Rayna duduk disamping Arthur begitu saja tanpa menunggu tanggapan dari Arthur. "Jika tidak keberatan aku akan mengobati lukamu" kata Rayna sembari membuka kotak obat.
Axel menatap tajam Rayna tanpa bersuara tetapi dia segera membuka kaos yang dikenakannya. Axel tersenyum kecut, lalu memalingkan wajahnya. "Kau sungguh aneh, dokter" ucapnya penuh dengan teka teki.Rayna mendongakkan kepalanya keatas sembari menatap Axel tidak mengerti. Dia menghela nafas berat, "maafkan aku" ucapnya lirih sembari membersihkan luka Axel.Setelah selesai Rayna memberikan obat untuk Axel. "Minumlah obat ini" perintah Rayna sembari memberikan obat menyodorkannya kepada Axel.Axel menatap obat itu sesaat lalu mengalihkan pandangannya. "Tidak!! tidak perlu!" balas Axel dengan dingin."Aku memaksa tuan Axel, ambil!! dan minumlah" pinta Rayna sekali lagi dengan tegas.Axel berdecih lalu berkata dengan sinis,"kau belajar banyak dariku ternyata" ujarnya sembari meraih obat dari tangan Rayna dengan terpaksa. Dengan malas Axel memasukkan obat ke mulutnya lalu meminum segelas air putih yang sudah di sediakan Rayna sejak tadi."Ganti bajumu! kita pergi, aku tunggu kau di luar!" perintah Axel sembari bangkit dari duduknya dan kembali mengenakan kaosnya.Rayna kembali menatap Axel dengan heran. "Kau mau membawaku kemana lagi?" tanya Rayna memasang wajah ingin tahu."Lakukan saja apa yang kuminta dan jangan banyak bertanya!" ujarnya sembari menatap Rayna dengan tajam."Tidak ada bajuku disini Axel!" tanya Ana dengan heran. Seenaknya Axel memintanya mengganti pakaian, sedang Rayna dibawa ke apartemen ini dengan tangan kosong dia tidak membawa apapun. Rayna hanya membawa pakaian yang membalut tubuhnya dan juga ponsel."Lihatlah di lemari, pilih yang kau mau semua sudah di siapkan" kata Axel menatap Rayna lalu segera beranjak meninggalkannya dengan mulut membeo. 'Astaga, ada orang aneh macam seperti dia' gumam Rayna menghela nafas sembari menepuk jidatnya sendiri.Dengan segera Rayna mengganti bajunya lalu segera beranjak keluar menyusul Axel yang sudah menunggunya.Melihat Rayna mendekat Axel yang bersandar pada mobilnya segera masuk ke dalam mobil. Rayna mengikuti Axel masuk ke dalam mobil dengan wajah malas. "Kau mau membawaku kemana lagi, tuan?" tanya Rayna dengan bersungut-sungut."Kemanapun aku mau dan aku tidak butuh persetujuanmu!" jawab Axel dengan singkat. Rayna mengehela nafas kesal, dia mengalihkan pandangan matanya ke luar jendela. Sungguh dia tidak mengerti harus bagaimana lagi, semakin lama dia semakin merasa tersiksa. Hidupnya diatur, kebebasannya dikekang."Sebenarnya apa yang kau mau dariku? kau menyelamatkanku dari kematian tetapi kau membunuhku secara perlahan" kata Rayna melayangkan protes. Axel tidak bergeming, dengan wajah datarnya dia fokus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melihat expresi Axel yang demikian Rayna memilih untuk diam dan mengalihkan pandangan matanya ke luar menatap jalanan kota yang nampak lengang. Sementara itu di depan Rumah sakit tempat Rayna bekerja Liana menunggu kedatangan Mark."Bagaimana? apa kau sudah mencari dan menanyakan keberadaan Rayna kepada yang dokter yang lain?" tanya Mark pada Liana ketika berada di depan Rumah sakit.Liana menggelengkan kepalanya terlihat putus asa. "Mereka menjawab yang sama, terakhir mereka melihat Rayna keluar rumah sakit menaiki ambulance karena ada kecelakaan" kata Liana kemudian.Mark berkacak pinggang tampak berpikir, kalau mengedarkan seluruh pandangan matanya memeriksa setiap penjuru hingga fokus