Share

2

"Papah?"

Pria baya memergoki puterinya terlihat tidak baik. "Wajahmu pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya mencemaskan.

"Aku baik-baik saja, pah. Aku lapar dan ingin makan." Mona memaksakan senyum. Dia sembunyikan pengalaman memilukan itu dari ayah tirinya alias ayah Martin.

"Kebetulan sekali, semua sudah berkumpul untuk makan malam. Ayo ke meja makan." Papah mengajaknya, tanpa memiliki rasa curiga.

Tiba di ruang makan, Mona melihat sudah ada mama dan Martin duduk. Karena meja itu berbentuk persegi dengan empat kursi, dan kebetulan hanya kursi di sebelah Martin yang kosong, membuat Mona enggan duduk di samping pelaku pemerkosaan itu.

"Mona, duduklah." Papahnya menegur karena melihat Mona hanya diam berdiri.

Akhirnya, dengan berat hati, Mona duduk di samping Martin. Tangan di bawah mejanya gemetaran akibat syok yang belum hilang.

Mendadak napsu makannya lenyap, meskipun ada makanan kesukaannya di atas meja. Mona menatap dalam diam pada makanan di piringnya.

"Mona, kenapa tidak dimakan? Itu makanan kesukaan kamu," ujar mamanya. "Oh iya bagaimana demammu? Kamu sudah minum obat?" Beliau hampir lupa kalau puteri kandungnya dikabarkan sedang demam oleh Martin tadi pagi.

Mona menggeleng. "Aku bahkan baru bangun tidur." Jawabannya membulatkan mata sang mama karena kaget. Lalu tatapan mama beralih pada Martin.

"Martin, kenapa kau tidak bangunkan Mona untuk makan dan minum obat?" Nadanya menuduh. Matin mendadak kesal.

"Aku harus pergi bersama kekasihku. Lagipula dia sedang tidur, mana mungkin aku bangunkan, kan?" Martin membela diri. Dirinya sibuk dan punya kehidupan sendiri yang harus diurus, mengapa harus direpotkan dengan mengurus adik tirinya itu?

"Sudahlah, jangan berdebat di meja makan." Papah menyela menengahi dengan santai. "Mona, habiskan makananmu lalu minum obat. Jangan dibiarkan tubuhmu sakit."

Mona diam, dia mulai menyantap makanannya dengan pandangan kosong. Kemudian matanya melirik ke samping, melihat Martin yang menikmati makanannya tanpa rasa bersalah atas perbuatan terlarang itu. Mona geram, meremas sendoknya. "Mama, Papah, ada yang aku beritahukan pada kalian."

Perlahan gerakan mengunyah di mulut Martin melambat. Lelaki itu mendadak tegang mendengar ucapan Mona. Dia lirik Mona dengan tajam.

"Apa itu?" Tanya Papah.

"Apa kalian tidak ingin tahu alasan aku demam tiba-tiba? Itu karena kak Martin."

"Apa maksudmu?" Tanya mama heran. Matanya menatap Martin yang hanya diam. Tetapi tangan Martin di bawah meja langsung menggenggam tangan Mona yang berada di atas paha.

Martin meremas tangan Mona dengan kuat, seolah-olah memperingatkan Mona agar tidak buka suara tentang kejadian semalam. Martin berdebar cemas. "Itu karena dia tidak mau mendengarkanku dan malah asik hujan-hujanan." Martin langsung menyela sebelum Mona bicara lagi, meskipun harus berbohong pada semua orang di sini.

Mona menoleh kaget menatap Martin. Dia tidak menyangka akan mendengar kebohongan dari mulut Martin. "Tidak! Itu tidak benar!" Sanggah Mona, berusaha menepis ucapan dusta itu, dan berniat membongkar keburukan Martin sekarang juga.

"Maaf Mona harusnya saat itu aku lebih memaksamu berteduh, tapi karena kau terlalu asik menikmati hujan aku jadi tidak tega." Ekspresi Martin menatap Mona dengan raut memelas yang polos. Akting yang bagus. Mona terkesan lalu membuang napas dengan kasar, merasa tak habis pikir.

"Mona, lain kali dengarkan kata kakakmu. Ini akibatnya jika kau bertingkah semaumu sendiri." Mamanya malah mendukung ucapan Martin, percaya begitu saja, sampai membuat Mona kehilangan kata-kata untuk membela diri.

"Tapi---"

Martin langsung memotong cepat ucapan Mona dengan mengatakan. "Aku akan berencana menikah dalam waktu dekat. Bagaimana menurut kalian?" Dia mengubah topik, dan seperti yang diinginkannya, pembicaraan di meja makan berubah menjadi pembahasan rencana pernikahan Martin.

"Kapan dan di mana kalian akan menikah nanti?"

