Tapi—”Jakun Damian terlihat naik-turun, meneguk ludahnya di tengah tenggorokannya yang kering. Yakin, Anang Brotoseno tidak membawa pistol mainan. Pistol itu bisa mengubahnya menjadi jasad seketika jika ia tidak berbalik dan menurunkan tangannya ke arah belakang tubuh sesuai perintahnya.Anang
Melalui kumpulan data-data yang sudah tersimpan di tabletnya, Anang Brotoseno menginjak tanah kelahiran Pamela Kandhita Kilmer keesokan harinya.Terang saja, rangkaian kenangan yang terjadi dua puluh lima tahun silam merongrong di ingatannya. Ia rasa, desir pantai, aroma asin lautan dan pedesaan di Bali tak akan pernah terlupakan. Anang Brotoseno jatuh cinta pada Joice Elizabeth Kilmer yang kala itu sedang melakukan tamasya untuk sejenak melupakan dinginnya benua Eropa di musim dingin. Dan sejak saat itu, Anang Brotoseno merasa harus dekat dengannya dan harus mempersuntingnya. Yah... sebagai laki-laki pemberani yang unggul saat itu sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas Bali sebelum berlabuh di sekolah militer, kulit gosong dan otot-ototnya yang kencang menyita perhatian Joice, si kulit putih dan hobi berbikini cerah. Ibarat mereka suka lalu mereka jadian saja. Anang senang. Sekonyong-konyong Joice yang telah menjadi magnetnya membuatnya gencar melakukan apa yang suda
Pamela menghampiri camero bumblebee sebelum mobil itu benar-benar berhenti menderu di pelataran villa. Ia menyunggingkan senyum, matanya yang slalu di puji-puji Anang Brotoseno sebagai mata yang mirip Joice itu berbinar-binar. Pamela melambaikan tangannya lalu berdiri tak jauh di samping pintu kemudi. Ace menghela napas sambil menarik rem tangan. Dia menurunkan kaca mobil, tersenyum melihat betapa genit putri duyungnya sekarang.“Mendekatlah!” katanya dengan lamban.Pamela menggelengkan kepalanya dengan sengaja. Mencoba membangkang dan membangkitkan kemarahannya untuk menguji coba apakah tanda tangannya di kontrak baru membuahkan hasil yang lebih baik? “Ace, mana makanannya? Aku laper.”Pamela menguncupkan bibirnya sambil mengusap perutnya dengan mimik wajah yang sengaja tersiksa.Oke, pantai Lovina dan kecupan tidak sengaja di atas perahu jukung membuat kedekatan mereka semakin luwes. Bukan karena Ace tergoda, atau Pamela ingin merasakan pipinya yang ditumbuhi rambut brewok yang b
Pamela menyajikan ayam kecap saus tiram dan nasi uduk ke meja makan sebelum menuangkan tumis kangkung dari wajan ke dalam mangkuk. Ia menyunggingkan senyum sambil menaruhnya di meja.“Mau tambah yang lain? Jus? Salad buah? Puding coklat?”Ace terpaksa mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja supaya tidak menyebutkan salad buah dan tidak mencakup wajah Pamela dan membalasnya ciumannya tadi.Astaga, demi lebah dan madunya, ciuman tadi membekukan dan membuatnya linglung. Terasa mengejutkan tapi manis. Lalu apakah Pamela dapat merasakan hal serupa jika ia membalasnya? Ace berdehem. “Kenapa tidak? Itu bisa menjadi hidangan penutup!” ”Puding coklat?” “Jus buah segar!” saran Ace dengan cepat. “Okay.” Pamela sempat melirik tatapannya yang kecut sebelum membuka kulkas. Tiga mangga golek yang dibeli Ace akan lenyap dalam waktu dekat tapi sebelum itu terjadi ia menyuruh Ace mengupas kulitnya. “Ayolah, Ace. Tidak bisa satu tangan mengupas mangga sendirian!” bujuk Pamela dengan nada jena
Suara ketukan pintu dan bel villa yang berirama di terima gendang telinga Pamela dengan resah. Suara ketukan itu terjadi berulang-ulang sampai terdengar suara Ace menyemburkan seruan, “Ya... iya... sebentar!” Sambil menuruni anak tangga dengan cepat.Pamela mengucek matanya lalu berusaha bangkit dari sofa panjang. Ia meringis manakala Berlian juga terlelap di karpet. Sebuah keputusan yang tepat untuk beristirahat.“Aku harus menyalahkan kangkung karena kamu membuatku mengantuk! Dasar kangkung!”Pamela mengalihkan perhatiannya pada kedua daun pintu yang terbuka. Dan salam sapa dari seseorang membuat kantuk yang tertinggal di benaknya mendadak hilang. Kelopak matanya melebar. Dokter ortopedi dan seorang perawat dari rumah sakit tersenyum kepadanya.“Selamat siang.” Ace menyalami keduanya diiringi gangguan dari Pamela.“Ace... Sini.” serunya sambil melambaikan tangannya. “Ace... ”Ace mempersilakan tamu undangannya mengikutinya ke arah ruang keluarga sambil menggerutu dalam hati. ‘Ace.