keatas sebuah tiang dan atap rumah sakit. "cctv, ya cctv, kita perlu memeriksa cctv" ujarnya lalu segera bergegas berlari masuk ke dalam dan diikuti oleh Liana.Mark menuju keruang control room untuk mengecek cctv dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada Rayna. Namun, di tengah lorong dia bertemu dengan Misyel. "Mark, ada apa kau disini? kenapa wajahmu terlihat begitu cemas?" tanya Misyel dengan tersenyum ramah."Ah, dokter. Kapan terakhir kau melihat Rayna?" tanya Mark tanpa menjawab pertanyaan Misyel.Mendengar pertanyaan Mark, Misyel menatapnya dengan bingung, ditambah lagi Mark terlihat cemas dan panik. "Ada apa? Apakah ada yang terjadi pada Rayna?" tanya Misyel ingin tahu."Jadi begini, Rayna belum kembali sejak kemarin dan aku baru menyadarinya. Aku menghubunginya tetapi tidak tersambung. Aku khawatir, terjadi sesuatu padanya" kata Mark menjelaskan.Misyel menutup mulutnya, terkejut. "Astaga, Mark maafkan aku harusnya kemarin aku yang pergi. Namun, karena aku sedang tidak enak badan Rayna yang menggantikanku" ujarnya dengan wajah penuh penyesalan."Its okey, sekarang aku akan mengecek cctv. Mudah-mudahan bisa terlihat, permisi" kata Mark lalu segera beranjak meninggalkan Misyel. ***Mobil Axel berbelok di sebuah rumah mewah dengan halaman yang cukup luas. Rumah berukuran besar dengan bernuansa serba putih itu dihiasi dengan gerbang besi yang berdiri kokoh yang menjulang tinggi."Selamat datang di neraka, dokter" ucap Axel membuat bulu kuduk Rayna tiba-tiba berdiri.Axel segera melepas sabuk pengamannya, lalu turun dan diikuti Rayna yang berdiri mematung dengan mata berkedip-kedip penuh tanda tanya."Mulai sekarang kau akan tinggal disini, nona" kata Axel lalu beranjak melangkah sembari menarik tangan Rayna.Rayna tidak ada pilihan lain, dia tidak ada waktu untuk melayangkan protes. Dia berjalan melangkah mengikuti kemana Axel akan membawanya.Sementara itu di dalam, sudah terjadi kebehohan. Hulya, assisten rumah tangga di rumah ini berlari ke taman belakang."Nyonya, nyonya..." teriaknya sembari lari tergopoh-gopoh."Ada apa Hulya? kau berteriak-teriak seperti orang kebakaran jenggot" jawab seorang perempuan yang berwajah angkuh."Nyonya, itu di luar saya melihat tuan Axel pulang bersama dengan seorang perempuan cantik" lapor Hulya pada Letisya, mama Axel."Perempuan?!" ujarnya lirih sembari mengangkat sebelah alisnya tampak berpikir. Setelah itu, ia bangkit berdiri menuju ke depan untuk melihat dan memastikan apa yang Hulya katakan dengan wajah penasaran.Letisya berjalan dengan langkah kaki lebar dengan rasa penasaran. Natasya kebetulan sedang menuruni tangga melihat dengan tatapan ingin tahu."Ada apa? kenapa mommy berjalan dengan tergesa-gesa begitu?" ujar Tasya lirih. Dia menghentikan langkahnya sebentar berpikir sejenak, lalu kembali melangkah menyusul Letisya.Rayna memasuki rumah mewah itu dengan ragu. Dalam hatinya takjub dengan kemewahan yang ada, tetapi kalah dengan rasa harap-harap cemas apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidupnya setelah ini. Sesampainya di ruang tengah, bertepatan dengan Letisya. Dia melangkah dengan senyum ramah menyambut kedatangan putra kesayangannya."Hei, sayang aku sangat merindukanmu" ujarnya sembari merentangkan kedua tangannya tersenyum hangat. Axel hanya diam berdiri kaku dengan ekspresi datarnya. Sementara Rayna berdiri mematung menatap interaksi antara ibu dan anak yang tampak tidak harmonis dalam pandangannya.Letisya melepaskan pelukannya, pandangan matanya beralih menatap Rayna tajam. "
