Share

6

"Mona..." Martin tidak berani mendekati gadis itu. Mona sedang kalap. Lebih baik bagi dirinya untuk menuruti perkataan Mona, pikir Martin. Maka lelaki itu meninggalkan Mona di kamar.

"Aaaaaa!!!!" Mona teriak frustasi. Dia lepas kendali. Semua barang di sekitarnya diacak-acak. Teriakannya berhasil membuat mama dan papah memeriksa kamar Mona.

"Mona!" Mereka kaget. Baru pertama kali mereka melihat Mona sehisteris ini. Dia bahkan masih punya tenaga untuk mengamuk setelah seharian tak makan.

"Mona, tenanglah. Mona!" Papah berusaha menenangkannya. Lalu mama berhasil menghentikan amukan Mona dengan memeluknya.

"Mona... Kamu kenapa?"

Ada banyak perkataan yang ingin diucapkan Mona. Namun lidahnya terasa sangat kelu. Hanya air mata yang berbicara. Mona menangis di pelukan mamanya.

***

Jam istirahat di sekolah, Mona tertidur lemas di mejanya. Dia merasa sangat lelah meski tidak melakukan aktivitas apapun.

"Mona, kamu mau susu?" Tom selalu datang menawarkan sesuatu.

Mona bangun. Dia melihat ada kotak susu serta roti. Kedua makanan itu entah mengapa mendadak terlihat sangat menggiurkan walau perutnya tak lapar. "Beli berapa? Aku bayarkan," kata Mona tak menolak.

"Tidak usah. Aku sengaja membeli ini untukmu karena kamu terlihat pucat," kata Tom.

"Baiklah... Terima kasih, Tom." Mona tahu, sosok Tom hampir selalu ada di sisinya apapun yang terjadi. Pemuda itu sahabat terbaik dan satu-satunya yang dimiliki dalam hidup Mona. Tanpa sadar dia menangis haru sambil memakan roti bungkus itu.

"Kamu kenapa nangis?" Tom heran dan tak mengerti dengan perubahan sikap Mona yang drastis. Lantas dia usap air mata Mona sambil menatapnya khawatir.

"Aku merasa sedikit beruntung, Tom. Karena bisa mengenalmu," jujur Mona.

"Mona, kapan pun aku siap mendengar ceritamu." Tom sudah menduga ada sesuatu yang membebani Mona. Maka sebagai sahabat yang baik, Tom takkan pernah meninggalkan Mona sendirian dalam keadaan sulit.

"Aku belum berani untuk cerita pada siapapun, Tom. Aku bingung. Aku tersiksa dengan semua ini..." Mata Mona kembali berkaca-kaca. Pengalaman malam itu seperti mimpi terburuk dalam hidup Mona. Sampai-sampai sulit bagaimana harus menceritakannya.

"Tidak apa-apa, Mona. Jangan dipaksakan. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku akan ada disisimu dan memihakmu, Mona. Karena kamu sahabat terbaikku," ucap Tom begitu manis.

Mona tersenyum. "Ngomong-ngomong, apa yang akan terjadi jika orang tuamu harus bercerai karena kesalahanmu sendiri?" Tiba-tiba dia bertanya demikian, yang membuat Tom berpikir keras untuk memahami maksudnya.

"Kalau itu adalah tentang perselingkuhan di mana ayahku yang berkhianat, aku tentu tidak akan membiarkan mereka tetap bersama. Aku akan laporkan pada ibu. Selebihnya terserah mereka yang memutuskan," jawab Tom.

Jawaban Tom menjadi pertimbangan Mona untuk apakah dia perlu bercerita atau tidak pada lelaki ini. Akhirnya Mona putuskan sekarang. "Minggu depan, aku akan cerita semuanya padamu," pungkas Mona membulatkan tekad.

***

"Martin, papah ingin bicara denganmu," ucap papah serius.

"Bicara apa, pah?"

"Sekarang kamu harus jujur pada papah."

Martin merasa degdegan tiap kali melihat papahnya serius. Pasti ada sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan.

"Apa yang kamu lakukan pada Mona?" Papah tak basa-basi. Pertanyaannya langsung membidik Martin. Membuat lelaki itu berubah gugup.

"A-apa yang papah maksud? Aku tak pernah menjahili Mona," kata Martin tergagap.

Papah menatapnya tajam. Martin jadi susah menelan ludahnya sendiri.

"Kemarin Mona menangis dan terus menyebut-nyebut namamu. Papah yakin terjadi sesuatu di antara kalian. Karena kalau tidak, Mona takkan menangis histeris seperti itu sambil menyebut namamu." Papah tak tinggal diam. Dia meskipun seorang ayah tiri bagi Mona, sikapnya adil sebagai sosok ayah.

Martin gerah. Ruangan ber-AC tidak membuatnya nyaman di sini. Apa yang harus dia lakukan? Menjawab jujur atau mengarang cerita?

Martin meneguk ludah. Dia keringat dingin. Semua ini menjadi rumit. Dia berdebar-debar gugup. Ingatan tentang malam panas itu berputar jelas di otaknya. Martin mengingat semuanya dengan sangat jelas tanpa ada yang terlewati. Walau malam itu tidak diniatkan Martin, hati kecilnya tak henti berbisik bahwa dia lelaki brengsek.

