"Maafkan aku Riris, ternyata Kamu jauh dari ekspektasiku. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sebaiknya kita berpisah sejak awal, aku tidak akan menyentuhmu. Ini semua kulakukan demi kebaikanmu. Agar kamu nanti bisa menikah lagi dengan laki-laki yang terbaik untukmu"
Lelaki tinggi putih berbadan tegap dengan wajah oval berhidung mancung, yang masih mengenakan jas pengantin berwarna merah marun itu berucap lirih. Dilepasnya songkok yang berwarna senada dengan balutan jasnya itu dari kepalanya, menampakkan rambutnya yang hitam berbelah tengah itu. Tangannya menggaruk-garuk rambut yang tertata rapih itu hingga menjadi acak-acakan."A-apa maksudmu Mas .... ?" tanyaku getir. Aku tidak percaya dengan semua yang telah Mas Reza katakan.Hatiku yang seperti bunga-bunga yang bermekaran saat mendengar kalimat agung yang Mas Reza ikrarkan di hadapan bapakku tadi pagi, tiba-tiba menjadi layu, bahkan kelopak bunganya telah jatuh berguguran.Kami bahkan belum sempat mengganti pakaian pengantin. Kenapa Mas Reza bisa setega ini kepadaku. Bukankah pernikahan itu hal yang sakral dan agung? Tidak pantas untuk dipermainkan seperti ini.Mataku semakin mengembun, dan akhirnya embun itu meluap hingga membanjiri pipiku yang masih merah merona karena riasan make up yang belum sempat kubersihkan.Mas Reza menghela napas panjang, wajahnya tertunduk dalam. Seolah enggan menatapku, wanita yang baru saja menjadi permaisurinya di pelaminan tadi."Bukankah Mas bahagia dengan pernikahan ini? Aku bisa melihatnya saat Mas menyalamiku dan mengecup keningku selepas akad tadi." cecarku, aku butuh penjelasan atas ucapan yang baru saja meluncur dari mulutnya"Ya, tadi memang aku bahagia saat akad pernikahan kita. Tapi itu sebelum rombongan tamu--teman pondokmu--datang. Maafkan aku yang tidak bisa memaksakan perasaanku padamu Ris. Sebelum kita terlalu jauh melangkah, Engkau aku talak sekarang!" ucapnya lirih. Nampak raut sesal di wajahnya.Mendengar ucapan Mas Reza, jantungku seakan berhenti berdetak, mataku membulat dengan kedua bibirku yang menganga.Ada apa dengan teman-temanku tadi? Pantas saja setelah mereka memberi selamat kepada kami di atas pelaminan, nampak gurat kecewa di wajah Mas Reza. Dia tidak lagi tersenyum kepadaku dan para tamu hingga acara resepsi selesai."Mas semudah itukah engkau menalakku? Memangnya kenapa dengan teman-temanku tadi Mas? Apa salahku Mas?" Bulir bening masih terus mengucur deras dari sudut netraku."Mereka tidak salah. Kamu juga tidak salah, yang salah adalah Dimas--sepupumu--yang juga sahabatku. Kenapa dia tidak mengenalkanku terlebih dahulu kepada mereka? Para ustadzah yang anggun, cantik dan penuh kharisma itu."Apa? Aku terperangah tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan oleh Mas Reza. Tenggorokanku serasa tercekat. Wajahku terasa panas, tubuhku bergetar hebat, aku bagaikan tersengat listrik ribuan watt.Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Reza langsung beranjak dari duduknya di tepi ranjang. Bergegas pergi menuju pintu kamar pengantin yang kini nampak seperti neraka bagiku, meskipun kamar ini telah dihias dengan indah. Bunga-bunga segar yang harum berwarna-warni di rangkai di tiap sudut kamarku. Bahkan kelopak-kelopak mawar merah telah di taburkan di atas ranjang, tanpa kami sempat menyentuhnya."Mas ... ! Tunggu ... jangan pergi Mas!" pintaku menghiba, namun teriakanku tak dihiraukannya lagi. Mas Reza tetap berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang."Uhuu ... huu ... huu ... huu .... !"Aku hanya bisa menangis sesenggukan. Kujatuhkan tubuhku yang tiba-tiba lemas lunglai di atas karpet tebal berwarna merah. