Axel keluar beranjak keluar bertepatan dengan Letisya. "Kau mau kemana?" tanya Letisya menatap Axel penasaran."Ada sesuatu yang harus aku urus! Kau jaga dia baik-baik, jangan sampai dia keluar tanpa izinku" kata Axel sembari menyerahkan kunci pintu pada Letisya.Letisya mengambil alih kunci dari tangan Axel, seraya menganggukkan kepalanya. Setelah itu Axel beranjak pergi begitu saja dengan wajah dinginnya. Tepat ketika menuruni anak tangga dua langkah dia berhenti kalau berbalik dan berkata, "Bersiaplah, setelah aku kembali kita akan mencari gaun pengantin untuk calon menantumu itu" ujarnya sembari menatap tajam pintu kamarnya."Ah, ide yang bagus. Aku setuju denganmu sayang. abiar aku yang memilihkan gaun yang cocok untuk ratumu itu" katanya tersenyum senang dengan mata berbinar.Letisya berjalan kearah pintu dengan tubuh tegap begitu bangga. Memperlihatkan jika dia adalah sosok yang angkuh dan tidak mau kalah. Dengan sigap dibukanya pintu di hadapannya, lalu melangkah dengan mantap.
Rayna memejamkan matanya sembari berdoa dalam hati agar Hulya tidak menemukannya. Di belakangnya Hulya berjalan dengan mengendap-endap semakin mendekat. Rayna tidak berani melihat kebelakang kecuali hanya terpejam."Bught....!" terdengar bunyi benda jatuh diikuti dengan suara kucing mengalihkan pandangan Hulya ke sumber suara hingga membuatnya akhirnya berbalik badan. 'Astaga, hanya kucing ternyata' gumamnya sembari berjalan meninggalkan tempatnya berada.Beberapa saat kemudian setelah terdiam beberapa detik, Rayna melihat ke belakang lalu terdengar helaan nafas lega dari bibirnya. "Owh, huft untung saja. Terima kasih Tuhan" ujarnya lirih pada diri sendiri sembari mengusap dahinya yang berkeringat.Rayna mencoba untuk berdiri tetapi lututnya agak terasa sakit hingga ia harus berjalan dengan sedikit tertatih. Dengan hati-hati dia mulai berjalan perlahan dengan mengendap-endap, mengedarkan seluruh pandangan matanya dengan awas. Dia harus waspada karena banyak orang di rumah ini berikut
Letisya duduk menghampiri Rayna, lalu hendak mengobati lukanya, tetapi Rayna menjauhkan lututnya enggan. Seolah ia tidak mau disentuh."Biar aku sendiri!" ujarnya sembari merebut obat dari tangan Letisya. Letisya menjauhkan tangannya sehingga Rayna tidak mampu menggapainya. Letisya menatap tajam Rayna, sementara Natasya menatap tidak suka pada Rayna sembari mencebikkan mulutnya dan memutar bola matanya malas."Diam dan menurutlah!! kau seorang dokter bukan? harusnya seorang berpendidikan dan terlatih sepertimu bisa menghormati orang lain!" kata Letisya demagntegas membuat Rayna semakin meradang."Ck, anda berbicara Maslah kehormatan, tetapi anda sendiri apakah mempunyai rasa hormat kepada anak anda sendiri nyonya?" ujar Rayna dengan kesal. Dia merasa tidak terima dengan penuturan Letisya."Dengar, aku akan menghormati orang jika orang itu pantas dihormati" ujarnya dengan melirik sinis lalu memalingkan wajahnya dengan acuh. Rayna tidak ingin lagi melihat wajah Letisya. Mendengar ucapan
Rayna menangis tersedu-sedu melupakan perasaanya, hingga dirinya luruh ke lantai. Bukannya diantidak menerima takdir, hanya saja dia masih butuh waktu untuk menyusun puzzle demi puzzle apa yang sedang Tuhan berikan untuk dirinya. Rayna menumpahkan tangisnya, agar setelah dia keluar dari ruangan ini tidak ada lagi tangisan. Rayna harus kuat, dia tidak boleh lemah. Dia harus menghadapinya dengan tubuh yang tegap, dengan senyuman.Setelah puas meluapkan beban dihatinya, perlahan Rayna berdiri. Dia melihat pantulan dirinya di depan cermin. Dirapikan rambut dan bajunya yang nampak berantakan, lalu dia seka air matanya. Rayna menarik nafas dalam lalu dihembuskannya perlahan hingga beberapa kali. "Dimana dokter itu?" tanya Axel dengan wajah datarnya kepada Calvin. "Ada di dalam, bersama Tante" jawab Calvin.Tanpa menunggu lama Axel berjalan masuk ke dalam. Melihat kedatangan putranya Letisya menghampiri. "Ah, kau sudah datang. Rayna ada di dalam sedang kuminta mencoba gaunnya, tetapi sedari
