Sementara Martin terus memperhatikan Mona terlelap. Dia masih di sini untuk beberapa saat lama. Tidak tahu mengapa, rasanya ingin menatap Mona tidur. Martin heran karena ini tidak biasa dia lakukan pada siapapun.
Sampai-sampai nalurinya mendorong dirinya mencium kening Mona. Martin terkejut tapi tetap dia lakukan. Tidak bohong, jika ada rasa sayang Martin pada Mona sebagai saudara.
"Martin, kamu habis ngapain dari kamar Mona?" Martin keluar menutup pintu berpapasan dengan mamanya.
"Aku hanya bicara dengannya. Sekarang dia sudah tidur," jawab Martin memang jujur dan tenang.
Mama hanya mengangguk berlalu. Dalam hati Martin merasa lega. Kemudian dia mendapat panggilan telepon dari Hana. Martin langsung pergi dari rumah untuk menemui kekasih tercinta meski sudah malam begini.
Dalam tidur Mona, dia bermimpi hal yang sama. Malam di saat Martin datang ke kamarnya lalu kejadian menyeramkan itu terjadi. Kening Mona mengeryit saat tidur, dan dia tampak gelisah dengan keringat dingin mengucur di pelipis.
Lalu mimpinya berganti dengan sosok Tom yang hangat. Mona merasa membaik saat ada Tom di sisinya. Lelaki yang diam-diam dia cintai ini. Namun tidak lama, Tom justru meninggalkannya pergi tanpa sepatah kata. Mona sedih dan dia sendirian.
Kesadaran Mona masih samar. Tapi dia dapat mendengar suara familiar dari kejauhan. Suara panik dari mama dan papahnya. Entah ini jam berapa, Mona segera membuka mata terbangun.
"Martin bagaimana ini, pah?" Mama terdengar cemas. "Kita ke rumah sakit." Papah mengambil mantelnya, tampak bersiap pergi.
"Lalu Mona bagaimana? Ditinggal sendirian di rumah?" tanya mama.
"Mona sudah besar. Martin lebih membutuhkan kita di sana," ujar papah.
Mona heran. Dia lantas mengecek jam. Rupanya jam enam pagi. Sebenarnya ada apa? Mona penasaran dan ingin keluar kamar. Lalu dengan perlahan dia menemui mamanya yang hendak pergi.
"Mama, mau pergi kemana pagi-pagi sekali?" tanya Mona dengan wajah masih mengantuk.
"Martin mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang," jawab mama, bagai petir di siang bolong. Mona terdiam membeku.
"Kami akan ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Mama harap dia tidak terluka parah," imbuh mama. "Kamu tetap di rumah, ya. Mama sudah siapkan sarapan roti, ada susu di kulkas. Kamu sekolah." Mama memberi perintah.
Mona terdiam bimbang. Sejujurnya dia juga khawatir pada keadaan Martin sekarang. Dia ingin mengetahui kondisinya di rumah sakit. Tapi apakah dia harus menunjukkan kepedulian pada pelaku pemerkosaan itu?
***
Mona tidak datang menjenguk Martin di rumah sakit. Dia memilih pergi ke sekolah daripada harus membolos untuk melihat keadaannya. Tapi setelah jam pulang sekolah, Mona tidak bisa mengabaikan hal ini; dia pergi ke rumah sakit naik taksi sebelum pulang ke rumah. Mona tidak membawa apapun untuk menjenguk pasien.
Toh yang menjadi pasien kerabatnya sendiri. Sehingga dia hanya membawa badan yang masih berbalut seragam sekolah serta menggendong ransel. Mona bertekad di sana dia hanya melihatnya saja tanpa ingin basa-basi dengan lelaki itu.
Setelah mendapat informasi dari resepsionis tentang ruang rawat Martin, Mona berjalan di lorong sepi menuju kamar rawat lelaki itu. Begitu menemukan papan nama Martin yang tertempel di plakat pintu kamar, Mona berhenti di sana. Dia berdiam diri tanpa membuka pintu untuk masuk. Rasa enggan menahannya di sini, dan ketika melihat siluet seseorang dari kaca pintu, Mona semakin mematung seolah ada tembok tak kasat mata di depannya.
Siluet itu adalah seorang wanita familiar, Mona pernah bertemu dengannya. Ya, tunangan Martin. Terlihat di dalam sana hanya ada Martin dan Hana. Melihat keberadaan Hana di sisi Martin, entah mengapa ada perasaan kesal sekaligus sedih di benak Mona. Mona mengepalkan tangannya.