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku, masih sambil tergugu hingga kedua bahuku turut berguncang."Mas Rezaaa ... huhuhuhu ... kenapa kamu setega ini padaku!" seruku dalam tangisanku yang terdengar semakin pilu.Secepat itu kau menikahiku, dan secepat itu pula kau menalakku.Bukankah pernikahan ini kamu yang menginginkannya? Aku bukan mainan yang dengan mudahnya kau campakkan, setelah engkau melihat mainan baru yang lebih menarik hatimu.Masih terbayang di pelupuk mataku, saat itu kamu dan keluargamu datang ke rumah untuk melamarku. Kalian nampak sungguh-sungguh menyampaikan niat baik itu, hingga ingin pernikahan itu dipercepat jika aku bersedia menerima lamaranmu.Kau bahkan berkata bahwa setelah melihat fotoku yang dikirimkan oleh Mas Dimas saat proses ta'aruf, engkau langsung terpesona dan tertarik padaku.Kau yang saat itu baru lulus S2 dari salah satu Universitas yang ada di Malaysia, tiba-tiba meminta tolong kepada Mas Dimas, untuk dicarikan calon istri yang akan mendampingimu.Kenapa kau menerima aku sebagai calon istri yang Mas Dimas tawarkan? Kenapa juga kau dengan cepat melamar dan menikahiku? Jika akhirnya sekarang di malam pertama ini, yang seharusnya kita saling mereguk kebahagiaan, justru kau ucapkan talak padaku, bagaikan petir yang menyambarku di siang hari.Aku masih menangis, saat ibu dan bapakku masuk ke kamarku dengan tergesa. Mungkin suara tangisanku terdengar oleh mereka yang berada di luar kamar."Nduk, Kamu kenapa? Kok nangis begini? Apa yang telah terjadi? Di mana suamimu?" Rentetan pertanyaan dari ibuku meluncur tanpa jeda. Nampak kecemasan di raut wajah ibuku.Aku masih tergugu, belum bisa berkata apa-apa.Harus kukatakan apa kepada bapak ibuku? Aku tidak ingin kejadian ini membuat hati mereka sedih dan terluka. Apalagi bapakku punya riwayat penyakit jantung. Aku tidak mau bapak terkena serangan jantung mendengar berita ini.'Ya Allah aku harus bagaimana?' ratapku dalam hati."Nduk, cepat katakan ada apa sebenarnya? Kenapa Kamu nangis begini? Apa yang sudah terjadi padamu?" Ibu masih terus mengguncang pundakku.Kutatap wajah ibu yang nampak cemas, kualihkan pandangan ke bapak yang berada di samping ibu, nampak ketegangan di raut wajahnya. Aku semakin bingung harus menjawab apa kepada mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas dan sedih. Cukup aku saja yang terluka. Jangan sampai kedua orangtuaku juga ikut terluka.Aku menyesal kenapa tadi aku berteriak dan menangis kencang hingga terdengar oleh bapak dan ibu, mungkin kerabat lain yang ada di luar kamar yang masih belum pada pulang juga ikut mendengarnya. Seharusnya aku tadi mengontrol emosiku.Tenang Riris, tenangkan dirimu. Kamu bisa selesaikan masalah ini pelan-pelan. Tidak boleh gegabah. Banyak hati yang mesti dijaga. Terutama bapak, aku tidak mau bapak kena serangan jantung gara-gara masalah ini. Aku harus bisa mencari alasan kenapa aku menangis dan kenapa mas Reza pergi di malam pengantinnya."Nduk,
