Share

7

Sementara Martin terus memperhatikan Mona terlelap. Dia masih di sini untuk beberapa saat lama. Tidak tahu mengapa, rasanya ingin menatap Mona tidur. Martin heran karena ini tidak biasa dia lakukan pada siapapun.

Sampai-sampai nalurinya mendorong dirinya mencium kening Mona. Martin terkejut tapi tetap dia lakukan. Tidak bohong, jika ada rasa sayang Martin pada Mona sebagai saudara.

"Martin, kamu habis ngapain dari kamar Mona?" Martin keluar menutup pintu berpapasan dengan mamanya.

"Aku hanya bicara dengannya. Sekarang dia sudah tidur," jawab Martin memang jujur dan tenang.

Mama hanya mengangguk berlalu. Dalam hati Martin merasa lega. Kemudian dia mendapat panggilan telepon dari Hana. Martin langsung pergi dari rumah untuk menemui kekasih tercinta meski sudah malam begini.

Dalam tidur Mona, dia bermimpi hal yang sama. Malam di saat Martin datang ke kamarnya lalu kejadian menyeramkan itu terjadi. Kening Mona mengeryit saat tidur, dan dia tampak gelisah dengan keringat dingin mengucur di pelipis.

Lalu mimpinya berganti dengan sosok Tom yang hangat. Mona merasa membaik saat ada Tom di sisinya. Lelaki yang diam-diam dia cintai ini. Namun tidak lama, Tom justru meninggalkannya pergi tanpa sepatah kata. Mona sedih dan dia sendirian.

Kesadaran Mona masih samar. Tapi dia dapat mendengar suara familiar dari kejauhan. Suara panik dari mama dan papahnya. Entah ini jam berapa, Mona segera membuka mata terbangun.

"Martin bagaimana ini, pah?" Mama terdengar cemas. "Kita ke rumah sakit." Papah mengambil mantelnya, tampak bersiap pergi.

"Lalu Mona bagaimana? Ditinggal sendirian di rumah?" tanya mama.

"Mona sudah besar. Martin lebih membutuhkan kita di sana," ujar papah.

Mona heran. Dia lantas mengecek jam. Rupanya jam enam pagi. Sebenarnya ada apa? Mona penasaran dan ingin keluar kamar. Lalu dengan perlahan dia menemui mamanya yang hendak pergi.

"Mama, mau pergi kemana pagi-pagi sekali?" tanya Mona dengan wajah masih mengantuk.

"Martin mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang," jawab mama, bagai petir di siang bolong. Mona terdiam membeku.

"Kami akan ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Mama harap dia tidak terluka parah," imbuh mama. "Kamu tetap di rumah, ya. Mama sudah siapkan sarapan roti, ada susu di kulkas. Kamu sekolah." Mama memberi perintah.

Mona terdiam bimbang. Sejujurnya dia juga khawatir pada keadaan Martin sekarang. Dia ingin mengetahui kondisinya di rumah sakit. Tapi apakah dia harus menunjukkan kepedulian pada pelaku pemerkosaan itu?

***

Mona tidak datang menjenguk Martin di rumah sakit. Dia memilih pergi ke sekolah daripada harus membolos untuk melihat keadaannya. Tapi setelah jam pulang sekolah, Mona tidak bisa mengabaikan hal ini; dia pergi ke rumah sakit naik taksi sebelum pulang ke rumah. Mona tidak membawa apapun untuk menjenguk pasien.

Toh yang menjadi pasien kerabatnya sendiri. Sehingga dia hanya membawa badan yang masih berbalut seragam sekolah serta menggendong ransel. Mona bertekad di sana dia hanya melihatnya saja tanpa ingin basa-basi dengan lelaki itu.

Setelah mendapat informasi dari resepsionis tentang ruang rawat Martin, Mona berjalan di lorong sepi menuju kamar rawat lelaki itu. Begitu menemukan papan nama Martin yang tertempel di plakat pintu kamar, Mona berhenti di sana. Dia berdiam diri tanpa membuka pintu untuk masuk. Rasa enggan menahannya di sini, dan ketika melihat siluet seseorang dari kaca pintu, Mona semakin mematung seolah ada tembok tak kasat mata di depannya.

Siluet itu adalah seorang wanita familiar, Mona pernah bertemu dengannya. Ya, tunangan Martin. Terlihat di dalam sana hanya ada Martin dan Hana. Melihat keberadaan Hana di sisi Martin, entah mengapa ada perasaan kesal sekaligus sedih di benak Mona. Mona mengepalkan tangannya.