"Kenapa aku harus datang ke sini?" gumam Mona, menyesali keputusannya. Martin di dalam ruangan itu tampak berbaring di ranjang, mengobrol dengan Hana yang duduk di sisinya. Wajah ceria Martin saat berbicara dengan Hana, menciptakan rasa aneh di dada Mona. Sebab lelaki itu tidak pernah selembut itu padanya.
Sekarang Mona tahu, sikap lembut Martin hanya ditunjukkan pada Hana. Tapi kenapa bukan pada dirinya juga? Mona juga adiknya kan? Kenapa sikap Martin harus secuek itu pada Mona? Mona merasa ini tidak adil. Akhirnya, dengan langkah yang berat, Mona beranjak dari depan pintu itu.
Dia berjalan menunduk sedih. Lambat laun lantai di bawahnya terlihat samar-samar. Kesadaran Mona mulai menghilang, tapi dengan cepat Mona menggelengkan kepala, berusaha mempertahankan diri. Dia tidak mau pingsan lagi seperti di sekolah waktu itu.
***
Luka Martin tidak parah. Setelah dirawat di rumah sakit selama sehari, lelaki itu kembali ke rumah diantar Hana dengan kondisi baik meski sedikit pincang jalannya. Di dalam rumah dia tidak mendapati orang tuanya, rumah tampak keadaan sepi.
Hana mengantarnya sampai ke dalam kamar. Memastikan Martin istirahat dengan benar. Wanita itu menjadi kekasih yang perhatian dan selalu ada untuk Martin. Bagaimana Martin tidak semakin mencintainya?
"Apa kamu butuh minum? Akan aku ambilkan," kata Hana tapi ditahan Martin yang memegang tangannya.
"Di sini saja, temani aku," kata Martin.
"Jam segini kemana biasanya orang tuamu pergi di weekend ini?" tanya Hana, duduk ditepi kasur.
"Entahlah, mereka sibuk dengan urusan masing-masing," jawab Martin seadanya.
"Aku tidak butuh mereka menyambutku kembali dari rumah sakit. Aku hanya butuh dirimu di sisiku," imbuh Martin seraya menarik tangan Hana mendekat. Hana balas dengan senyuman lalu memeluk Martin, bersandar di dadanya.
"Jadi kau kesepian jika aku tinggal sendirian di rumah ya?" gumam Hana diselingi nada manja, dia mendongak menatap Martin tanpa melepaskan pelukannya.
"Ya. Aku akan kesepian tanpa dirimu," akui Martin.
"Lalu bagaimana dengan adik perempuanmu? Di mana dia?" Tiba-tiba Hana menyinggung tentang Mona, seketika membuat Martin mengeryit tak suka.
"Mungkin pergi dengan pacarnya. Aku tak peduli." Martin acuh. Mau pergi kemana pun Mona, itu bukan urusan penting bagi Martin. Hubungan persaudaraan mereka tidak sedekat yang dibayangkan. Mereka masih orang asing, belum lama kenal.
"Jangan begitu pada adikmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya di luar? Kau sebagai kakak harus lebih menunjukkan kepedulian, Martin," nasihat Hana dengan lembut. "Aku suka lelaki yang penyayang keluarga." Sebaris kalimat ini seolah menegaskan Martin untuk belajar menerima keluarga baru.
Karena Hana tahu selama ini Martin dilahirkan sebagai anak tunggal. Sehingga kedatangan orang baru dalam hidupnya membuat Martin tidak mudah beradaptasi, terlebih dia secara mendadak statusnya berubah menjadi seorang kakak. Martin masih punya sisi ego yang kuat karena tumbuh sebagai anak tunggal.
"Mona sudah dewasa. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Kenapa kamu mempedulikannya?" Martin mendengus. Sebab setiap kali membahas Mona, itu mengingatnya pada kejadian terlarang. Itu cukup mengesalkan.
"Bukankah aku harus dekat dengan keluargamu? Mona calon adik iparku kan?" sahut Hana. Martin tak lagi berbicara, dia menoleh ke jendela.
Pada saat yang sama, Mona melihat mereka dari pintu saat kebetulan lewat. Dari sudut pandang Mona, pasangan itu terlihat sangat dekat. Mona tertunduk muram kemudian berlalu. Dia ke kamar dan menelepon Tom.