Usai kutalak Riris, bergegas aku keluar dari rumahnya. Kulewati saja orang-orang yang masih berada di ruang keluarga, aku tidak berani menatap wajah-wajah mereka.Aku tidak mau ada kericuhan di rumah ini, sebaiknya secepatnya aku pergi dari sini. Maaf bapak dan ibu mertua, aku tidak berani pamit pada kalian. Aku tidak mau terjadi keributan di rumah ini.Gegas kulajukan mobilku menuju rumahku di Jogja. Ayah, bunda dan rombongan keluarga yang sejak sore tadi sudah pamit pulang mungkin sekarang sudah tiba di rumah.Aku tidak tahu bagaimana respon kedua orang tuaku jika mendengar aku sudah mentalak Riris. Mungkinkah mereka akan marah besar? Apalagi alasanku mentalaknya terkesan sungguh tidak masuk akal.Mungkin bagi orang-orang ini memang tidak masuk akal. Tapi bukankah pernikahan ini aku yg akan menjalaninya? Aku seorang Magister Ekonomi lulusan dari luar negeri. Baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan bonafit di kota Jogja. Walaupun jabatanku hanya sebagai asisten CEO, tapi
Mas Dimas mulai melajukan mobil VW Kodok antiknya perlahan keluar dari halaman rumahku. Menyusuri jalanan desaku yang masih berbatu, melalui kebun, rumah warga dan berujung ke area persawahan yang luas membentang. Kami masih saling diam terpaku. Mas Dimas fokus menyetir, sedangkan aku hanya menatap kosong pemandangan di balik jendela kaca mobil ini dengan mata yang dipenuhi embun."Ris, yang kuat ya ... maafin aku yang secara tidak langsung sudah bikin nasibmu jadi begini." Mas Dimas mulai membuka percakapan.Aku masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa."Mas Dimas semalam udah coba telepon si Reza, dan sialnya dia nggak mau angkat telepon dariku. Dasar laki-laki pengecut!" geram Mas Dimas sambil memukulkan tangannya yang terkepal di atas stir."Reza yang kukenal saat masih sama-sama di pondok dulu itu, adalah sosok yang baik, pendiam dan sholeh. Makanya saat dia minta tolong sama Mas untuk dicarikan calon pendamping, mas tidak ragu untuk mengenalkannya padamu. Aku nggak nyangka pola
Mas Dimas sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia tak perduli semua orang menatapnya di warung SGPC ini.Mas Dimas ngajak ketemuan dengan Mas Reza setelah Dzuhur. Ya sudahlah sekalian aku bisa memgembalikan cincin dan maharnya. Biar aku nggak ada urusan lagi dengan lelaki itu."Ris, sekarang masih jam setengah sebelas. Kita ke Masjid Kampus aja ya, sekalian nunggu waktu dzuhur kita bisa sholat dhuha dan istirahat di sana. Nanti mas juga mau browsing info kos-kosan di aplikasi online," ucap Mas Dimas setelah menghabiskan sepiring sego pecelnya.Aku hanya mengangguk tanda menyetujui idenya."Buruan dihabiskan makannya Ris," desak Mas Dimas yang melihat aku makan dengan lambat. Aku sebetulnya memang tidak selera untuk makan. Tapi aku juga harus memperhatikan kesehatanku, karena aku harus kuat menjalani hidupku yang baru di kota ini."Ya udah yuk Mas, aku udah kenyang," ajakku untuk segera meninggalkan warung ini meski masih tersisa separuh nasi di piringku.Kamipun beranjak meningg
Reza merasa kebingungan melihat Riris dan Dimas berlari meninggalkannya begitu saja di area parkir Masjid."Apa-apaan ini, aku ditinggalin begitu aja, tanpa ada yang pamit padaku. Padahal hampir saja cincin dan mahar itu berada di tanganku, huh sial!!" Reza menyepakkan kaki kanannya di atas tanah. Wajahnya nampak kesal.Akhirnya Reza berjalan kembali ke mobilnya dan berniat untuk pulang kembali ke rumah."Huft, kalo begini jadi ribet urusannya. Padahal tadi itu dengan mudah aku bisa mendapatkan kembali cincin dan maharnya. Ini pasti nanti bunda akan mendesakku lagi soal ini." Reza menggerutu sendiri sambil mengendarai mobilnya menuju rumah.Sesampainya di rumah, Reza langsung disambut oleh bundanya yang nampak begitu panik."Reza ... untung Kamu cepet pulang. Dari tadi bunda teleponin Kamu tapi nggak nyambung terus sih!"Reza mengeluarkan gawainya dari saku dan mengeceknya."Waduh maaf Bun, ternyata Reza baterai handphoneku habis. Ada apa toh Bun, kok keliatan panik gitu?""Sini duduk