Axel keluar beranjak keluar bertepatan dengan Letisya. "Kau mau kemana?" tanya Letisya menatap Axel penasaran."Ada sesuatu yang harus aku urus! Kau jaga dia baik-baik, jangan sampai dia keluar tanpa izinku" kata Axel sembari menyerahkan kunci pintu pada Letisya.Letisya mengambil alih kunci dari tangan Axel, seraya menganggukkan kepalanya. Setelah itu Axel beranjak pergi begitu saja dengan wajah dinginnya. Tepat ketika menuruni anak tangga dua langkah dia berhenti kalau berbalik dan berkata, "Bersiaplah, setelah aku kembali kita akan mencari gaun pengantin untuk calon menantumu itu" ujarnya sembari menatap tajam pintu kamarnya."Ah, ide yang bagus. Aku setuju denganmu sayang. abiar aku yang memilihkan gaun yang cocok untuk ratumu itu" katanya tersenyum senang dengan mata berbinar.Letisya berjalan kearah pintu dengan tubuh tegap begitu bangga. Memperlihatkan jika dia adalah sosok yang angkuh dan tidak mau kalah. Dengan sigap dibukanya pintu di hadapannya, lalu melangkah dengan mantap.
Rayna memejamkan matanya sembari berdoa dalam hati agar Hulya tidak menemukannya. Di belakangnya Hulya berjalan dengan mengendap-endap semakin mendekat. Rayna tidak berani melihat kebelakang kecuali hanya terpejam."Bught....!" terdengar bunyi benda jatuh diikuti dengan suara kucing mengalihkan pandangan Hulya ke sumber suara hingga membuatnya akhirnya berbalik badan. 'Astaga, hanya kucing ternyata' gumamnya sembari berjalan meninggalkan tempatnya berada.Beberapa saat kemudian setelah terdiam beberapa detik, Rayna melihat ke belakang lalu terdengar helaan nafas lega dari bibirnya. "Owh, huft untung saja. Terima kasih Tuhan" ujarnya lirih pada diri sendiri sembari mengusap dahinya yang berkeringat.Rayna mencoba untuk berdiri tetapi lututnya agak terasa sakit hingga ia harus berjalan dengan sedikit tertatih. Dengan hati-hati dia mulai berjalan perlahan dengan mengendap-endap, mengedarkan seluruh pandangan matanya dengan awas. Dia harus waspada karena banyak orang di rumah ini berikut
Letisya duduk menghampiri Rayna, lalu hendak mengobati lukanya, tetapi Rayna menjauhkan lututnya enggan. Seolah ia tidak mau disentuh."Biar aku sendiri!" ujarnya sembari merebut obat dari tangan Letisya. Letisya menjauhkan tangannya sehingga Rayna tidak mampu menggapainya. Letisya menatap tajam Rayna, sementara Natasya menatap tidak suka pada Rayna sembari mencebikkan mulutnya dan memutar bola matanya malas."Diam dan menurutlah!! kau seorang dokter bukan? harusnya seorang berpendidikan dan terlatih sepertimu bisa menghormati orang lain!" kata Letisya demagntegas membuat Rayna semakin meradang."Ck, anda berbicara Maslah kehormatan, tetapi anda sendiri apakah mempunyai rasa hormat kepada anak anda sendiri nyonya?" ujar Rayna dengan kesal. Dia merasa tidak terima dengan penuturan Letisya."Dengar, aku akan menghormati orang jika orang itu pantas dihormati" ujarnya dengan melirik sinis lalu memalingkan wajahnya dengan acuh. Rayna tidak ingin lagi melihat wajah Letisya. Mendengar ucapan
Rayna menangis tersedu-sedu melupakan perasaanya, hingga dirinya luruh ke lantai. Bukannya diantidak menerima takdir, hanya saja dia masih butuh waktu untuk menyusun puzzle demi puzzle apa yang sedang Tuhan berikan untuk dirinya. Rayna menumpahkan tangisnya, agar setelah dia keluar dari ruangan ini tidak ada lagi tangisan. Rayna harus kuat, dia tidak boleh lemah. Dia harus menghadapinya dengan tubuh yang tegap, dengan senyuman.Setelah puas meluapkan beban dihatinya, perlahan Rayna berdiri. Dia melihat pantulan dirinya di depan cermin. Dirapikan rambut dan bajunya yang nampak berantakan, lalu dia seka air matanya. Rayna menarik nafas dalam lalu dihembuskannya perlahan hingga beberapa kali. "Dimana dokter itu?" tanya Axel dengan wajah datarnya kepada Calvin. "Ada di dalam, bersama Tante" jawab Calvin.Tanpa menunggu lama Axel berjalan masuk ke dalam. Melihat kedatangan putranya Letisya menghampiri. "Ah, kau sudah datang. Rayna ada di dalam sedang kuminta mencoba gaunnya, tetapi sedari
