Share

3

Saat Martin sedang membekap mulut Mona, mama kembali ke kamar Mona dan berhenti sejenak di pintu, memperhatikan dua anaknya. Namun karena tubuh besar Martin memunggungi posisi Mama berdiri, jadi mama tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Martin pada Mona sekarang.

 "Martin." Barulah saat mama memanggil namanya, tangan Martin lepas dari bibir Mona. Dengan cepat ekspresi wajahnya berubah ramah.

"Ya, ma? Kudengar Mona sakit sampai memanggil dokter ke rumah. Jadi aku ke sini untuk melihat kondisinya." Martin memberi alasan dengan senyum malaikat. Mama sama sekali tidak curiga.

"Di ruang tamu ada kekasihmu datang." Mama memberitahu.

"Hana? Dia kemari?" Gumam Martin, lalu beranjak pergi menuju ruang tamu di lantai satu.

Sudah setengah jam sejak saat itu.

Mona tak penasaran siapa yang bertamu di rumah mereka, tetapi rasa haus tenggorokannya memaksa Mona turun ke dapur saat itu juga.

Di sanalah Mona dapat melihat seorang tamu itu, adalah wanita cantik dengan rambut panjang dan tampak anggun di sofa. Mona tak kenal wanita itu, tapi melihat mereka sangat akrab, maka dipastikan wanita itu adalah tunangan Martin. Lalu terdengar papah dan mama pamit pergi sebentar untuk membeli sesuatu. Mona hanya diam di dalam dapur.

Suasana menjadi hening. Seharusnya di ruang tamu sana hanya ada Martin dan wanita cantik itu. Tetapi Mona tak mendengar suara obrolan mereka lagi dari sini. Apa yang sedang mereka lakukan?

Mona lantas keluar dari dapur sambil membawa segelas air dingin. Mendadak langkahnya membeku diam di pintu dapur, ketika tak sengaja melihat pemandangan intim yang dilakukan Martin bersama wanita itu, bahwa mereka terlihat sedang berciuman mesra di sofa.

Ciuman Martin begitu bersemangat meraup bibir wanita itu alias tunangannya. Kedua tangan Martin tampak berada di pinggang tunangannya, sedangkan wanita itu merangkul pundak Martin sehingga mereka lebih dekat satu sama lain.

Mona jadi gugup. Jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya yang memegang gelas pun gemetaran. Entah mengapa dia seperti ini. Mona sendiri tidak mengerti.

Tanpa sadar gelas di tangannya merosot jatuh sampai menimbulkan suara pecah yang sangat nyaring. Seketika membuat ciuman mereka terhenti dengan terkejut. Martin pergi memeriksa sumber suara, lantas menemukan Mona yang sedang jongkok membereskan kepingan kaca yang berserakan di lantai.

"Mona! Astaga~" Martin menghela napas kasar. Tidak dipungkiri bahwa dia jengkel dengan kecerobohan Mona. Kalau saja tidak ada interupsi suara, mungkin dirinya dan tunangan tercinta masih asik berciuman mesra sekarang.

"Kamu ini hati-hati dong!" Wajahnya mengerut kesal sambil berkacak pinggang. Mona lagi-lagi tak mengabaikan seolah-olah Martin di depannya makhluk tak kasat mata.

"Aw!" pekik Mona, saat jarinya tertusuk pecahan gelas yang tajam. Tampak darah mengalir keluar dari ujung jari gadis itu.

"Kamu jadi terluka kan?" Martin menghela napas lelah. Lelah karena Mona. Dia kemudian berjongkok dan menarik tangan Mona yang terluka. Dilihatnya darah kental itu terus keluar. Lalu secara tak terduga Martin mengemut jari telunjuk itu.

Sontak Mona kaget. Hampir saja membuat jantungnya melompat. Seluruh wajahnya kini merona merah. Karena dapat dia rasakan dengan jelas basah di jarinya di dalam mulut Martin. Namun, kenyataan pahit menampar Mona saat teringat bibir Martin ini bekas berciuman panas dengan wanita lain.

Mona langsung menarik tangannya cepat. Dia bangkit berdiri. "Aku ke apotek dulu untuk beli plester," ucapnya terburu-buru. Namun saat hendak pergi, lengannya ditahan Martin. Lelaki itu mengatakan kalau mereka punya stok plester di kotak obat.

"Ayo duduk." Martin menggiringnya ke sofa ruang tamu, di mana ada Hana yang memperhatikan. Lalu dengan telaten Martin menempelkan plester ke jari Mona yang terluka.

