1. Hinaan AndraSuara motor Mas Andra terdengar menderu di halaman. Setelahnya pria itu terdengar membuka pintu bahkan sebelum aku berjalan mendekat ke arahnya."Kamu sudah pulang, Mas?" tanyaku pada pria yang dua tahun ini sudah menikahiku.Namun, bukannya menjawab, pria itu malah berpaling ke arah lain bahkan untuk mengulurkan tangannya padaku pun, sepertinya jijik. Tanpa kata, Mas Andra melewatiku begitu saja dengan wajahnya yang terlampau dingin. Sama sekali tidak menegaskan kesan sebagai seorang suami yang baik kepada pasangannya.Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, setidaknya aku harus tahu alasan Mas Andra membenciku. Berusaha menegarkan hati, aku mencoba bertanya kembali padanya."Kenapa kamu terus memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa salahku padamu?" tanyaku dengan mata yang pasti sudah berkaca-kaca, karena jujur aku tak mengerti. Aku tak nyaman mendapatkan perlakuan seperti ini terus-menerus. Kedua orang tuaku selalu bersikap lemah lembut saat di rumah, tak pernah ka
Bab 2Ditengah-tengah makanan yang sedang kunikmati ini, tiba-tiba saja air mataku berjatuhan melewati pipiku. Mengingat bagaimana sikap Mas Andra kepadaku, tak ayal membuatku sakit hati sekaligus sedih. Apalagi aku yang tidak biasa dikasari oleh orang lain, membuatku kesulitan dan mencerna semua keadaan ini.Apalagi perkataan Mas Andra itu membuatku merasa sangat nyeri. Hanya karena kulitku yang burik ini, hingga dia tega memperlakukan aku secara buruk, dan bersikap dingin selama berbulan-bulan ini. Menghela nafas berat, aku menghentikan makanku kemudian menyimpan piring yang berisi sayur kangkung dan tempe itu, dan menyimpannya begitu saja di dapur. Mencuci tangan, dan segera kembali ke ruang tengah di mana putraku Farel tengah tertidur dengan lelapnya. Sejak Mas Andra membenciku dan mulai menjaga jarak padaku serta bersikap dingin selama lima bulan ini, pria itu sama sekali tidak pernah berbicara lagi padaku maupun menggendong bayi yang berusia dua bulan itu. Padahal pertama me
CurigaJangan lupa, subscribe, follow author di FB dengan nama pena yang sama. Dan baca novel² ku di app online lainnya. "Maaf, Mas, aku mau mengambil mukena," ujarku berbicara senormal mungkin. Jangan sampai membuat pria dingin itu curiga. Mas Andra melebarkan pintu kamar, saat aku berjalan masuk dan kulirik panggilan ponselnya masih berlangsung, dimana terlihat jam yang menunjukkan berapa lama mereka tengah berbicara. Ada sekitar satu setengah jam yang lalu. Berarti Mas Andra berbicara dengan orang itu selama satu setengah jam."Bukankah katamu kau hanya ingin mengambil mukena? Tapi kenapa sepertinya kamu seperti kebingungan, Aisyah?" Aku tergagap dan menoleh sekilas ke arah Mas Andra, saat pria itu menatap penuh kebencian padaku. Aku mengangguk samar, kemudian meraih mukena yang ada di atas nakas, dan meninggalkan pria itu. Tanpa kuduga, Mas Andra langsung menutup pintunya dengan kasar.Brughh! Padahal aku baru satu langkah keluar dari kamar, tapi pria itu saking membenciku sam
Fakta MengejutkanPagi ini aku mengajak Farel untuk berjemur di halaman depan, sekaligus menunggu tukang sayur yang biasanya lewat. Kata bidan waktu itu, kulit Farel sedikit kuning jadi dia harus sering-sering dijemur untuk mendapatkan vitamin D secara alami. Uang di kantong tinggal lima belas ribu lagi dan harus kugunakan sebaik-baiknya. Beruntung Farel belum bisa jajan karena umurnya masih dini.Besok adalah jatah Mas Andra memberikan uang. Semoga dia tidak melupakan kewajibannya.Bu Nur dan Pak Tarso baru saja pulang dengan motor Beat merah miliknya. Wanita itu misuh-misuh langsung berdebat sedikit dengan suaminya, entah mengobrolkan apa. Setelahnya tampak mendekat ke arahku dengan tergesa."Eh, Aisyah. Aku lihat suamimu membonceng seorang wanita di jalan tadi pagi!" Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan."Ap-apa?!" ucapku tak percaya. "Bu Nur jangan bicara sembarangan ya." Kata itu begitu saja keluar dari dalam mulutku, mencoba tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh wanita