Rayna menoleh kebelakang memastikan jika Axel tidak mengejarnya. Senyum merekah menghiasi bibirnya, Rayna menghembuskan nafas lega. "Terima kasih Tuhan, akhirnya sebentar lagi aku bisa pulang ke rumah. Kita lihat saja Axel, setelah ini apakah kau masih bisa bebas?" ujarnya lirih dengan percaya diri.Terdengar bunyi dering ponsel, sang pengemudi mengangkat panggilan teleponnya tampak berbicara dengan wajah serius. "Tolong menepi di rumah paling ujung" pinta Rayna dengan wajah sudah tidak sabar.Bertepatan dengan sang sopir menepikan mobilnya, ia memberikan ponselnya kepada Rayna. "Nona, ada yang ingin bicara denganmu" ujarnya sembari menyodorkan ponselnya.Rayna menatap heran pada sopir, ia menatap ponsel dengan bingung. "Hah?! untukku? kau mungkin salah orang" kata Rayna sembari mengerdikkan kedua bahunya."kau dokter Rayna bukan?" tanya sang sopir dengan yakin."ya itu aku, tapi,–" Rayna kembali menatap ragu ponsel.itu tetapi sejurus kemudian ia meraihnya."halo?" tanya Rayna sembari
Mark melajukan mobilnya dengan cepat, berharap bisa segera sampai di kantor Steve. Setibanya di sana, Steve sudah menunggunya di ruangannya."Mark, duduklah," ucap Steve seraya menunjuk ke kursi di depan meja kerjanya.Mark duduk, hatinya berdebar-debar. "Apa yang kamu temukan tentang Rayna, Steve?" tanyanya dengan nada penuh harap.Steve menarik napas dalam-dalam, "Kami menemukan mobil yang diduga digunakan oleh Axel. Tapi sayangnya, Rayna tidak ada di dalamnya."Mark merasa seakan dunia runtuh, "Lalu, Rayna di mana?""Kami masih mencari tahu, Mark. Tapi aku yakin kita akan menemukannya," jawab Steve dengan penuh keyakinan. ***Di tempat lain, Rayna duduk di belakang mobil Axel, menatap keluar jendela dengan rasa takut dan harap. Dia berharap Mark dan Steve bisa menemukannya.Axel, yang duduk di sebelahnya, tersenyum mengejek, "Kau tampak sangat takut, dokter. Apakah kau menyesal telah memilih untuk kembali padaku?"Rayna menatapnya dengan tajam, "Aku tidak pernah menyesal, Axel. Ak
Steve terkejut dengan pengakuan Deris. Dia merasa seperti seluruh dunianya runtuh. Bagaimana mungkin Axel adalah saudara kandungnya?"Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?" tanya Steve dengan suara gemetar.Deris menatapnya dengan rasa menyesal, "Aku melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan ini darimu, Steve. Aku takut akan konsekuensinya, takut akan apa yang akan terjadi pada keluarga kita."Steve merasa campuran emosi yang tak terkendali. Kemarahan, kekecewaan, dan kebingungan berkecamuk di dalam dirinya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Sementara itu, Rayna masih berada dalam bahaya di tangan Axel. Dia merasa semakin terperangkap dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia berharap ada seseorang yang bisa membantunya.Steve memutuskan untuk menghadapi Axel dan mengungkapkan identitasnya sebagai saudara kandung. Dia tahu ini adalah risiko besar, tetapi dia tidak bisa lagi bersembunyi dalam bayang-bayang keluarganya.Dalam pertarungan yang penuh keteganga
Mereka tiba di rumah wanita tua itu, yang ternyata bernama nenek Rose. Rumahnya kecil namun hangat, dipenuhi dengan dekorasi vintage dan aroma kue yang menggoda. Oma Ira dengan senang hati menyambut mereka dengan teh hangat dan kue homemade."Selamat datang, anak-anak. Aku senang kalian datang," ucap Rose sambil tersenyum ramah."Terima kasih, Nek. Rumahmu begitu indah dan nyaman," kata Rayna sambil melihat-lihat sekeliling.Steve dan Mark juga mengangguk setuju. "Kami merasa seperti memiliki keluarga baru di sini," ucap Steve.Rose tersenyum dan mengelus kepala mereka. "Kalian adalah keluarga bagiku sekarang. Ayo, mari kita duduk dan menikmati teh dan kue ini."Selama beberapa minggu berikutnya, Steve, Mark, dan Rayna menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang mereka cari di rumah nenek Rose. Mereka merasa seperti memiliki keluarga baru, dan Nenek Rose dengan penuh kasih sayang menggantikan peran ibu yang mereka rindukan.Rose adalah sosok yang bijaksana dan penuh pengalaman. Dia serin