Tapi Martin keras kepala demi mempertahankan hubungan dengan Hana. Cintanya pada Hana sangat tulus. Jika dia membeberkan semua kejadian itu pada ayahnya, kemungkinan besar terjadi kekacauan yang tak terbayangkan. Martin tak mau hal itu akan merusak hubungan lima tahun dengan Hana.

"Papah---" Perkataan Martin berhenti diujung lidah ketika dering ponsel papahnya menginterupsi. Terlihat pria baya di kursi empuk itu memeriksa layar ponsel lalu menjawab panggilan telepon.

Entah apa yang dibicarakan, papahnya beranjak dan bersiap pergi. "Kita lanjutkan di lain waktu," ujar papah. Dia berlalu keluar dari ruangan meninggalkan Martin yang bernapas lega.

Martin juga pergi dari ruangan itu. Dia membuka kamar Mona. Rupanya adik perempuannya tidak ada di dalam. Kecuali di kamar mandi. Martin dapat mendengar suara air dari sana.

Tidak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Martin dapat melihat Mona keluar dengan baju tidur dan rambutnya yang tampak basah. Sontak saja Mona kaget ketika menyadari kehadiran lelaki itu di kamarnya.

"Kamu! Kenapa di sini!" Mona geram. Dia mundur jaga jarak.

Martin mendengus. Tatapannya berubah lembut menatap Mona. Lantas dia maju mendekat. "Mona..." Martin menjeda ucapannya sejenak karena merasa ragu. Lalu berhenti tepat di depan Mona yang sudah terjebak dengan tembok di punggung.

"Mona, aku akui aku telah salah padamu...."

Mona tercengang mendengar pengakuan itu. Apakah dia sedang bermimpi? Mona nyaris tak percaya. Tapi raut wajah Martin terlihat menyesal.

"Aku... Minta maaf padamu," ucap Martin dengan bibirnya sendiri. "Maukah kamu memaafkan aku?" Dia raih kedua tangan Mona sambil bertanya.

"Aku tidak bisa memaafkanmu. Aku benci dirimu selamanya," tegas Mona berani. Matanya menajam, memelotot.

"Aku harus apa agar kamu memaafkan aku?" Martin menghela napas. Sabar. Dia mendadak lembut begini setelah sadar posisinya hampir tersudutkan oleh papah tadi. Jadi sebelum terlambat, Martin menunjukkan itikad baik pada Mona.

"Akui kesalahanmu di depan orang tua dan tunanganmu," tuntut Mona. Dia tentu tidak akan pernah memaafkan Martin, tapi setidaknya lelaki itu harus mengakui pemaksaannya pada mereka. Malam itu telah merusak masa depan Mona untuk selamanya. Sungguh, sangat tidak sebanding memang. Mau bagaimana lagi?

Sekarang gantian Martin yang memelotot. Martin kaget. Secara akal sehat dia tidak mungkin mengungkapkan semua itu pada dua orang yang sangat berharga. Bisa-bisa dirinya diamuk masa lalu ditinggalkan Hana tercinta.

"Apa kamu serius ingin membuat hati orang tua kita hancur?" Martin membujuk.

Sebenarnya Mona tidak mau hal itu sampai terjadi. Dia sangat lega ketika akhirnya mamanya menemukan tambatan hati, setelah sekian lama disakiti ayah kandung sebelum mereka bercerai. Mona tak tega. Hati Mona terlalu baik sampai mengorbankan dirinya.

"Kamu hanya berasalan saja," ketus Mona.

Martin menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bicara. "Baiklah jika kau ingin rencana pernikahanku dengan Hana rusak. Sebelum itu terjadi, aku akan melakukan sesuatu."

Tiba-tiba saja Mona merasakan ada sesuatu yang mendesak tenggorokannya. Dia langsung berlari ke kamar mandi. Mona memuntahkan sedikit makanannya.

"Mona? Kamu masih sakit?" Martin mendadak khawatir. Belakangan ini dia melihat Mona mual sejak dari pingsan di minimarket.

"Aku mual melihatmu. Kamu menjijikan," desis Mona mengusap bibirnya.

Martin tertegun. "Obatnya sudah kamu minum?" tanya lelaki itu mengabaikan kalimat pedas Mona. Mereka belum ke dokter untuk mengecek kondisi kesehatan Mona. Itu karena Mona bersikeras menolak dan hanya ingin minum obat pasaran.

"Obatnya sudah habis tapi aku belum sembuh-sembuh juga gara-gara dirimu," keluh Mona mendelik tajam, sebenarnya dia minum obat secara rutin namun merasa tubuhnya lemas.

Martin reflek mengecek suhu tubuh Mona di dahinya. Terasa tidak panas. Martin pikir Mona baik-baik saja. Bagaimana pun rasa khawatirnya belum hilang. Karena dia merasa seperti ada sesuatu yang janggal dari Mona.

"Kamu jarang makan... Makan pun tidak pernah habis lagi. Kamu yakin baik-baik saja?"

Mona mengangguk. "Sudahlah, pergi saja. Kalau perlu ke neraka," lirih Mona.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status