Berobat"Maaf, saya mencoba untuk melihat wajahnya ya, Bu Aisyah. Silahkan berbaring di sini." Seorang pria tampan bergelar dokter kecantikan tersenyum dan mempersilahkanku untuk berbaring di brankar. Saat ini aku sedang berada di sebuah klinik kecantikan, saat Bu Indria membawaku ke tempat ini, untuk mengobati wajahku yang sudah sangat memprihatinkan. Sepertinya wanita itu kasihan kepadaku, apalagi setelah kujelaskan kisah hidupku tadi. Katanya, dia tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang karena meyakini jika aku akan menjadi seorang bintang setelah wajahku mulus. Apalagi ditunjang dengan kulitku yang putih, tinggi badan yang proporsional, bentuk tubuhku yang tidak berubah meskipun sudah melahirkan, ditambah penampilanku yang sebentar lagi akan Bu Indria rubah, membuatnya optimis jika aku akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Meski itu juga adalah harapanku. Dokter itu kemudian mengambil sebuah alat yang diarahkan ke wajahku, membuat seluruh apa yang tidak ada di wajahku t
Bab 6MinggatMenjelang malam pun tiba. Aku memilih rebahan di kamar bersama dengan Farel, dan mengajak bayi dua bulan itu bercanda. Tentunya setelah melaksanakan shalat wajib. Seperti biasanya, Mas Andra membeli makanan dari luar, lalu menikmatinya sambil menonton TV. Tanpa menawariku ataupun mencoba memanggilku agar makan bersamanya. Hal yang sudah lima bulan ini tidak dia lakukan. Hampir setiap malam, pria itu membeli makanan dari luar. Entah itu nasi goreng, ayam goreng, martabak, ataupun sate. Dan sebagai seorang istri, aku hanya bisa menelan ludah sambil mencoba untuk bersabar melihat perlakuannya yang tidak wajar itu. Jika ada sisanya, pagi-pagi aku akan memakannya setelah menghangatkannya di atas kompor. Namun jika makanan itu tidak tersisa, aku hanya bisa mendesah panjang mencoba untuk bersabar. Berharap suatu hari nanti hidupku akan berubah. "Entah terbuat apa hati pria yang menikahiku dua tahun yang lalu itu. Hingga begitu kuatnya dia mengabaikanku selama lima bulan laman
Bab 7Pemotretan Aku melamun sambil memikirkan Mas Andra. Sudah tiga hari pria itu tidak pulang ke rumah.Aku pun terpaksa memanfaatkan beras seliter dengan membuat bubur tiap hari. Lumayan bisa menghemat, meski makannya tanpa lauk.Ketukan pintu seketika membuatku terduduk setelah menyusui Farel dan membuatnya kembali terlelap dalam tidur.Segera mengambil pashmina instan. Aku melangkah menuju ke arah pintu, dan sengaja menutupi mukaku. Agar orang-orang tidak semakin memandang jijik. Apalagi wajahku sekarang sedang dalam masa parah-parahnya, di mana kulit terasa perih dan semakin memerah. Bahkan sekedar terkena hembusan kipas angin saja, rasanya seperti disayat-sayat."Bu Aisyah?""Ya Mbak Ani. Ayo masuk." Wanita itu adalah pekerja di rumah Bu Indria. Aku tak mengerti ada apa wanita itu siang-siang datang ke rumahku.Wanita itu langsung menggeleng dengan senyumnya yang ramah."Bu Aisyah dipanggil oleh Bu Indria. Sekarang juga disuruh ke rumahnya. Jangan lama-lama, tapi katanya pen
Bab 8Andra Kembali"Bagaimana hasilnya?" tanya Bu Indria dengan segelas jus di tangannya. Menurut keterangannya, wanita itu baru saja bangun tidur."Lumayan bagus, saat kita tutupi wajahnya dengan kipas atau dengan daun yang estetik sehingga menampilkan bentuk tubuhnya saja," sahut pria berkemeja putih. Dengan wajah tampak sumringah."Tuh kan apa yang kubilang tadi," ujar Bu Indria sambil menyentuh bahuku dan mengajakku untuk duduk kembali. Melihat kepuasan di wajah-wajah mereka, entah kenapa aku juga ikut bahagia. Semoga ini menjadi awal kesuksesan untukku di masa depan. Setidaknya aku bisa menjadi seorang model pakaian syar'i. Amin.Di saat yang bersamaan, Mbak Ani segera menyerahkan Farel padaku yang langsung kudekap dalam pelukan. Bayi itu benar-benar anteng, dan mengerti jika ibunya tengah mencari rezeki untuknya."Eh sebaiknya aku ganti baju dulu, nggak enak jika aku pakai baju yang mahal ini," uj