Share

4

Terlihat Martin berdiri menunggu dengan mengabaikan tatapan kagum para murid perempuan yang melewatinya. Sampai akhirnya Mona lewat dari gerbang sekolah lalu Martin menghampirinya. "Mona, ayo pulang denganku," ajak Martin.

"Aku tidak mau!" ketus Mona. Melihat Martin lagi dan lagi membuat psikisnya terguncang. Tetapi Mona tetap bersikap tegar. Tembok kekuatannya begitu kokoh menjaga kewarasan Mona dari trauma.

"Mona, tidak ada penolakan. Ikut denganku!" Ditariknya tangan Mona. Menyeretnya paksa masuk ke dalam mobil. Lalu Martin duduk di kursi kemudi. Dia melihat Mona diam saja seperti patung. Lantas secara tiba-tiba lelaki itu mendekat, membuat napas Mona tertahan dan dia tegang ketika Martin ternyata bermaksud menarik sabuk pengaman lalu memakaikannya sebelum tancap gas.

"Papa memintaku untuk menjemput kamu. Karena kamu sepertinya belum pulih benar dari sakit. Takut kamu pingsan lagi," ucap Martin. "Kita mampir dulu ke suatu tempat." Dia belokkan stir kemudinya menjauhi arah jalan pulang.

Mona tak bicara. Dia diam sambil menahan pusing hingga Martin menemukan mobil di depan sebuah toko perhiasan. Martin turun, tapi Mona tetap diam di dalam. Lalu pintu di sisinya dibuka, Martin mengajaknya untuk keluar.

"Apa kamu mau di dalam saja? Ayo turun."

Mona menghela napas. Dia melepas sabuk pengaman kemudian keluar dari mobil. Diikutinya langkah Martin memasuki toko perhiasan itu. Begitu masuk, semua yang terlibat di dalam nampak sangat berkilau. Rupanya ini toko perhiasan berlian.

"Mona, sini!" panggil Martin. Mona menghampiri. "Menurutmu cincin model mana yang paling bagus?" tanyanya.

Mona pun memindai pandangannya ke kaca etalase. "Sepertinya yang itu," tunjuk Mona. Kemudian pelayan toko mengambilkan cincin berlian itu untuk ditunjukkan.

"Martin, sayang!" Seseorang memanggil dengan mesra. Tidak terduga, tunangan Martin datang ke sini. Hana mengecup singkat pipi Martin.

"Bukannya kamu ada rapat di jam segini?" tanya Martin.

"Aku batalkan demi memilih cincin kawin bersamamu," jawab wanita bernama Hana itu. Perhatiannya segera teralihkan ketika menyadari kehadiran Mona di sebelah Martin. "Kamu bawa adikmu?" tanya Hana.

"Ya. Dia pulang bersamaku."

"Oh kebetulan aku ke sini pakai taksi. Kita bertiga bisa pulang bersama," sahut Hana senang. Lalu dia menyapa Mona dengan senyuman ramah.

Mona tak menyahut juga tak membalas senyumannya. Hana yang kembali bermesraan dengan Martin: menggelayut manja di lengannya.

"Sayang, bagaimana menurutmu cincin ini?" tanya Martin, menunjukkan cincin pilihan Mona.

"Wah! Modelnya aku suka sekali!" Hana langsung jatuh cinta pada cincin tersebut. "Bagaimana kamu bisa memilih yang secantik ini?" Hana terpukau.

"Cincin itu pilihan Mona," ungkap Martin.

"Wow, Mona... Kamu punya selera yang sangat bagus!" puji Hana tulus. Namun wajah ramahnya dibalas ekspresi datar Mona yang tetap membisu.

Tak perlu waktu lama, mereka menjatuhkan pilihan pada cincin itu. Martin membayarnya lunas menggunakan black cardnya. Kemudian mereka keluar dari toko tersebut sambil membawa cincin kawan, masuk ke dalam mobil di mana Hana duduk di depan sedangkan Mona di belakang.

Wajah Hana berseri-seri. "Aku tak sabar ingin memakai cincin ini," ucapnya senang.

"Jangan dulu dipakai. Biar aku yang akan pakaikan untukmu di hari pernikahan kita," kata Martin sambil menyetir.

Percakapan mesra mereka membuat Mona yang mendengar jadi terasa muak. Dia terabaikan di sini. Mona palingan wajah untuk menatap jalanan dari jendela sambil meremas rok seragam sekolahnya. Tak dipungkiri bahwa hatinya panas melihat mereka berdua. Sampai-sampai membuat kedua matanya pun panas, hampir meluapkan air mata di pelupuk yang berkaca-kaca.

