Kedatangan Martia dan Ibu cukup menghiburku. Kepergian Teo ke Bali menjadi tidak terlalu terasa. Apalagi Martia selalu ceria dengan banyolan-banyolan yang selalu bisa mengaduk-aduk perut."Sudah mau dilamar tapi dia gak mau, Mir," seloroh ibu saat kami membahas tentang jodoh yang tak kunjung datang."Gimana mau dianya duda anak satu," timpal Martia dengan gaya khasnya."Memangnya kalau duda kenapa?" tanyaku tak mau ketinggalan."Kalau duda macam Mas Arhab tak apa, Mir. Lah ini sudah mau sepuhhhhh."Ibu terkikik. Sambil memotong sayur kangkung yang beliau petik sendiri dari kebun untuk dimasak di rumah putrinya."Kenapa, Bu?""Mar, mar kok jauh amat sampe Arhab," timpal Ibu."Eh, sori Mir. Gak maksud bahas masa lalu.""Apaan, sante aja kali," ucapku sambil mengibaskan tangan. Sudah cukup lama tidak mengingat Mas Arhab memang."Eh, Mir. Mas Arhab dah lama lho gak balik kampung. Kayaknya sibuk banget di Jakarta. Kali aja bisa ketemuan, ya."Keningku berkerut. "Maksudmu?""Biasanya masih
Kondisi Mama Ajeng cukup serius. Meski sudah diperiksa dokter keluarga, Mama Ajeng masih tampak lemah. Kami yang menjenguk pun merasa tak enak karena malah membawa makanan yang tidak semestinya."Jangan sungkan Bu Niar, saya ini cuma masuk angin. Penyakit orang tua," kata Mama Ajeng saat Ibu menyampaikan permintaan maaf."Kalau Bu Ajeng sampaikan yang sebenarnya sama Amira kan kami ndak ke sini, Bu. Ndak ganggu waktu istirahat Bu Ajeng."Mama Ajeng menggeleng. "Saya juga kangen sama Amira sama Akila sama cucu saya yang masih di perut juga. Makanya saya balas saja saya di rumah.""Tapi saya malah bawa makanan aneh-aneh, Bu," tutur Ibu. Kali ini terlihat lebih rileks."Semur jengkol sama ikan, Bu? Malah bisa dimakan anak-anak sama Mbak di dapur. Mereka kadang suka kangen masakan rumahan begitu. Saya malah senang bu. Makasih banyak sudah dibawakan ke sini."Ibu mengangguk kecil seraya meraih tangan Mama Ajeng. "Lekas pulih lekas aktivitas lagi ya, Bu. Habis ini kalau sudah nyapa semua or
Pov TeoAku cukup geli mengetikan kalimat itu untuk Amira. Tapi demi meredam kesalahpahaman aku tetap melakukannya.[Sayang …. Maafin aku. I love you.]Sebenarnya aku menunggu balas segera karena siang ini aku harus bertemu seseorang yang akan membantu meluruskan kasus Arga. Semua bukti jelas mengarah pada Baja hanya aku belum bisa membongkarnya. Ada beberapa kejanggalan terkait aliran dana perusahaan selama Baja memegang kekuasaan. Pria itu selalu serakah. Dia kerap gelap mata saat membicarakan uang. Maka satu-satunya cara memancingnya agar muncul hanyalah dengan uang.Pertanyaan Martia terkait Raline cukup menyentakku. Pasalnya aku tidak mengantisipasi lebih awal. Ya, kedatanganku ke Bali salah satunya untuk bicara dengan Raline tanpa interfensi dari Baja. Dan sekarang aku sedang dalam perjalanan menujunya."Sudah sampai, Pak?" tanyaku begitu Pak Rama memberhentikan mobilnya."Apartemen?" tanyaku heran."Lebih tepatnya semacam penthouse, Pak.""Banyak duit mereka?""Ini salah satu a
IPOV TeoAku tidak tahu kalau Arhab serius dengan kata-katanya. Dan bodohnya lagi aku tertarik dengan penawarannya. Sore ini seperti waktu yang dijanjikan mantan pacar istriku itu, kami bertemu.“Kau sengaja pake kacamata besar?” tanyanya begitu mengenali wajahku.“Memangnya kenapa?”“Sangat kentara kalau bukan dari kalangan biasa. Pasti mereka akan mudah percaya.”Aku mendecih. Lagaknya Arhab meremehkan kemampuanku. Meski belum pernah terlibat dalam sebuah operasi rahasia secara nyata, aku tidak sebodoh itu.“Kau siap, Bro?!” tanya seseorang yang sejak tadi duduk di meja sebelah. Seolah tak mempedulikan tapi ternyata menyimak obrolan kami.“Beres,” sahut Arhab santai. Dia nampak mengenal pria itu.“Monitor pasukan. Lets go!” ujarnya seperti bicara sendiri.Dan benar saja tiba-tiba lampu padam. Aku yang tidak mengetahui rencana detail dari aksi ini cukup panik. Arhab benar-benar sialan.“Aku bilang diam saja. Kau tidak berbakat sama sekali,” suara Arhab jelas terdengar tapi di mana di