Melihat dokter dan Dimas keluar dari ruang ICU dan berjalan mendekati kursi tempat Riris dan ibunya duduk, mereka berdua segera beranjak dari duduknya. Dengan wajah cemas Riris langsung bertanya kepada dokter tersebut."Dok, gimana kondisi bapak saya Dok?""Ada kabar gembira, baru saja Pak Rohman telah sadar. Jika sampai besok kondisinya tetap stabil, maka bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Namun pesan saya sebaiknya pasien dijaga suasana hatinya, hindari hal-hal yang bisa memicu stress agar penyembuhannya bisa berjalan cepat," jelas dokter.Serempak Riris dan ibunya mengucap syukur, "Alhamdulillaah .... "Riris mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian tersungging seulas senyum manis dari wajahnya. Dia merasa lega dan bahagia mendengar berita baik tentang bapaknya."Baiklah saya permisi dulu," pamit dokter."Iya Dok, terima kasih banyak," sahut ibunya Riris."Ris, paklek sadar tak lama saat aku berdiri di sisi ranjang paklek. Beliau sempet manggil namamu. Aku
Setengah berlari aku menuju kamar tempat bapak dirawat. Hatiku diliputi rasa cemas tak karuan. Ya Allah semoga bapak baik-baik saja, tak henti-hentinya ku berdoa dalam hati. Jantungku semakin berdebar kencang entah kenapa, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.Akhirnya sampai juga aku di depan kamar tempat bapak dirawat, segera kubuka pintu kamar. Mataku langsung tertuju pada ranjang yang berada di sudut kamar. Aku bernapas lega saat melihat bapak sedang tertidur dengan posisi miring membelakangi arah aku berdiri.Kulangkahkan kakiku menuju nakas di samping ranjang dan meletakkan obat yang baru saja kutebus di atas nakas. Bapak sedang tidur, sebaiknya aku tidak usah membangunkannya dulu.Napasku masih ngos-ngosan, ku hempaskan diriku di atas sofa kecil di depan ranjang bapak. Fiuuh, alhamdulillah bapak nggak kenapa-kenapa. Ya Rob, kenapa Mas Reza dan ibunya itu selalu menguji kesabaran kami. Semoga saja aku nggak ada lagi urusan dengan mereka setelah ini. Pergi jauh-jauh saja darik
Proses memandikan dan mengkafani jenazah bapaknya Riris selesai sebelum waktu Ashar. Semuanya berjalan lancar, jenazah tiba di rumah duka pukul empat sore. Di rumah sudah berdiri kembali tenda untuk para pelayat. Bendera kuning juga sudah di ikat di gapura masuk lingkungan dukuh tempat Riris tinggal. Para pelayat yang sebagian besar warga desa dan sekitarnya sudah banyak yang datang. Mendiang Pak Rohman semasa hidupnya memang dikenal baik, ramah dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat di desa tersebut, jadi tidak heran jika banyak warga dan kerabat yang datang untuk takziah. Mendiang bapaknya Riris juga dikenal oleh banyak petani, karena semasa hidup dia usahanya adalah sebagai tengkulak, menampung dan membeli semua hasil panen padi warga desa dan sekitarnya untuk kemudian di kirim ke gudang yang lebih besar di kota. Selain itu mendiang Pak Rohman juga memiliki beberapa petak sawah warisan dari orang tuanya. Dari situlah mendiang bapaknya Riris bisa membiayai sekolah Riris hingg