"Kenapa aku harus datang ke sini?" gumam Mona, menyesali keputusannya. Martin di dalam ruangan itu tampak berbaring di ranjang, mengobrol dengan Hana yang duduk di sisinya. Wajah ceria Martin saat berbicara dengan Hana, menciptakan rasa aneh di dada Mona. Sebab lelaki itu tidak pernah selembut itu padanya.

Sekarang Mona tahu, sikap lembut Martin hanya ditunjukkan pada Hana. Tapi kenapa bukan pada dirinya juga? Mona juga adiknya kan? Kenapa sikap Martin harus secuek itu pada Mona? Mona merasa ini tidak adil. Akhirnya, dengan langkah yang berat, Mona beranjak dari depan pintu itu.

Dia berjalan menunduk sedih. Lambat laun lantai di bawahnya terlihat samar-samar. Kesadaran Mona mulai menghilang, tapi dengan cepat Mona menggelengkan kepala, berusaha mempertahankan diri. Dia tidak mau pingsan lagi seperti di sekolah waktu itu.

***

Luka Martin tidak parah. Setelah dirawat di rumah sakit selama sehari, lelaki itu kembali ke rumah diantar Hana dengan kondisi baik meski sedikit pincang jalannya. Di dalam rumah dia tidak mendapati orang tuanya, rumah tampak keadaan sepi.

Hana mengantarnya sampai ke dalam kamar. Memastikan Martin istirahat dengan benar. Wanita itu menjadi kekasih yang perhatian dan selalu ada untuk Martin. Bagaimana Martin tidak semakin mencintainya?

"Apa kamu butuh minum? Akan aku ambilkan," kata Hana tapi ditahan Martin yang memegang tangannya.

"Di sini saja, temani aku," kata Martin.

"Jam segini kemana biasanya orang tuamu pergi di weekend ini?" tanya Hana, duduk ditepi kasur.

"Entahlah, mereka sibuk dengan urusan masing-masing," jawab Martin seadanya.

"Aku tidak butuh mereka menyambutku kembali dari rumah sakit. Aku hanya butuh dirimu di sisiku," imbuh Martin seraya menarik tangan Hana mendekat. Hana balas dengan senyuman lalu memeluk Martin, bersandar di dadanya.

"Jadi kau kesepian jika aku tinggal sendirian di rumah ya?" gumam Hana diselingi nada manja, dia mendongak menatap Martin tanpa melepaskan pelukannya.

"Ya. Aku akan kesepian tanpa dirimu," akui Martin.

"Lalu bagaimana dengan adik perempuanmu? Di mana dia?" Tiba-tiba Hana menyinggung tentang Mona, seketika membuat Martin mengeryit tak suka.

"Mungkin pergi dengan pacarnya. Aku tak peduli." Martin acuh. Mau pergi kemana pun Mona, itu bukan urusan penting bagi Martin. Hubungan persaudaraan mereka tidak sedekat yang dibayangkan. Mereka masih orang asing, belum lama kenal.

"Jangan begitu pada adikmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya di luar? Kau sebagai kakak harus lebih menunjukkan kepedulian, Martin," nasihat Hana dengan lembut. "Aku suka lelaki yang penyayang keluarga." Sebaris kalimat ini seolah menegaskan Martin untuk belajar menerima keluarga baru.

Karena Hana tahu selama ini Martin dilahirkan sebagai anak tunggal. Sehingga kedatangan orang baru dalam hidupnya membuat Martin tidak mudah beradaptasi, terlebih dia secara mendadak statusnya berubah menjadi seorang kakak. Martin masih punya sisi ego yang kuat karena tumbuh sebagai anak tunggal.

"Mona sudah dewasa. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Kenapa kamu mempedulikannya?" Martin mendengus. Sebab setiap kali membahas Mona, itu mengingatnya pada kejadian terlarang. Itu cukup mengesalkan.

"Bukankah aku harus dekat dengan keluargamu? Mona calon adik iparku kan?" sahut Hana. Martin tak lagi berbicara, dia menoleh ke jendela.

Pada saat yang sama, Mona melihat mereka dari pintu saat kebetulan lewat. Dari sudut pandang Mona, pasangan itu terlihat sangat dekat. Mona tertunduk muram kemudian berlalu. Dia ke kamar dan menelepon Tom.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status