Share

5

"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.

Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin.

"Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.

Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan.

"Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.

Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini.

"Martin, kenapa kamu marah-marah?" Terdengar suara mama.

"Ini Mona pergi tidak pamit dulu. Aku jadi dimarahi papah," kata Martin mengadu.

"Ya kamu jangan lampiaskan kemarahan kamu ke Mona dong. Kamu udah dewasa tapi tidak bisa kontrol emosi. Bagaimana mau menikah nanti?" Mama membela anak kandungnya, Mona. Kendati demikian perkataannya benar. Martin saja yang gampang emosian.

Tak ingin memperpanjang masalah, Martin pergi dengan kesal. Sementara mamanya mengetuk pintu kamar Mona. "Mona, mama bawa susu kesukaan kamu. Diminum dulu mumpung masih hangat," kata mama.

Entah bagaimana reaksi mama jika saja melihat anak gadisnya sedang menangis di dalam kamar. Beliau tidak boleh sampai tahu keadaannya. Mona langsung menghapus air mata lalu menyiapkan diri agar suaranya tidak terdengar gemetar.

"Taruh saja di depan kamar dulu, Ma! Aku lagi ganti baju!" seru Mona dari dalam kamar. Sudah begitu banyak kebohongan yang dibuat Mona, tapi dia tidak peduli selama rahasia itu tetap menjadi rahasia dirinya seorang.

"Baiklah, mama taruh gelasnya di meja," sahut mama. Lalu wanita baya itu pergi.

Lain hal di sisi Martin, pria itu bukan tanpa alasan marah pada Mona. Karena Martin bersikeras mencari Mona kemana-mana, membuat Hana jadi bete akhirnya mereka bertengkar untuk hal sepele. Yang seharusnya mereka berdua ke toko gaun pengantin, Martin justru mengutamakan pencarian Mona. Alhasil rencana memilih gaun pengantin pun batal.

Martin adalah orang yang amanah. Sekali diberi perintah dari ayahnya, dia akan melakukannya sampai selesai. Sifatnya yang seperti ini memamg bagus tetapi tidak tepat bagi Hana. Karena menurut Hana hilangnya Mona bukan sesuatu yang harus dicari seperti anak kecil.

Sekarang Martin berusaha membujuk Hana agar tidak marah lagi. Dia uring-uringan galau memikirkan Hana yang mengabaikan telepon dan semua darinya. Seolah-olah dia tak bisa hidup tanpa Hana.

***

Sudah seharian ini Mona mengurung diri di kamar sejak semalam. Bahkan segelas susu dari mamanya masih utuh tanpa tersentuh.

Mama jadi khawatir. Dia mencoba membujuknya dengan lembut. Namun tetap saja pintu kamarnya tidak bisa dibuka. Tidak ada cara lain selain didobrak. Tapi tidak, cara itu terlalu memaksa.

"Sayang, Mona..." panggil mamanya. Tidak ada sahutan. Bagaimana tidak khawatir, saat jam sarapan hingga makan malam, gadis itu tidak terlihat batang hidungnya di rumah.

Sementara di dalam kamar yang gelap itu, Mona terlihat masih berbaring tengkurap di kasur. Matanya bengkak. Dia menangis semalaman. Ditambah lagi dia tidak punya napsu makan. Mona malas untuk keluar kamar lalu bertemu dengan Martin. Mona sangat benci pria itu. Saking benci hatinya sampai rasanya dia ingin mencabik-cabik Martin sampai puas.

Kalau bisa, Mona berencana untuk mati kelaparan di kamarnya.

"Mona!" Martin berteriak. Seketika Mona syok.

Brak!

Pintu kamar didobrak. Martin tak tanggung-tanggung untuk memaksa membuka pintu kamar Mona meski dengan cara kasar. Mereka melihat kamar gadis itu gelap. Lalu mama menyalakan lampunya, tapi tak berfungsi.

"Lampunya mati, sepertinya harus ganti bohlam," ujar mama mengecek lampu.

"Mona, jangan buat orang susah karena sikapmu," ketus Martin bernada kasar.

Mona semakin mencengkram seprei lebih kuat sambil bersembunyi di dalam selimut. Dia tidak mau melihat Martin sekarang. Mendengar suaranya saja membuat Mona nyaris mual.

"Martin, ambilkan makanan," suruh mama. Martin menurut pergi dari kamar. Sedangkan mama duduk ditepi kasur. "Mona, ada apa denganmu? Belakangan kamu bersikap aneh. Hari ini kamu tidak keluar untuk makan. Ada apa? Cerita sama mama." Beliau berkata lembut.

"Mama... Aku tidak napsu makan," sahut Mona akhirnya menjawab, meski dengan suara lirih di dalam selimut.

"Bagaimana mungkin kamu tidak makan sedikit pun, Mona? Nanti perutmu sakit. Ayo bangun, mama suapi," bujuk mamanya ketika piring makanan sudah diantarkan Martin.

Martin terus menatap gundukan selimut itu dengan tatapan penuh arti. Ketika Mona luluh keluar dari selimut, mata mereka bertemu pandang sebelum Mona putuskan dengan cepat. Tiba-tiba saja ponsel mama berdering. Hal itu membuat mama melemparkan permintaan pada Martin untuk menyuapi Mona, sementara dirinya harus menjawab telepon penting.

Oh tidak... Mona ingin sekali menahan mamanya di sini. Kalau bisa biar Martin saja yang pergi. Tetapi apa daya, mamanya telah beranjak lebih dulu keluar dari kamar. Sehingga sekarang hanya ada dirinya dan Martin berdua. Terdengar helaan napas dari Martin seolah-olah itu beban baginya.

"Mona, kamu kenapa sebenarnya?"

Seketika Mona mendelik tajam. Seluruh amarahnya tersirat dalam tatapan mata Mona pada Martin. Harusnya Martin tidak bertanya begitu setelah perbuatannya malam itu.

"Makan dulu ya. Kamu harus habiskan makanan yang aku ambilkan untukmu ini," kata Martin. Dia menyendokkan nasi lalu diarahkan pada Mona.

Mona bergeming diam. Dia menolehkan wajah menolak suapan itu. Kesabaran Martin yang setipis tisu pun diuji. Martin menarik napas dalam.

"Mona---"

"Jangan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita," pungkas Mona tegas. Ucapannya jelas menyinggung kejadian tempo hari.

"Mona, sudah kubilang. Lupakan semua itu. Itu hanya kecelakaan saat aku mabuk. Kalau kamu seperti ini terus, apa kamu tidak mau bahagia bersama orang yang kamu cintai?" Martin membela diri sebenarnya, dia juga merayu Mona agar mengabaikan malam terlarang itu seperti angin lalu. Singkatnya, Martin menyepelekan Mona. Dia tak tahu betapa berharganya bagi Mona keperawanan yang dimilikinya.

Sampai detik ini bahkan mungkin selamanya, Mona akan tetap membenci Martin. Ditambah lagi kata-kata yang keluar dari pria itu, benar-benar membuat emosi Mona memuncak. Seketika Mona mengambil ponsel dan langsung melemparkannya ke Martin. Martin yang tak siap akan serangan itu pun mendapat luka di pelipisnya.

"Mona..." erang Martin kesakitan. Martin tak menyangka Mona akan bertindak sekasar ini. Pelipisnya tampak berdarah di sana.

"Pergi dari hadapanku!" usir Mona. Lalu mengambil lampu tidur dan melemparkannya ke arah Martin. Untung Martin sudah menjauh. Sehingga lampu itu menabrak tembok dan pecah di lantai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status