Informasi dari Raline sangat membantu kami. Lokasi terakhir di mana Baja berada segera terlihat di aplikasi yang artinya kami akan bisa meringkusnya. Pak Rama cukup lihai membawa mobil kesayanganku menyusuri gang-gang kecil perumahan. Cukup di luar dugaan karena aku pikir, Baja akan bersembunyi di penthouse atau apartemen mewahnya. “Sepertinya mentok di sini, Bos,” ujar Pak Rama setelah memastikan titik terakhir lokasi Baja. “Kita harus turun?” tanyaku sangsi. Pasalnya enggan kalau harus berjalan kaki. “Betul, Bos.” Aku menoleh ke belakang, menunggu reaksi Arhab akan seperti apa. Dan pria itu bergegas turun. “Gak usah kebanyakan mikir,” ujarnya. Aku mengangkat bahu mengikuti Langkah Arhab turun dari mobil mesti enggan. “Sebentar, Bos,” cegah Pak Rama. Beliau membuka dashboard mobil dan menyerahkan benda yang tidak pernah kubayangkan. “Buat jaga-jaga.” “Kau gila? Memangnya apa manfaatnya? Ya
Pov TeoAditama Group tidak pernah main-main dalam menjaga citra perusahaan. Meski Papa yang menjadi tombak utama sudah tiada, mereka tetap memegang teguh prinsip itu. Lepas kejadian di perumahan padat itu, nyaris taka da satu pun berita tentang penangkapan menantu dari keluarga Aditama Grup itu, baik di media sosial maupun stasiun TV nasional. Pak Rama dan tim kuasa hukum perusahaan mungkin sudah membuat scenario tentang hilangnya Baja dari salah satu eksekutif perusahaan.“Sudah kubilang, Putra Mahkota tidak boleh terluka. Semua pengawal akan melakukan banyak cara.” Arhab yang tengah menyulut rokok di balkon kamar berbicara tanpa merasa sungkan. Ya, setelah insiden itu Pak Rama meminta kami bersembunyi di salah satu hotel terbaik perusahaan di pulau dewata. Aku menoleh. Enggan sebenarnya menanggapi ucapan Arhab yang jelas-jelas hanya ingin mengolok saja. “Setidaknya laki-laki itu tak membuat kegaduhan lebih banyak. Dengan tidak ada lagi di bumi, dia akan pergi ke neraka bersama dosa
Aku tidak salah mendengar. Raline jelas-jelas bertanya pada Teo mengapa dia membunuh Mas Baja. Sesuatu yang tentu tidak masuk akal. “Akila, Akila ke tempat Uti dulu, ya. Ibu biar bicara dulu sama Om Teo,” ucapku sambil berharap Akila tidak memahami ucapan Raline. Bagaimana mungkin ayah tirinya membunuh ayah kandungnya? Sesuatu yang tampak mengerikan. Akila hanya mengangguk seraya meninggalkanku. Dia anak yang penurut. Segera setelah Akila pergi aku menyusul Teo munuju lantai dua. Aku harus meluruskannya.“Apa maksudnya, Mas?” tanyaku tak sabar. Teo yang berniat membuka pintu kamar menoleh sejenak. Dia tampak tidak antusias. “Aku lelah, Ra.”“Kita perlu bicara. Apa maksud pertanyaan Raline. Kenapa bisa kamu membu–”“Kamu pun berpikiran sama?” tanyanya tampak tak percaya.“Bukan begitu. Maksudku—”Teo tak menanggapi perkataanku. Dia meneruskan niatnya membuka pintu kamar. Beruntung, dia tidak langsung menutupnya. Tandanya aku diizinkan masuk.“Ada apa? Kenapa semuanya tiba-tiba?” ta
Sekali lagi aku menyimpulkan jika pertanyaan Raline memang benar. Mas Baja meninggal bukan karena sebuah kecelakaan melainkan pembunuhan. Suatu hal yang bagiku sangat miris dan dilakukan oleh suamiku sendiri.“Apa semua ini benar? Kalian melakukannya?” tanyaku setelah berada di ruang kerja itu. Tak peduli jika ada yang mendengar selain kami bertiga.“Kenapa kamu masuk, Ra? Suruh siapa?” tanya Teo dengan nada tinggi. Dia nampak kesal.“Jadi apa yang dikatakan Raline benar? Kamu benar membunuh Mas Baja?” tanyaku iba. Bagaimana bisa Teo melakukannya.Teo pun memijit pelipis, dia nampak gusar dan tidak mampu menguasai diri. “Hab, tolong bawa Amira keluar,” ucapnya.“Apa?”“Bawa istriku keluar. Aku sudah terlalu pusing memikirkan ini.”“Aku butuh penjelasanmu, Teo. Aku tidak butuh orang lain untuk menenangkanku!” sentakku.“Hab, aku minta tolong. Kalau perlu panggil Pak Rama ke sini.”Setelah itu Mas Arhab benar-benar melakukan perintah Teo. Dia membawaku keluar dari ruangan itu. Satu hal