Terlihat Martin berdiri menunggu dengan mengabaikan tatapan kagum para murid perempuan yang melewatinya. Sampai akhirnya Mona lewat dari gerbang sekolah lalu Martin menghampirinya. "Mona, ayo pulang denganku," ajak Martin.
"Aku tidak mau!" ketus Mona. Melihat Martin lagi dan lagi membuat psikisnya terguncang. Tetapi Mona tetap bersikap tegar. Tembok kekuatannya begitu kokoh menjaga kewarasan Mona dari trauma.
"Mona, tidak ada penolakan. Ikut denganku!" Ditariknya tangan Mona. Menyeretnya paksa masuk ke dalam mobil. Lalu Martin duduk di kursi kemudi. Dia melihat Mona diam saja seperti patung. Lantas secara tiba-tiba lelaki itu mendekat, membuat napas Mona tertahan dan dia tegang ketika Martin ternyata bermaksud menarik sabuk pengaman lalu memakaikannya sebelum tancap gas.
"Papa memintaku untuk menjemput kamu. Karena kamu sepertinya belum pulih benar dari sakit. Takut kamu pingsan lagi," ucap Martin. "Kita mampir dulu ke suatu tempat." Dia belokkan stir kemudinya menjauhi arah jalan pulang.
Mona tak bicara. Dia diam sambil menahan pusing hingga Martin menemukan mobil di depan sebuah toko perhiasan. Martin turun, tapi Mona tetap diam di dalam. Lalu pintu di sisinya dibuka, Martin mengajaknya untuk keluar.
"Apa kamu mau di dalam saja? Ayo turun."
Mona menghela napas. Dia melepas sabuk pengaman kemudian keluar dari mobil. Diikutinya langkah Martin memasuki toko perhiasan itu. Begitu masuk, semua yang terlibat di dalam nampak sangat berkilau. Rupanya ini toko perhiasan berlian.
"Mona, sini!" panggil Martin. Mona menghampiri. "Menurutmu cincin model mana yang paling bagus?" tanyanya.
Mona pun memindai pandangannya ke kaca etalase. "Sepertinya yang itu," tunjuk Mona. Kemudian pelayan toko mengambilkan cincin berlian itu untuk ditunjukkan.
"Martin, sayang!" Seseorang memanggil dengan mesra. Tidak terduga, tunangan Martin datang ke sini. Hana mengecup singkat pipi Martin.
"Bukannya kamu ada rapat di jam segini?" tanya Martin.
"Aku batalkan demi memilih cincin kawin bersamamu," jawab wanita bernama Hana itu. Perhatiannya segera teralihkan ketika menyadari kehadiran Mona di sebelah Martin. "Kamu bawa adikmu?" tanya Hana.
"Ya. Dia pulang bersamaku."
"Oh kebetulan aku ke sini pakai taksi. Kita bertiga bisa pulang bersama," sahut Hana senang. Lalu dia menyapa Mona dengan senyuman ramah.
Mona tak menyahut juga tak membalas senyumannya. Hana yang kembali bermesraan dengan Martin: menggelayut manja di lengannya.
"Sayang, bagaimana menurutmu cincin ini?" tanya Martin, menunjukkan cincin pilihan Mona.
"Wah! Modelnya aku suka sekali!" Hana langsung jatuh cinta pada cincin tersebut. "Bagaimana kamu bisa memilih yang secantik ini?" Hana terpukau.
"Cincin itu pilihan Mona," ungkap Martin.
"Wow, Mona... Kamu punya selera yang sangat bagus!" puji Hana tulus. Namun wajah ramahnya dibalas ekspresi datar Mona yang tetap membisu.
Tak perlu waktu lama, mereka menjatuhkan pilihan pada cincin itu. Martin membayarnya lunas menggunakan black cardnya. Kemudian mereka keluar dari toko tersebut sambil membawa cincin kawan, masuk ke dalam mobil di mana Hana duduk di depan sedangkan Mona di belakang.
Wajah Hana berseri-seri. "Aku tak sabar ingin memakai cincin ini," ucapnya senang.
"Jangan dulu dipakai. Biar aku yang akan pakaikan untukmu di hari pernikahan kita," kata Martin sambil menyetir.