Rayna menoleh kebelakang memastikan jika Axel tidak mengejarnya. Senyum merekah menghiasi bibirnya, Rayna menghembuskan nafas lega. "Terima kasih Tuhan, akhirnya sebentar lagi aku bisa pulang ke rumah. Kita lihat saja Axel, setelah ini apakah kau masih bisa bebas?" ujarnya lirih dengan percaya diri.Terdengar bunyi dering ponsel, sang pengemudi mengangkat panggilan teleponnya tampak berbicara dengan wajah serius. "Tolong menepi di rumah paling ujung" pinta Rayna dengan wajah sudah tidak sabar.Bertepatan dengan sang sopir menepikan mobilnya, ia memberikan ponselnya kepada Rayna. "Nona, ada yang ingin bicara denganmu" ujarnya sembari menyodorkan ponselnya.Rayna menatap heran pada sopir, ia menatap ponsel dengan bingung. "Hah?! untukku? kau mungkin salah orang" kata Rayna sembari mengerdikkan kedua bahunya."kau dokter Rayna bukan?" tanya sang sopir dengan yakin."ya itu aku, tapi,–" Rayna kembali menatap ragu ponsel.itu tetapi sejurus kemudian ia meraihnya."halo?" tanya Rayna sembari
Mark melajukan mobilnya dengan cepat, berharap bisa segera sampai di kantor Steve. Setibanya di sana, Steve sudah menunggunya di ruangannya."Mark, duduklah," ucap Steve seraya menunjuk ke kursi di depan meja kerjanya.Mark duduk, hatinya berdebar-debar. "Apa yang kamu temukan tentang Rayna, Steve?" tanyanya dengan nada penuh harap.Steve menarik napas dalam-dalam, "Kami menemukan mobil yang diduga digunakan oleh Axel. Tapi sayangnya, Rayna tidak ada di dalamnya."Mark merasa seakan dunia runtuh, "Lalu, Rayna di mana?""Kami masih mencari tahu, Mark. Tapi aku yakin kita akan menemukannya," jawab Steve dengan penuh keyakinan. ***Di tempat lain, Rayna duduk di belakang mobil Axel, menatap keluar jendela dengan rasa takut dan harap. Dia berharap Mark dan Steve bisa menemukannya.Axel, yang duduk di sebelahnya, tersenyum mengejek, "Kau tampak sangat takut, dokter. Apakah kau menyesal telah memilih untuk kembali padaku?"Rayna menatapnya dengan tajam, "Aku tidak pernah menyesal, Axel. Ak
Steve terkejut dengan pengakuan Deris. Dia merasa seperti seluruh dunianya runtuh. Bagaimana mungkin Axel adalah saudara kandungnya?"Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?" tanya Steve dengan suara gemetar.Deris menatapnya dengan rasa menyesal, "Aku melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan ini darimu, Steve. Aku takut akan konsekuensinya, takut akan apa yang akan terjadi pada keluarga kita."Steve merasa campuran emosi yang tak terkendali. Kemarahan, kekecewaan, dan kebingungan berkecamuk di dalam dirinya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Sementara itu, Rayna masih berada dalam bahaya di tangan Axel. Dia merasa semakin terperangkap dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia berharap ada seseorang yang bisa membantunya.Steve memutuskan untuk menghadapi Axel dan mengungkapkan identitasnya sebagai saudara kandung. Dia tahu ini adalah risiko besar, tetapi dia tidak bisa lagi bersembunyi dalam bayang-bayang keluarganya.Dalam pertarungan yang penuh keteganga