Terhitung sepuluh jam setelah pertemuan terakhir mereka, Pamela mendapati mobil mewah Ace kembali memenuhi halaman rumahnya yang sudah sesak oleh mobil sahabatnya dan ayahnya. Pamela membuang napasnya melalui mulut. “Itu dia ayah dari bocah itu.” Telunjuknya mengarah ke ambang pintu, tempat di aman Ace menyapanya dengan manis seraya pindah ke Berlian yang sudah tidur di depan televisi bersama Hamidah dan adiknya. Clary mendadak mengerjapkan matanya seakan tidak percaya pria itu ayah dari anak berusia delapan tahun yang menganggap rumah Anang Brotoseno lebih nyaman dari istananya yang mewah itu.“Kalo itu beneran Bapaknya, kayak nggak asing. Aku kayak pernah lihat!” Antoni berdehem-dehem. “Cewek sukanya gitu, ngaku-ngaku pernah lihat yang bening-bening biar gampang join.”Clary meringis seraya bergelayut manja di lengan kekasihnya. “Masuk, Om!” serunya.Ace berdehem seraya mendekati Pamela yang duduk di single sofa. “Selamat malam.” Clary dan Antoni mengangguk, sekilas dan yakin me
Setelah begitu lama Pamela menunggu kedatangan Ace di teras rumah, akhirnya pria itu datang menggunakan motor gede yang mengeluarkan suara menggelegar. “Sesat!” Pamela menggerutu dan terpukau melihat betapa Ace terlihat keren dan maskulin dalam penampilan preppy bikers. Gaya street style yang memadukan setelan lengkap jas dan celana chino hitam serta mengkombinasikannya dengan sepatu boots dan dasi kupu-kupu. Pamela berdehem dan mengalihkan perhatiannya kembali ke tanaman yang sedang ia siram.“Apa duda itu benar-benar mulai caper ke semua orang rumah?” Ace meletakan helmnya seraya mendekati Pamela. “Berlian belum bangun, Mel?” Ace mencium bahu Pamela, klaim pertama sebagai kekasihnya apapun beban yang berdiri di pundaknya. “Selamat pagi.” Pamela memutar tubuhnya tanpa menanggalkan slang air dari tangannya. Air mancur ke celana Ace dan Pamela tak peduli karenanya. “Selamat pagi, Ace.” Pamela mencampakkan slang airnya dan berkata, “Oh, maaf. Celanamu jadi basah.” Ace tidak memper
“Aku tunggu di kafe sebelah!” Ace meraih tangan Pamela dan menciumnya dengan lembut di depan gedung kantornya.Pamela menyunggingkan senyum geli. Aneh rasanya Ace bisa memujanya secepat kilat hanya karena alasan tanggung jawab seolah Natasha tidak ada lagi dalam hidupnya.Pamela menarik tangannya dengan cepat dan menyembunyikan ke belakang punggung. Bibirnya menguncup. “Ini ruang umum, Ace. Nggak usah gitulah, malu!”Ace menutup kaca helmnya seraya menggeber motor gedenya. Mengabaikan peringatan Pamela yang tidak penting baginya. Dan hanya beberapa meter dari Pamela yang bergeming menatapnya, Ace memarkirkan motornya. Ia melepas helmnya seraya menyunggingkan senyum, membalas tatapan Pamela. ‘Udah dimarahi papa, masih aja berlagak keren tuh duda!’ Pamela menghela napas.Ace mengibaskan tangannya, menyuruh Pamela pergi dan bersama-sama mereka masuk ke dalam gedung yang berbeda dengan perasaan yang berbeda pula. Ace merasa melepas Berlian di sekolah baru adalah cara agar tidak terjadi
Taksi konvensional yang di tumpangi Pamela berhenti di depan perusahaan yang namanya terpatri begitu mentereng di wajah gedung. Kandjaya Company. Pamela mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari taksi. Cukup lama ia berdiam diri karena terbit rasa ragu dalam hatinya. Ace dan seluruh misterinya membuat teka-teki yang ia bawa ke mana pun ia melangkah dan ia tidak mengantisipasi datangnya reaksi yang cukup mengganggunya sekarang.‘Mungkinkah Ace betul-betul menginginkanku karena dia menyukaiku atau semata-mata karena ia hanya butuh pelampiasan hasrat yang sudah lama tidak terlepaskan?’Pamela melepas napasnya dan melangkahkan kakinya dengan lemah menuju ke dalam gedung. Dan, setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, Pamela membayangkan Ace menyambutnya dengan hasrat yang menggebu, menanti bibirnya menyatu dengan bibirnya dan memujanya dengan perhatian yang luwes? Pamela menghentikan langkahnya, manakala dari kejauhan dua orang pria berusia setengah abad dan teramat ramah menyebutka