Percakapan mesra mereka membuat Mona yang mendengar jadi terasa muak. Dia terabaikan di sini. Mona palingan wajah untuk menatap jalanan dari jendela sambil meremas rok seragam sekolahnya. Tak dipungkiri bahwa hatinya panas melihat mereka berdua. Sampai-sampai membuat kedua matanya pun panas, hampir meluapkan air mata di pelupuk yang berkaca-kaca.
Hana minta Martin untuk berhenti di toko fashion di pinggir jalan. Mereka mampir sejenak di toko branded itu. Sementara Mona menghirup napas dalam-dalam di luar toko. Dia tak mau mengikuti mereka masuk ke dalam. Sadar bahwa dirinya di antara mereka tidak dibutuhkan.
"Mona..." Suara familiar terdengar dari belakang, spontan Mona berbalik badan. Ditemukannya Tom di sini.
"Kamu sedang apa berdiri di sini? Aku kira kamu sudah pulang daritadi" tanya Tom, karena melihat Mona yang masih memakai seragam.
"Tom, bisakah kamu temani aku jalan-jalan sebentar?" pinta Mona.
"Oh tentu saja!" Tom mendadak antusias. "Kamu mau pergi kemana? Aku temani."
Mona tersenyum tipis. Saat itu juga dia pergi bersama Tom tanpa mengabari Martin lagi.
***
"Ini untukmu!" Tom datang menyodorkan es krim cokelat pada Mona. Mereka sedang di taman kota, duduk di bawah pohon sambil memandang lingkungan sekitar yang hijau.
Mona terkejut tak menyangka Tom membelikannya es krim. Dia terima es krim itu dengan mengucapkan terima kasih. Manisnya es krim sedikit menghibur perasaan Mona yang tak keruan.
Mungkin dari luar Mona terlihat normal seperti gadis lainnya, tak ada yang tahu bahwa di dalam dirinya sudah hancur. Mona bertahan demi kebahagiaan mamanya, walau sebenarnya dia diambang batas kesadaran; sesekali berpikir untuk bunuh diri.
"Tom, menurutmu berapa biaya untuk konsultasi dengan psikiater?" tanya Mona.
"Psikiater?" ulang Tom. "Aku tidak tahu pasti. Tapi sepertinya kisaran ratusan ribu untuk sekali konsultasi. Memangnya siapa yang mau konsul?" timpal Tom seraya bertanya.
Mona menggeleng. Dia lanjut memakan es krimnya. Diam-diam Tom perhatikan gadis itu, wajahnya selalu murung sedih.
Tom yakin pasti ada rahasia yang disembunyikan dalam-dalam oleh Mona. Apapun itu rahasianya, Tom tahu dirinya bukan siapa-siapa dan tak berhak tahu. Tapi sungguh, wajah muram itu membuat Tom gelisah. Benak Tom rindu dengan keceriaan Mona.
Tom melihat sekeliling. Tiba-tiba dia mempunyai ide saat melihat badut di sana. "Mona, tunggu di sini sebentar. Aku mau ke toilet." Tom pergi dari tempat itu.
Tidak lama kemudian seorang berkostum katak hijau berdiri tak jauh dari Mona. Dia bermain lempar bola ala sirkus dengan tampak mahir. Tapi beberapa detik berikutnya bola-bola itu tak berhasil ditangkap, dan berakhir berjatuhan ke tanah. Badut katak itu bermaksud untuk memungut bola-bola dari tanah, tetapi dia malah tak sengaja menginjak bola kecil itu hingga membuatnya terpeleset jatuh di depan mata Mona.
Seketika Mona menahan tawa. Pemandangan terpelesetnya katak hijau itu tampak sangat lucu. Akhirnya Mona hanya bisa terkekeh. Lalu di luar dugaan, setangkai mawar tersodorkan untuknya. Mona berhenti tertawa, tetapi senyumannya masih tertahan di wajah itu. Dia menatap katak hijau dengan bingung, sebelum menerima mawar darinya.
Setelah itu si katak pergi. Tom baru kembali. "Maaf agak lama ya?" kata Tom.
"Tidak kok. Kebetulan tadi ada katak lucu sekali. Dia memberiku bunga mawar," ucap Mona. Wajahnya masih tersenyum-senyum, menahan gelak tawa.
Tersirat kelegaan di tatapan Tom yang memperhatikan Mona. "Mona, aku suka melihatmu tersenyum. Jadi aku akan lakukan apapun untuk membuatmu tersenyum lagi," ujar Tom lebih seperti gumaman.