“Papa nggak perlu salah sangka begini, Ace bukan penculik!” sembur Pamela saat Ace di gelandang ke dalam villa setelah tangannya terpaksa di borgol.Tangan pertama dan tangan kedua sudah tertangkap. Tinggal tangan ketiga, Karmen Fernandes! “Papa mending lepasin aja itu borgolnya, ini nggak sopan. Ada anak kecil, Pa! Kasian nanti” rengeknya sambil terus menerus menghalangi ayahnya melakukan investigasi. Anang Brotoseno bergeming, tangannya geregetan ingin sekali menaruh Pamela di luar villa. Enak saja putrinya menyuruh-nyuruh untuk kasian sementara sejak kemarin dia perlu bekerja keras dan menguasai dirinya supaya tidak jantungan!“Kamu diam sementara waktu, Pam! Papa capek. Haus!”Pamela menarik jaketnya supaya tidak pergi. Dan setelah tragedi tarik-menarik jaket dan di menenangkan Pamela, Anang Brotoseno melepas jaketnya.“Kamu bawa jaket papa. Terima kasih!” Pamela langsung mencampakkannya ke lantai seraya mengekorinya dengan langkah lebar-lebar. “Pa... Ini bukan kriminal seperti
Pamela menaruh teko air setelah tujuh gelas tinggi terisi air sirup jeruk dengan potongan jeruk lemon. Pamela sudah membuat laporan kekerasan fisik yang dialaminya dengan membawa bukti visum yang dia milikinya di kantor, polisi sekitar, terpisah dengan Damian.“Jangan bilang aneh-aneh, Ace. Papa nyebelin!” Pamela berkata pelan-pelan. “Tapi jangan sampai bohong! Tambah nyebelin nanti.”Ace selesai menaruh wafer, bola-bola keju, dan kukis lapis isi krim ke toples sebelum menaruh setangkai buah anggur ke piring. Ace menambah jeruk dan apel untuk menyambut kehadiran Anang Brotoseno yang berjanji berbicara tanpa otoritas. “Aku sejujurnya ingin menculikmu, Pam!”Pamela mencibir, dia tidak suka di panggil ‘Pam’, itu nama panggilannya sewaktu kecil. Dan ia merasa sudah tidak pantas menjadi gadis kecil lagi jika Ace mengikuti sang ayah memanggilnya, Pam... Pam... Pamela meraih piring anggur di meja dapur, lalu memutus jarak. Lengannya menyentuh lengan Ace.“Kamu nggak boleh menginginkan apa
Pamela mengusap telapak tangannya yang berkeringat di celana jinsnya. Bibirnya bergetar akibat rasa takut yang otomatis melingkupi seluruh tubuhnya dalam upaya menghadapi berita acara pemeriksaan yang sudah dijadwalkan oleh penyidik setelah berkas-berkasnya dilimpahkan ke Polda.Segala daya upaya untuk menenangkan diri sudah dia lakukan termasuk meminta Ace meyakinkannya bahwa ia tidak akan masuk penjara karena ikut menikmati uang hasil penggelapan dana perusahaan.Ace tidak bisa tidak tersenyum, menghadapi gadis belia yang mempunyai daya pikir awut-awutan dengan ketakutan yang amat besar membuatnya menarik Pamela ke dalam pelukannya. ”Aku rasa sekelas anak jenderal kamu harus memiliki ketangguhan yang sama seperti papamu, Mel.”“Tapi aku bukan papa, Ace. Aku cuma karyawan kantoran yang hobinya seliweran di kubikel. Aku bahkan nggak paham hukum dan latihan fisik walaupun papa sering coa-coa. Bagiku itu nggak penting! Ha...” Pamela lantas merasa menyesal tidak menuruti ayahnya sekarang