Satu bulan kemudian.Di antara matahari pagi yang benderang, Pamela memakai kaca mata hitamnya setelah kakinya menapak pulau Bali untuk memenuhi panggilan pertama dari pengadilan. Setumpuk kegelisahan membebani pundaknya. Hari ini, kembali ia harus menghadapi permasalahan yang ia anggap tidak lagi menyita perhatiannya setelah sebulan bersama Ace. Bersamanya semua lebih berharga dan menarik, ada kehangatan yang tak ia rasakan dari Damian. Seluruh perhatian Ace terasa asli tanpa kepura-puraan. Karenanya, serta-merta ada yang berubah. Ada perasaan sayang yang menyelusup di antara hasrat dan pertemuan di antara ruang sepi tanpa ganggu. Pamela menoleh. Ace menyusulnya menuruni anak tangga pesawat sambil mengancingkan jasnya. Ekspresinya terlihat tak acuh. Sementara, di belakangnya mengekor Armando dan Si Pengacara.Ace mengangguk singkat, menyapa Pamela tanpa sebait kata sebelum melangkah dengan kewibawaan yang kentara ke arah mobil buggy yang menanti kedatangannya. Pamela mencebikkan
Damian keluar dari mobil tahanan. Tiada baju tahanan dan borgol yang membelenggu tubuhnya yang menyusut kusut. Jerawat muncul di beberapa bagian wajahnya yang dulu ia rawat dengan bantuan-bantuan skin care ternama untuk menunjang penampilannya agar resik dan percaya diri. Senyumnya hilang, kini hanya wajah murung yang terlihat sebagai satu-satunya ekspresi yang tidak luntur dalam waktu singkat. Sebulan mendekam di penjara tak pelak membuat seluruh kharismatik seorang Damian Airlangga pudar. Jiwanya entah pergi ke mana, mendekam dalam kehampaan atau berpasrah pada kenyataan bahwa Pamela, gadis yang dicintainya setengah mati untuk dijadikan pengantin terbaiknya tidak mengindahkan harapannya untuk memaafkan dan melupakan kejadian yang dialaminya.“Boleh menemui Pamela sebentar, Pak?” Izin Damian kepada dua penyidik di belakangnya.“Sebentar saja!” Damian mengusap mata kirinya seraya melambatkan langkah, berlama-lama dia ingin menyaksikan gadis yang dirindukannya di dalam penjara alih-a
Pamela meninggalkan ruang sidang setelah dua jam mengerahkan segala daya upaya untuk menjebloskannya Damian ke penjara. Keseluruhan energinya renggut dari jiwa. Binar matanya buyar, saking lelahnya, ia perlu menyadarkan punggungnya di tembok dan memasrahkan diri saat tungkainya sudah tidak mampu lagi menopang diri.Damian menyusul kemudian. Lelah, mereka berhadap-hadapan, dan bukan perkara mudah bagi keduanya berbicara setelah fakta perselingkuhannya dengan Sassy di bongkar habis-habisan oleh Damian.Pamela memalingkan wajah. “Pergi!” Damian dapat melihat luka di matanya, ketidaksukaannya dan banyaknya alasan yang sudah bisa tertebak. “Urusanmu mungkin selesai di hari ini, Mela. Tapi aku belum. Miranti dan perusahaan menungguku di Jakarta!” tutur Damian, sendu.Pamela memberanikan diri menentang tatapannya. Racun dunia memang itu orang, akal sehatnya tidak kunjung menyentil kepekaannya untuk peduli terhadap perasaannya sekarang. “Aku harap Sassy nemenin kamu seperti waktu kalian b
Ace mendorong pintu kamar hotel seraya kembali memapah Pamela menuju ranjang kamar suite yang dipilihnya untuk memulihkan kesadaran Pamela. Ace merebahkan tubuhnya dengan hati-hati seraya berkacak pinggang. Ada gejolak untuk menguyel-uyel pipinya selagi Pamela menyaksikannya sambil tersenyum-senyum kenes. Pamela meringkuk seperti anak kucing yang nyaman di ranjang pemiliknya.“Ace... sini...” Pamela melambaikan jemarinya pelan-pelan. “Sini... Mela kasih tau sesuatu.” serunya manja.Ace menggelengkan kepalanya seraya menggumamkan nama Tuhan. Tingkah Pamela membuat kepalanya nyut-nyutan. Mabuk di sore hari, tersenyum-senyum sendiri lalu meracau tidak jelas dan merayunya supaya tidak seperti Damian. Pamela tidak suka Damian yang pembohong, dan ia tidak boleh menjadi pembohong, tidak boleh selingkuh, tidak boleh memiliki sekertaris nakal. Tapi yang lebih sakti dari berbagai permintaan itu. Ace hanya boleh memiliki hasrat padanya atau sumpah serapah yang di tujukan untuk Damian ikut men