"Hm? Tadi kamu bilang apa?" tanya Mona. Dia mendengar Tom bicara tapi suaranya tidak jelas mengatakan apa.
"Tidak, aku tidak bicara apa-apa." Tom bohong. Dia rahasiakan identitas katak hijau tadi yang merupakan dirinya sendiri. "Sudah hampir malam. Aku antar kamu pulang." Tom mengalihkan topik.
"Tidak perlu, Tom. Aku bisa naik kendaraan umum," tolak Mona dengan halus.
"Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah tiba di rumah," kata Tom.
***
"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin."Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan."Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini."Martin, kenapa kamu marah-marah?" T
"Mona..." Martin tidak berani mendekati gadis itu. Mona sedang kalap. Lebih baik bagi dirinya untuk menuruti perkataan Mona, pikir Martin. Maka lelaki itu meninggalkan Mona di kamar."Aaaaaa!!!!" Mona teriak frustasi. Dia lepas kendali. Semua barang di sekitarnya diacak-acak. Teriakannya berhasil membuat mama dan papah memeriksa kamar Mona."Mona!" Mereka kaget. Baru pertama kali mereka melihat Mona sehisteris ini. Dia bahkan masih punya tenaga untuk mengamuk setelah seharian tak makan."Mona, tenanglah. Mona!" Papah berusaha menenangkannya. Lalu mama berhasil menghentikan amukan Mona dengan memeluknya."Mona... Kamu kenapa?"Ada banyak perkataan yang ingin diucapkan Mona. Namun lidahnya terasa sangat kelu. Hanya air mata yang berbicara. Mona menangis di pelukan mamanya.***Jam istirahat di sekolah, Mona tertidur lemas di mejanya. Dia merasa sangat lelah meski tidak melakukan aktivitas apapun."Mona, kamu mau susu?" Tom selalu datang menawarkan sesuatu.Mona bangun. Dia melihat ada k
Sementara Martin terus memperhatikan Mona terlelap. Dia masih di sini untuk beberapa saat lama. Tidak tahu mengapa, rasanya ingin menatap Mona tidur. Martin heran karena ini tidak biasa dia lakukan pada siapapun. Sampai-sampai nalurinya mendorong dirinya mencium kening Mona. Martin terkejut tapi tetap dia lakukan. Tidak bohong, jika ada rasa sayang Martin pada Mona sebagai saudara. "Martin, kamu habis ngapain dari kamar Mona?" Martin keluar menutup pintu berpapasan dengan mamanya. "Aku hanya bicara dengannya. Sekarang dia sudah tidur," jawab Martin memang jujur dan tenang. Mama hanya mengangguk berlalu. Dalam hati Martin merasa lega. Kemudian dia mendapat panggilan telepon dari Hana. Martin langsung pergi dari rumah untuk menemui kekasih tercinta meski sudah malam begini. Dalam tidur Mona, dia bermimpi hal yang sama. Malam di saat Martin datang ke kamarnya lalu kejadian menyeramkan itu terjadi. Kening Mona mengeryit saat tidur, dan dia tampak gelisah dengan keringat dingin mengucu
"Apa kamu sibuk, Tom?""Kebetulan sedang bermain game di rumah. Kenapa?" Satu tangan Tom memegang ponsel, tangannya yang lain menggerakkan kursor komputer. Dia berada di kamarnya."Bisakah kamu menjemputku sekarang di rumah?" pinta Mona."Huh? Kenapa?" Tom tidak bisa fokus mendengar Mona."Aku bosan di rumah. Ajak aku main game denganmu," bujuk Mona lagi. Dia ingin segera keluar dari rumah ini. Rasanya tidak suka berada satu atap bersama orang yang sedang pacaran di kamar. Mona takut menjadi saksi bisu hal-hal yang mungkin bisa dilakukan Martin dan Hana di sana. Mona tak mau membayangkan hal itu. Dia harus menyegarkan pikirannya."Kalau begitu aku akan ke rumahmu sekarang." Tidak ada tanggapan pasti dari Tom, Mona memutuskan untuk pergi sendirian daripada menunggu dijemput. Mona mengambil kardigan lalu keluar rumah.***"Mona, bangun, Mona." Tom mengguncang tubuh Mona. Gadis itu tertidur di kursi setelah berjam-jam m