"Apa kamu sibuk, Tom?""Kebetulan sedang bermain game di rumah. Kenapa?" Satu tangan Tom memegang ponsel, tangannya yang lain menggerakkan kursor komputer. Dia berada di kamarnya."Bisakah kamu menjemputku sekarang di rumah?" pinta Mona."Huh? Kenapa?" Tom tidak bisa fokus mendengar Mona."Aku bosan di rumah. Ajak aku main game denganmu," bujuk Mona lagi. Dia ingin segera keluar dari rumah ini. Rasanya tidak suka berada satu atap bersama orang yang sedang pacaran di kamar. Mona takut menjadi saksi bisu hal-hal yang mungkin bisa dilakukan Martin dan Hana di sana. Mona tak mau membayangkan hal itu. Dia harus menyegarkan pikirannya."Kalau begitu aku akan ke rumahmu sekarang." Tidak ada tanggapan pasti dari Tom, Mona memutuskan untuk pergi sendirian daripada menunggu dijemput. Mona mengambil kardigan lalu keluar rumah.***"Mona, bangun, Mona." Tom mengguncang tubuh Mona. Gadis itu tertidur di kursi setelah berjam-jam m
"Mama." Mona mendekati mamanya yang sedang duduk di sofa menonton televisi."Ya, sayang?" sahut mamanya.Mona ragu sejenak untuk mengungkapkan perasaan kalut ini pada mama. Dia ingin melaporkan perbuatan bejat Martin. "Bagaimana pendapat mama tentang Martin?" tanya Mona."Dia anak kebanggaan mama selain dirimu. Berhubung karena mama tidak memiliki anak laki-laki. Martin anak yang sangat sopan dan baik. Dia juga punya kemampuan yang bagus dalam bekerja. Sehingga papah memercayainya untuk mengisi posisi direktur di kantor.""Apa mama sangat mencintai papah?" Mona bertanya lagi."Tentu saja. Dia itu laki-laki yang sempurna bagi mama. Sejak bertemu dengannya, hidup mama jauh lebih bahagia. Mama sampai merasa kalau tanpa dirinya, maka mama pasti akan terpuruk dalam penderitaan. Dia seperti pangeran yang sudah ditakdirkan untuk hidup mama walau datang terlambat." Wanita baya itu bicara dengan wajah berseri-seri, terlihat bahag
Suasana sekolah yang awalnya biasa-biasa saja, hingga tiba-tiba terguncang oleh desas-desus mencurigakan. Di tengah kehebohan tersebut, Mona penasaran dan mencari tahu dari sekelompok teman yang sedang bergosip. Saat Mona melirik ke luar jendela kelas, dia melihat Martin, berjalan di halaman menuju gedung sekolah, sementara diperhatikan oleh teman-teman kelas yang terpesona dari jendela kelas.Penampilan dan ketampanan Martin langsung menyihir pandangan para murid perempuan yang terpesona. Mereka mengagumi setiap detail tentangnya, mulai dari cara berjalan hingga penampilannya yang menawan."Dia seperti model!""Apa dia aktor?""Aku harap aku punya kekasih seperti dia."Namun, di tengah gemuruh pujian dari para gadis, Mona merasa terdampar dalam rahasia yang tidak diketahui oleh mereka: Martin adalah kakak tirinya. Saat itu, Mona menyadari bahwa di balik pesonanya, Martin menyimpan rahasia dengan dirinya yang dapat mengubah segalanya.Kendat
Mona tidak dapat menolak ajakan Hana untuk ikut bersamanya fitting gaun pengantin. Tentu saja ada Martin yang juga mengukur baju pengantin sendiri di butik mahal.Kini Hana sedang berada di dalam bilik tirai. Mona dan Martin menunggu wanita itu selesai mencoba gaun pengantin. Hingga tirai dibuka, lantas memperlihatkan sosok cantik Hana berbalut gaun pengantin putih yang mewah berkilauan.Mona ternganga melihat kecantikannya. Hana bagaikan tokoh utama yang akan menikahi pangeran. Terlintas rasa iri di benak Mona sebagai perempuan. Mona merasa hidup Hana sangat beruntung dicintai pria yang akan menikahinya.Sedangkan Mona sendiri berbanding terbalik. Hidup Mona sudah hancur sejak Martin memerkosanya dengan ganas. Membuat Mona seakan tidak bisa melihat masa depan cerah bersama dengan pria lain.Masalahnya, memangnya ada pria yang akan menerima dirinya yang sudah kebobolan? Lebih parah lagi Mona mewanti-wanti dengan takut jika dirinya akan hamil atau mungkin