"Kamu beruntung sekali punya kakak yang perhatian, Mona." Hana menyapa dengan senyuman ramah. Wajahnya cantik dan terlihat sangat dewasa. Ini pertama kalinya mereka bertatap muka secara langsung. Karena Hana dan Martin sudah berhubungan sebelum orang tua mereka menikah satu bulan lalu.

"Apa kak Hana sangat mencintai kak Martin?" Mona membalas dengan pertanyaan.

"Tentu saja kami saling mencintai. Kalau tidak, mana mungkin kami berhubungan sebagai kekasih. Terlebih kami akan menikah dalam waktu dekat." Hana bicara disertai rona bahagia di wajahnya, lalu dia mengangkat tangan kirinya. "Lihat, ini cincin pertunangan kami. Minggu lalu Martin melamarku dengan sangat romantis."

Mona menunduk. Hatinya bagai ditusuk ribuan jarum. Ingin rasanya dia mengungkapkan perlakuan bejat Martin pada kekasihnya. Tetapi nuraninya justru menahan keinginan itu. "Aku ikut senang mendengarnya." Senyum palsu terbit di bibir pucat Mona.

"Mona, apa kau sudah makan dan minum obat?" Ucapan Martin menenangi percakapan dua perempuan itu. Isyarat mengusir Mona secara halus. Mona paham itu.

"Ah aku lupa. Aku ke dapur untuk mengambil air minum." Mona bergegas meninggalkan pasangan itu ke dapur. Mona pikir belum ada waktu tepat untuk mengungkapkan kebusukan sikap Martin yang sebenarnya. Dia perlu menyusun rencana matang demi membalaskan perbuatan Martin.

***

"Mona, bagaimana kondismu sekarang? Kamu sudah baik-baik saja kan?" Tom menghampiri Mona yang sedang duduk di bangku kelas saat jam istirahat sekolah.

"Aku merasa lebih baik."

"Kemarin ada tugas. Hari ini harus dikumpulkan tugasnya. Kamu boleh menyalin jawabanku sekarang, Mona," ujar Tom menawarkan sukarela hanya pada Mona seorang. Kalau itu orang lain, Tom takkan mau memberikan contekan, pasti.

"Benarkah Tom?"

Tom mengambil buku tugasnya. Dia berikan pada Mona. Segera gadis itu menyalin semuanya di buku tulis. "Ah iya..." Mona teringat. "Ini tidak boleh punya jawaban yang sama kan? Nanti guru tahu kalau aku atau kamu mencontek..." kata Mona.

"Tidak apa, Mona. Kamu kan bisa merangkai kata-kata dalam tulisan, ubah sedikit saja kata-kata dari jawabanku menjadi versimu." Tom memberikan saran.

Mona mengangguk lantas kembali menulis dengan pulpen. Pada saat itu, sesuatu yang aneh di tangan Mona membuat mata Tom mengerucut penasaran. Tom pun menarik tangan Mona untuk melihat lebih jelas garis luka di sana.

"Luka apa ini? Kemarin tidak ada." Tom bertanya. Dia terkejut mengetahui adanya bekas luka cakar hingga sayatan di sekitar pergelangan tangan, bahkan ada plester di jarinya.

Andai saja Tom tahu bahwa luka itu berasal dari Mona sendiri saat frustasi merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Dia mencakar-cakar badannya di kamar mandi, terkadang menyayat lengannya dengan silet meski tak sampai melukai urat nadinya karena Mona tak berani.

Mona menarik tangan dan menyembunyikannya di bawah meja. Wajahnya tersenyum lemah sambil mengatakan. "Ini hanya luka dari kucing jalanan yang aku temui," ucap Mona. Dia mulai pintar berbohong.

"Oalah..." Tom tampak lega mendengarnya.

Waktu berlalu cepat, kehidupan sekolah Mona berjalan normal hingga bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid bersemangat keluar dari gedung sekolah sambil menggendong tas ransel. Tetapi Mona tidak lagi punya semangat untuk pulang ke rumah sejak kejadian malam itu. Karena baginya jika pulang, pasti akan bertemu lagi dengan Martin.

Oleh karena itu Mona berencana keluyuran lagi dengan alasan ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah jika dia pulang terlambat, hal ini sudah dia lakukan sejak kecelakaan malam itu, akan tetapi melihat sosok di depan gerbang sana membuat langkah Mona berhenti.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status