"Papah?"
Pria baya memergoki puterinya terlihat tidak baik. "Wajahmu pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya mencemaskan.
"Aku baik-baik saja, pah. Aku lapar dan ingin makan." Mona memaksakan senyum. Dia sembunyikan pengalaman memilukan itu dari ayah tirinya alias ayah Martin.
"Kebetulan sekali, semua sudah berkumpul untuk makan malam. Ayo ke meja makan." Papah mengajaknya, tanpa memiliki rasa curiga.
Tiba di ruang makan, Mona melihat sudah ada mama dan Martin duduk. Karena meja itu berbentuk persegi dengan empat kursi, dan kebetulan hanya kursi di sebelah Martin yang kosong, membuat Mona enggan duduk di samping pelaku pemerkosaan itu.
"Mona, duduklah." Papahnya menegur karena melihat Mona hanya diam berdiri.
Akhirnya, dengan berat hati, Mona duduk di samping Martin. Tangan di bawah mejanya gemetaran akibat syok yang belum hilang.
Mendadak napsu makannya lenyap, meskipun ada makanan kesukaannya di atas meja. Mona menatap dalam diam pada makanan di piringnya.
"Mona, kenapa tidak dimakan? Itu makanan kesukaan kamu," ujar mamanya. "Oh iya bagaimana demammu? Kamu sudah minum obat?" Beliau hampir lupa kalau puteri kandungnya dikabarkan sedang demam oleh Martin tadi pagi.
Mona menggeleng. "Aku bahkan baru bangun tidur." Jawabannya membulatkan mata sang mama karena kaget. Lalu tatapan mama beralih pada Martin.
"Martin, kenapa kau tidak bangunkan Mona untuk makan dan minum obat?" Nadanya menuduh. Matin mendadak kesal.
"Aku harus pergi bersama kekasihku. Lagipula dia sedang tidur, mana mungkin aku bangunkan, kan?" Martin membela diri. Dirinya sibuk dan punya kehidupan sendiri yang harus diurus, mengapa harus direpotkan dengan mengurus adik tirinya itu?
"Sudahlah, jangan berdebat di meja makan." Papah menyela menengahi dengan santai. "Mona, habiskan makananmu lalu minum obat. Jangan dibiarkan tubuhmu sakit."
Mona diam, dia mulai menyantap makanannya dengan pandangan kosong. Kemudian matanya melirik ke samping, melihat Martin yang menikmati makanannya tanpa rasa bersalah atas perbuatan terlarang itu. Mona geram, meremas sendoknya. "Mama, Papah, ada yang aku beritahukan pada kalian."
Perlahan gerakan mengunyah di mulut Martin melambat. Lelaki itu mendadak tegang mendengar ucapan Mona. Dia lirik Mona dengan tajam.
"Apa itu?" Tanya Papah.
"Apa kalian tidak ingin tahu alasan aku demam tiba-tiba? Itu karena kak Martin."
"Apa maksudmu?" Tanya mama heran. Matanya menatap Martin yang hanya diam. Tetapi tangan Martin di bawah meja langsung menggenggam tangan Mona yang berada di atas paha.
Martin meremas tangan Mona dengan kuat, seolah-olah memperingatkan Mona agar tidak buka suara tentang kejadian semalam. Martin berdebar cemas. "Itu karena dia tidak mau mendengarkanku dan malah asik hujan-hujanan." Martin langsung menyela sebelum Mona bicara lagi, meskipun harus berbohong pada semua orang di sini.
Mona menoleh kaget menatap Martin. Dia tidak menyangka akan mendengar kebohongan dari mulut Martin. "Tidak! Itu tidak benar!" Sanggah Mona, berusaha menepis ucapan dusta itu, dan berniat membongkar keburukan Martin sekarang juga.
"Maaf Mona harusnya saat itu aku lebih memaksamu berteduh, tapi karena kau terlalu asik menikmati hujan aku jadi tidak tega." Ekspresi Martin menatap Mona dengan raut memelas yang polos. Akting yang bagus. Mona terkesan lalu membuang napas dengan kasar, merasa tak habis pikir.
"Mona, lain kali dengarkan kata kakakmu. Ini akibatnya jika kau bertingkah semaumu sendiri." Mamanya malah mendukung ucapan Martin, percaya begitu saja, sampai membuat Mona kehilangan kata-kata untuk membela diri.