Mona ketiduran ketika Martin datang menjemputnya ke apartemen Hana. Walau Hana ingin membiarkan Mona tidur di apartemennya, namun karena besok gadis itu harus ke sekolah maka Martin dengan terpaksa menggendongnya pergi.Martin mendudukkan Mona ke kursi samping kemudi. Dia memakaikan sabuk pengaman untuk Mona sebelum menjalankan mobil menuju rumah. Dalam perjalanan, sesekali Martin mencuri pandang ke arah Mona, hanya untuk melihat apakah gadis itu masih tidur atau sudah bangun.Tidur Mona begitu nyenyak. Sampai tiba di rumah pun, Mona tetap belum membuka mata. Martin mencoba membangunkannya, tapi tidak ada respon berarti. Martin pun menghela napas dengan sabar.Mau tak mau dia kembali menggendong Mona keluar dari mobil, lalu melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah menyala lampunya. Sepertinya orang tua mereka sudah pulang. Terlihat mama sedang duduk menonton televisi sambil menyemil di sofa."Martin? Mona kenapa?" Mama bertanya ketika melihat mereka masu
Mona tidak bisa ikut makan malam bersama keluarga kali ini. Rasanya tidak sudi harus duduk semeja dengan Martin. Membuat napsu makannya hilang begitu cepat. Namun tentu Mona tidak memberi alasan yang jujur. Dia hanya mengatakan pada orang tuanya bahwa dia sudah sempat makan bersama teman-teman sebelum pulang sekolah. Alasannya dipercaya dengan mudah. Sehingga kini dia berada di kamar sendirian sambil berbaring di dalam selimut. Mencoba untuk tidur lebih awal, dan selalu berharap kalau semua itu hanya mimpi. Secara tak terduga, pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Terlihat Martin melangkah masuk. "Mona, aku tahu kamu belum tidur. Aku ke sini karena mama menyuruhku untuk menaruh susu untukmu. Katanya kamu tidak akan bisa tidur kalau belum minum susu hangat," kata Martin, tapi tidak digubris. Martin menghela napas. Dia meletakkan gelas susu itu di nakas. Sementara Mona terlihat berbaring memunggungi. "Apa kau masih membenciku?"
Malamnya di villa, setelah semua orang tidur di kamar masing-masing, Martin membuka pintu kamar tempat Mona dan Hana tidur.Dapat terlihat olehnya, kedua wanita itu sudah terlelap karena sekarang sudah dini hari. Martin melangkah perlahan mendekati Mona. Kemudian dia mengangkat Mona dengan hati-hati, dan menggendongnya keluar kamar.Martin memindahkan Mona yang tidur, ke kamarnya. Tidak lupa dia mengunci pintu kamar sebelum membaringkan Mona ke ranjang. Saat itu juga, mata Mona terbuka. Seketika Mona kaget dan beringsut menjauh. Tapi Martin sudah berada di atas tubuhnya."Mau apa kamu!" Mona ketakutan. Martin menyeringai."Coba kamu tebak," kata Martin. Dia duduk di perut, seraya menyatukan kedua tangan Mona ke
Martin, Mona dan Hana jogging di sekitaran pantai. Mereka mengenakan pakaian santai, berlarian kecil menyusuri tapi pantai. Tapi Mona hanya menjadi penonton pasangan itu.Dia hanya memperhatikan di belakang Martin dan Hana. Melihat betapa manisnya mereka sebagai pasangan kekasih. Sampai-sampai membuat Mona mual karena melihat sikap manis Martin. Kesal dan muak, Mona memutuskan untuk meninggalkan mereka tanpa mereka sadari. Dia pergi ke suatu tempat yang sepi, sekedar untuk menikmati liburan ini sendiri.Mona berlarian di pasir pantai yang lembut. Dia terlihat ceria. Angin pantai menerbangkan rambutnya menjadi berantakan."Nona, kamu cantik sekali. Izinkan aku melukismu." Suara seseorang mengalihkan perhatian Mona. Mona dapat melihat peralatan melukis milik pria baya itu."Tapi aku tidak membawa uang sekarang," kata Mona."