"Mama." Mona mendekati mamanya yang sedang duduk di sofa menonton televisi."Ya, sayang?" sahut mamanya.Mona ragu sejenak untuk mengungkapkan perasaan kalut ini pada mama. Dia ingin melaporkan perbuatan bejat Martin. "Bagaimana pendapat mama tentang Martin?" tanya Mona."Dia anak kebanggaan mama selain dirimu. Berhubung karena mama tidak memiliki anak laki-laki. Martin anak yang sangat sopan dan baik. Dia juga punya kemampuan yang bagus dalam bekerja. Sehingga papah memercayainya untuk mengisi posisi direktur di kantor.""Apa mama sangat mencintai papah?" Mona bertanya lagi."Tentu saja. Dia itu laki-laki yang sempurna bagi mama. Sejak bertemu dengannya, hidup mama jauh lebih bahagia. Mama sampai merasa kalau tanpa dirinya, maka mama pasti akan terpuruk dalam penderitaan. Dia seperti pangeran yang sudah ditakdirkan untuk hidup mama walau datang terlambat." Wanita baya itu bicara dengan wajah berseri-seri, terlihat bahag
Suasana sekolah yang awalnya biasa-biasa saja, hingga tiba-tiba terguncang oleh desas-desus mencurigakan. Di tengah kehebohan tersebut, Mona penasaran dan mencari tahu dari sekelompok teman yang sedang bergosip. Saat Mona melirik ke luar jendela kelas, dia melihat Martin, berjalan di halaman menuju gedung sekolah, sementara diperhatikan oleh teman-teman kelas yang terpesona dari jendela kelas.Penampilan dan ketampanan Martin langsung menyihir pandangan para murid perempuan yang terpesona. Mereka mengagumi setiap detail tentangnya, mulai dari cara berjalan hingga penampilannya yang menawan."Dia seperti model!""Apa dia aktor?""Aku harap aku punya kekasih seperti dia."Namun, di tengah gemuruh pujian dari para gadis, Mona merasa terdampar dalam rahasia yang tidak diketahui oleh mereka: Martin adalah kakak tirinya. Saat itu, Mona menyadari bahwa di balik pesonanya, Martin menyimpan rahasia dengan dirinya yang dapat mengubah segalanya.Kendat
Mona tidak dapat menolak ajakan Hana untuk ikut bersamanya fitting gaun pengantin. Tentu saja ada Martin yang juga mengukur baju pengantin sendiri di butik mahal.Kini Hana sedang berada di dalam bilik tirai. Mona dan Martin menunggu wanita itu selesai mencoba gaun pengantin. Hingga tirai dibuka, lantas memperlihatkan sosok cantik Hana berbalut gaun pengantin putih yang mewah berkilauan.Mona ternganga melihat kecantikannya. Hana bagaikan tokoh utama yang akan menikahi pangeran. Terlintas rasa iri di benak Mona sebagai perempuan. Mona merasa hidup Hana sangat beruntung dicintai pria yang akan menikahinya.Sedangkan Mona sendiri berbanding terbalik. Hidup Mona sudah hancur sejak Martin memerkosanya dengan ganas. Membuat Mona seakan tidak bisa melihat masa depan cerah bersama dengan pria lain.Masalahnya, memangnya ada pria yang akan menerima dirinya yang sudah kebobolan? Lebih parah lagi Mona mewanti-wanti dengan takut jika dirinya akan hamil atau mungkin
Mona ketiduran ketika Martin datang menjemputnya ke apartemen Hana. Walau Hana ingin membiarkan Mona tidur di apartemennya, namun karena besok gadis itu harus ke sekolah maka Martin dengan terpaksa menggendongnya pergi.Martin mendudukkan Mona ke kursi samping kemudi. Dia memakaikan sabuk pengaman untuk Mona sebelum menjalankan mobil menuju rumah. Dalam perjalanan, sesekali Martin mencuri pandang ke arah Mona, hanya untuk melihat apakah gadis itu masih tidur atau sudah bangun.Tidur Mona begitu nyenyak. Sampai tiba di rumah pun, Mona tetap belum membuka mata. Martin mencoba membangunkannya, tapi tidak ada respon berarti. Martin pun menghela napas dengan sabar.Mau tak mau dia kembali menggendong Mona keluar dari mobil, lalu melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah menyala lampunya. Sepertinya orang tua mereka sudah pulang. Terlihat mama sedang duduk menonton televisi sambil menyemil di sofa."Martin? Mona kenapa?" Mama bertanya ketika melihat mereka masu