Pamela mengusap telapak tangannya yang berkeringat di celana jinsnya. Bibirnya bergetar akibat rasa takut yang otomatis melingkupi seluruh tubuhnya dalam upaya menghadapi berita acara pemeriksaan yang sudah dijadwalkan oleh penyidik setelah berkas-berkasnya dilimpahkan ke Polda.Segala daya upaya untuk menenangkan diri sudah dia lakukan termasuk meminta Ace meyakinkannya bahwa ia tidak akan masuk penjara karena ikut menikmati uang hasil penggelapan dana perusahaan.Ace tidak bisa tidak tersenyum, menghadapi gadis belia yang mempunyai daya pikir awut-awutan dengan ketakutan yang amat besar membuatnya menarik Pamela ke dalam pelukannya. ”Aku rasa sekelas anak jenderal kamu harus memiliki ketangguhan yang sama seperti papamu, Mel.”“Tapi aku bukan papa, Ace. Aku cuma karyawan kantoran yang hobinya seliweran di kubikel. Aku bahkan nggak paham hukum dan latihan fisik walaupun papa sering coa-coa. Bagiku itu nggak penting! Ha...” Pamela lantas merasa menyesal tidak menuruti ayahnya sekarang
“Papa, Tante Pamela ke mana sih? Kenapa nggak pulang-pulang. Ini sudah dua hari lo...” rengek Berlian sambil menarik-narik baju ayahnya. “Katanya perginya sebentar, ini lama. Berlian udah kangen banget...”Ace mengeluarkan kedua tangannya dari kantong celana. Wajahnya menggambarkan kekusutan seperti baju yang dikenakannya. Kusut setelah seharian merebahkan diri untuk menarik cerih-cerih Pamela ke dalam ingatan.Ace menyunggingkan senyum lemah sambil mengusap rambutnya. “Tante Pamela lagi sibuk dengan eyang Broto di kantor polisi. Mungkin lusa atau besok pagi Tante pulang.” “Pulang ke sini, Pa?” Kadang-kadang, Ace merasa cemas jika harus membohongi Berlian, ia takut hal-hal yang dia ucapkan tidak terjadi hingga mengecewakannya. Namun jika tidak mengiyakannya, Berlian akan terus menanyakannya seolah sudah ketempelan Pamela. Ace mengangguk. “Kamu yang sabar, Tante pasti pulang ke kita. Tante sudah jadi milik kita.” akunya dengan suara ragu.Asih berdehem-dehem. Berkubang lagi ke dala
Pamela bergeming di bawah pepohonan yang memayungi halaman rumah. Menyaksikan barang-barang pemberian Damian di angkut penyidik. Dua tas merek ternama dari Paris, satu tas lokal yang mereka beli sewaktu kencan di Yogya. Tiga sepatu hak tinggi, satu sneaker, sebuah kalung emas putih, jam tangan dan beberapa potong pakaian yang diberikan Damian sejak awal berpacaran. Pamela yakin pakaian yang di berikan Damian saat awal pacaran tidak memakai uang gelap itu dan seharusnya ia membohongi penyidik dengan menyimpannya sebagai kenangan manis awal pacaran. Dan kini wajahnya nampak murung.Pamela menyesali keputusan Damian melakukan tindakan bodoh itu demi foya-foya, padahal gajinya sudah cukup besar jika ia hanya memilikinya sebagai satu-satunya kekasih tersayang.“Kami permisi, jenderal!” Anang Brotoseno memberi hormat seraya mengangguk, sorot matanya mengikuti arah perginya kijang hitam yang meninggalkan halaman rumah.Anang Brotoseno merangkul Pamela. “Bapak rasa ada untungnya para orang
Buah tangan yang di bawa Ace dari rumah Pamela menghasilkan kekecewaan yang menggelincir dengan cepat tepat ke ulu hati Berlian.Berlian merengek-rengek. Pulang ke Jakarta harusnya menjadi jawaban dari perginya calon mama yang sudah ia klaim sepanjang hari. Ace bahkan sudah menyebut-nyebut janjinya untuk dapat membawa Pamela pulang.Dan sebagaimana mestinya sebuah janji yang sudah terucapkan, penolakan dari Anang Brotoseno resmi membangkitkan kepedihan yang telah lama hilang dari benak putrinya.Ace terpaksa berlutut dan mengusap air matanya. “Papa sudah ketemu eyang Broto, sayang. Sudah ketemu Tante Pamela. Tapi eyang tidak mengizinkan Tante ikut papa. Tidak boleh katanya.”“Ke—napa eyang Broto begitu? Kenapa tidak boleh? Eyang lupa sama Berlian?” “Tidak, eyang tidak lupa!” Ace menggeleng. “Hanya saja... Eyang Broto dan Tante Pamela baru sibuk, belum ada waktu!” Berlian susah payah menghapus air mata di pipinya dengan jemarinya yang kecil dan halus. “Aku mau ketemu eyang Broto! Pap