Hana minta Martin untuk berhenti di toko fashion di pinggir jalan. Mereka mampir sejenak di toko branded itu. Sementara Mona menghirup napas dalam-dalam di luar toko. Dia tak mau mengikuti mereka masuk ke dalam. Sadar bahwa dirinya di antara mereka tidak dibutuhkan.

"Mona..." Suara familiar terdengar dari belakang, spontan Mona berbalik badan. Ditemukannya Tom di sini.

"Kamu sedang apa berdiri di sini? Aku kira kamu sudah pulang daritadi" tanya Tom, karena melihat Mona yang masih memakai seragam.

"Tom, bisakah kamu temani aku jalan-jalan sebentar?" pinta Mona.

"Oh tentu saja!" Tom mendadak antusias. "Kamu mau pergi kemana? Aku temani."

Mona tersenyum tipis. Saat itu juga dia pergi bersama Tom tanpa mengabari Martin lagi.

***

"Ini untukmu!" Tom datang menyodorkan es krim cokelat pada Mona. Mereka sedang di taman kota, duduk di bawah pohon sambil memandang lingkungan sekitar yang hijau.

Mona terkejut tak menyangka Tom membelikannya es krim. Dia terima es krim itu dengan mengucapkan terima kasih. Manisnya es krim sedikit menghibur perasaan Mona yang tak keruan.

Mungkin dari luar Mona terlihat normal seperti gadis lainnya, tak ada yang tahu bahwa di dalam dirinya sudah hancur. Mona bertahan demi kebahagiaan mamanya, walau sebenarnya dia diambang batas kesadaran; sesekali berpikir untuk bunuh diri.

"Tom, menurutmu berapa biaya untuk konsultasi dengan psikiater?" tanya Mona.

"Psikiater?" ulang Tom. "Aku tidak tahu pasti. Tapi sepertinya kisaran ratusan ribu untuk sekali konsultasi. Memangnya siapa yang mau konsul?" timpal Tom seraya bertanya.

Mona menggeleng. Dia lanjut memakan es krimnya. Diam-diam Tom perhatikan gadis itu, wajahnya selalu murung sedih.

Tom yakin pasti ada rahasia yang disembunyikan dalam-dalam oleh Mona. Apapun itu rahasianya, Tom tahu dirinya bukan siapa-siapa dan tak berhak tahu. Tapi sungguh, wajah muram itu membuat Tom gelisah. Benak Tom rindu dengan keceriaan Mona.

Tom melihat sekeliling. Tiba-tiba dia mempunyai ide saat melihat badut di sana. "Mona, tunggu di sini sebentar. Aku mau ke toilet." Tom pergi dari tempat itu.

Tidak lama kemudian seorang berkostum katak hijau berdiri tak jauh dari Mona. Dia bermain lempar bola ala sirkus dengan tampak mahir. Tapi beberapa detik berikutnya bola-bola itu tak berhasil ditangkap, dan berakhir berjatuhan ke tanah. Badut katak itu bermaksud untuk memungut bola-bola dari tanah, tetapi dia malah tak sengaja menginjak bola kecil itu hingga membuatnya terpeleset jatuh di depan mata Mona.

Seketika Mona menahan tawa. Pemandangan terpelesetnya katak hijau itu tampak sangat lucu. Akhirnya Mona hanya bisa terkekeh. Lalu di luar dugaan, setangkai mawar tersodorkan untuknya. Mona berhenti tertawa, tetapi senyumannya masih tertahan di wajah itu. Dia menatap katak hijau dengan bingung, sebelum menerima mawar darinya.

Setelah itu si katak pergi. Tom baru kembali. "Maaf agak lama ya?" kata Tom.

"Tidak kok. Kebetulan tadi ada katak lucu sekali. Dia memberiku bunga mawar," ucap Mona. Wajahnya masih tersenyum-senyum, menahan gelak tawa.

Tersirat kelegaan di tatapan Tom yang memperhatikan Mona. "Mona, aku suka melihatmu tersenyum. Jadi aku akan lakukan apapun untuk membuatmu tersenyum lagi," ujar Tom lebih seperti gumaman.

"Hm? Tadi kamu bilang apa?" tanya Mona. Dia mendengar Tom bicara tapi suaranya tidak jelas mengatakan apa.

"Tidak, aku tidak bicara apa-apa." Tom bohong. Dia rahasiakan identitas katak hijau tadi yang merupakan dirinya sendiri. "Sudah hampir malam. Aku antar kamu pulang." Tom mengalihkan topik.

"Tidak perlu, Tom. Aku bisa naik kendaraan umum," tolak Mona dengan halus.

"Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah tiba di rumah," kata Tom.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status