"Kami belum menentukan tanggalnya, tapi kami ingin pernikahan berkonsep sederhana di taman rumah."

Mona seakan terabaikan. Gadis itu diam merenung, di saat orang tuanya bersemangat membicarakan topik itu. Jengkel seakan mendekap benak Mona saat ini. Hatinya seperti diikat dengan tali begitu kuat. Mona berdiri tiba-tiba, membuat kursinya hampir terjungkal ke belakang, mengejutkan atensi orang tua seketika. Mereka bingung pada sikap Mona, karena setelahnya gadis itu berlari pergi meninggalkan meja makan dan makanan yang tidak habis di piringnya.

Mona keluar rumah. Dia berjalan tak tentu arah. Tatapannya kosong. Mona merasa tidak peduli jika dirinya ditabrak mobil di jalan. Hingga langkah lunglainya berhenti di depan minimarket. Mona tatap minimarket itu dan merasa ingin makan sesuatu, tapi sadar tadi dia pergi dari rumah tanpa membawa dompet maupun ponsel.

"Mona?" Suara familiar menyapa lamunan Mona.

"Tom?" Gumam Mona.

"Kau kenapa hanya berdiri saja di depan sini? Tidak masuk beli sesuatu?" Tom adalah teman dekat Mona. Dia lelaki berpenampilan biasa saja tapi tergolong tampan wajahnya.

"Aku lupa tidak bawa uang," jawab Mona.

"Bagaimana bisa?" Tom memperhatikan Mona dari atas ke bawah. Tampak normal. "Ayo masuk dan beli sesuatu. Aku yang bayarkan," ajak Tom ramah.

Tidak lama kemudian mereka keluar dari minimaret lalu duduk di depan. Nongkrong sejenak di minimarket untuk menghabiskan jajanan mereka. Mona terlihat hanya mengambil es krim untuk dimakan.

Baru akan dimakannya es krim itu, Mona mengeluh pusing dan sakit kepala. Pandangannya berkunang-kunang lalu terhuyung jatuh. Tom sontak kaget. Dia cemas. Memanggil-manggil nama Mona tapi tidak ada respon. Dia lalu menelepon seseorang.

Tidak lama berselang, sebuah mobil berhenti di depan mereka. Mama Mona keluar dari mobil dan menghampiri mereka dengan raut khawatir. "Mona pingsan, sepertinya dia tidak dalam kondisi baik." Tom menjelaskan.

"Terima kasih Tom, sudah menghubungiku. Dia masih demam jadi seperti ini. Tolong pindahkan Mona ke dalam mobil, Tom." Mama Mona segera membuka pintu belakang mobil sedannya, kemudian Tom menggendong Mona, membaringkan Mona perlahan di jok belakang mobil.

"Sekali lagi terima kasih Tom. Mungkin aku akan memanggil dokter ke rumah untuk memeriksakan kondisinya." Mama Mona kemudian pamit.

***

Mona membuka matanya. Dia melihat mamanya berdiri di samping ranjang, ada seorang dokter juga duduk sedang memeriksakan kondisi Mona. "Mona, kau baik-baik saja?" Tanya mamanya cemas.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya dokter.

"Aku merasa baik-baik saja." Mona menjawab lemah.

"Kamu hanya perlu banyak istirahat. Minum obatnya secara rutin. Makan yang banyak sekali pun kamu tidak bernapsu makan agar cepat sembuh." Dokter menasehati. Kemudian pamit pergi dengan diantar mama Mona sampai ke depan pintu.

Sementara Mona hanya berbaring lemas di ranjang. Wajahnya masih pucat. Pintu kamarnya yang terbuka, tampak muncul Martin di ambang pintu. Martin masuk ke dalam kamarnya.

"Kenapa kau bisa pingsan di luar? Kau membuat mama cemas." Martin bicara pada Mona dengan nada yang sinis. Ekspresinya tidak menunjukkan rasa simpati melihat keadaan Mona sekarang.

Mona marah. Matanya memelototi Martin. Terlihat jelas dari sorot mata Mona betapa dia membenci Martin. "Kak Martin harus bertanggung jawab! Kak Martin yang buat aku jadi begini!" Teriak Mona. Martin terkejut, panik, khawatir orang lain dengar karena pintu kamar dibiarkan terbuka lebar.

Martin lalu duduk di tepi ranjang. "Jangan bicara omong kosong!" Geram Martin merendahkan suaranya. Dibalas seringai miring di wajah Mona.

"Siapa yang bicara omong kosong hah?" Sahut Mona dengan berani. "Kamu! Kamu telah mem--" mulut Mona langsung dibekap telapak tangan Martin. Kalimatnya terpotong dan suara Mona terbungkam.

Martin tersenyum miring. "Jangan sekali-kalinya bicara apapun tentang kita. Apa kau ingin mendapatkan konsekuensinya?" Ancam Martin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status