Terhitung sepuluh jam setelah pertemuan terakhir mereka, Pamela mendapati mobil mewah Ace kembali memenuhi halaman rumahnya yang sudah sesak oleh mobil sahabatnya dan ayahnya. Pamela membuang napasnya melalui mulut. “Itu dia ayah dari bocah itu.” Telunjuknya mengarah ke ambang pintu, tempat di aman Ace menyapanya dengan manis seraya pindah ke Berlian yang sudah tidur di depan televisi bersama Hamidah dan adiknya. Clary mendadak mengerjapkan matanya seakan tidak percaya pria itu ayah dari anak berusia delapan tahun yang menganggap rumah Anang Brotoseno lebih nyaman dari istananya yang mewah itu.“Kalo itu beneran Bapaknya, kayak nggak asing. Aku kayak pernah lihat!” Antoni berdehem-dehem. “Cewek sukanya gitu, ngaku-ngaku pernah lihat yang bening-bening biar gampang join.”Clary meringis seraya bergelayut manja di lengan kekasihnya. “Masuk, Om!” serunya.Ace berdehem seraya mendekati Pamela yang duduk di single sofa. “Selamat malam.” Clary dan Antoni mengangguk, sekilas dan yakin me
Setelah begitu lama Pamela menunggu kedatangan Ace di teras rumah, akhirnya pria itu datang menggunakan motor gede yang mengeluarkan suara menggelegar. “Sesat!” Pamela menggerutu dan terpukau melihat betapa Ace terlihat keren dan maskulin dalam penampilan preppy bikers. Gaya street style yang memadukan setelan lengkap jas dan celana chino hitam serta mengkombinasikannya dengan sepatu boots dan dasi kupu-kupu. Pamela berdehem dan mengalihkan perhatiannya kembali ke tanaman yang sedang ia siram.“Apa duda itu benar-benar mulai caper ke semua orang rumah?” Ace meletakan helmnya seraya mendekati Pamela. “Berlian belum bangun, Mel?” Ace mencium bahu Pamela, klaim pertama sebagai kekasihnya apapun beban yang berdiri di pundaknya. “Selamat pagi.” Pamela memutar tubuhnya tanpa menanggalkan slang air dari tangannya. Air mancur ke celana Ace dan Pamela tak peduli karenanya. “Selamat pagi, Ace.” Pamela mencampakkan slang airnya dan berkata, “Oh, maaf. Celanamu jadi basah.” Ace tidak memper
“Aku tunggu di kafe sebelah!” Ace meraih tangan Pamela dan menciumnya dengan lembut di depan gedung kantornya.Pamela menyunggingkan senyum geli. Aneh rasanya Ace bisa memujanya secepat kilat hanya karena alasan tanggung jawab seolah Natasha tidak ada lagi dalam hidupnya.Pamela menarik tangannya dengan cepat dan menyembunyikan ke belakang punggung. Bibirnya menguncup. “Ini ruang umum, Ace. Nggak usah gitulah, malu!”Ace menutup kaca helmnya seraya menggeber motor gedenya. Mengabaikan peringatan Pamela yang tidak penting baginya. Dan hanya beberapa meter dari Pamela yang bergeming menatapnya, Ace memarkirkan motornya. Ia melepas helmnya seraya menyunggingkan senyum, membalas tatapan Pamela. ‘Udah dimarahi papa, masih aja berlagak keren tuh duda!’ Pamela menghela napas.Ace mengibaskan tangannya, menyuruh Pamela pergi dan bersama-sama mereka masuk ke dalam gedung yang berbeda dengan perasaan yang berbeda pula. Ace merasa melepas Berlian di sekolah baru adalah cara agar tidak terjadi
Taksi konvensional yang di tumpangi Pamela berhenti di depan perusahaan yang namanya terpatri begitu mentereng di wajah gedung. Kandjaya Company. Pamela mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari taksi. Cukup lama ia berdiam diri karena terbit rasa ragu dalam hatinya. Ace dan seluruh misterinya membuat teka-teki yang ia bawa ke mana pun ia melangkah dan ia tidak mengantisipasi datangnya reaksi yang cukup mengganggunya sekarang.‘Mungkinkah Ace betul-betul menginginkanku karena dia menyukaiku atau semata-mata karena ia hanya butuh pelampiasan hasrat yang sudah lama tidak terlepaskan?’Pamela melepas napasnya dan melangkahkan kakinya dengan lemah menuju ke dalam gedung. Dan, setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, Pamela membayangkan Ace menyambutnya dengan hasrat yang menggebu, menanti bibirnya menyatu dengan bibirnya dan memujanya dengan perhatian yang luwes? Pamela menghentikan langkahnya, manakala dari kejauhan dua orang pria berusia setengah abad dan teramat ramah menyebutka