"Tapi---"
Martin langsung memotong cepat ucapan Mona dengan mengatakan. "Aku akan berencana menikah dalam waktu dekat. Bagaimana menurut kalian?" Dia mengubah topik, dan seperti yang diinginkannya, pembicaraan di meja makan berubah menjadi pembahasan rencana pernikahan Martin.
"Kapan dan di mana kalian akan menikah nanti?"
"Kami belum menentukan tanggalnya, tapi kami ingin pernikahan berkonsep sederhana di taman rumah."
Mona seakan terabaikan. Gadis itu diam merenung, di saat orang tuanya bersemangat membicarakan topik itu. Jengkel seakan mendekap benak Mona saat ini. Hatinya seperti diikat dengan tali begitu kuat. Mona berdiri tiba-tiba, membuat kursinya hampir terjungkal ke belakang, mengejutkan atensi orang tua seketika. Mereka bingung pada sikap Mona, karena setelahnya gadis itu berlari pergi meninggalkan meja makan dan makanan yang tidak habis di piringnya.
Mona keluar rumah. Dia berjalan tak tentu arah. Tatapannya kosong. Mona merasa tidak peduli jika dirinya ditabrak mobil di jalan. Hingga langkah lunglainya berhenti di depan minimarket. Mona tatap minimarket itu dan merasa ingin makan sesuatu, tapi sadar tadi dia pergi dari rumah tanpa membawa dompet maupun ponsel.
"Mona?" Suara familiar menyapa lamunan Mona.
"Tom?" Gumam Mona.
"Kau kenapa hanya berdiri saja di depan sini? Tidak masuk beli sesuatu?" Tom adalah teman dekat Mona. Dia lelaki berpenampilan biasa saja tapi tergolong tampan wajahnya.
"Aku lupa tidak bawa uang," jawab Mona.
"Bagaimana bisa?" Tom memperhatikan Mona dari atas ke bawah. Tampak normal. "Ayo masuk dan beli sesuatu. Aku yang bayarkan," ajak Tom ramah.
Tidak lama kemudian mereka keluar dari minimaret lalu duduk di depan. Nongkrong sejenak di minimarket untuk menghabiskan jajanan mereka. Mona terlihat hanya mengambil es krim untuk dimakan.
Baru akan dimakannya es krim itu, Mona mengeluh pusing dan sakit kepala. Pandangannya berkunang-kunang lalu terhuyung jatuh. Tom sontak kaget. Dia cemas. Memanggil-manggil nama Mona tapi tidak ada respon. Dia lalu menelepon seseorang.
Tidak lama berselang, sebuah mobil berhenti di depan mereka. Mama Mona keluar dari mobil dan menghampiri mereka dengan raut khawatir. "Mona pingsan, sepertinya dia tidak dalam kondisi baik." Tom menjelaskan.
"Terima kasih Tom, sudah menghubungiku. Dia masih demam jadi seperti ini. Tolong pindahkan Mona ke dalam mobil, Tom." Mama Mona segera membuka pintu belakang mobil sedannya, kemudian Tom menggendong Mona, membaringkan Mona perlahan di jok belakang mobil.
"Sekali lagi terima kasih Tom. Mungkin aku akan memanggil dokter ke rumah untuk memeriksakan kondisinya." Mama Mona kemudian pamit.
***
Mona membuka matanya. Dia melihat mamanya berdiri di samping ranjang, ada seorang dokter juga duduk sedang memeriksakan kondisi Mona. "Mona, kau baik-baik saja?" Tanya mamanya cemas.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya dokter.
"Aku merasa baik-baik saja." Mona menjawab lemah.
"Kamu hanya perlu banyak istirahat. Minum obatnya secara rutin. Makan yang banyak sekali pun kamu tidak bernapsu makan agar cepat sembuh." Dokter menasehati. Kemudian pamit pergi dengan diantar mama Mona sampai ke depan pintu.
Sementara Mona hanya berbaring lemas di ranjang. Wajahnya masih pucat. Pintu kamarnya yang terbuka, tampak muncul Martin di ambang pintu. Martin masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa kau bisa pingsan di luar? Kau membuat mama cemas." Martin bicara pada Mona dengan nada yang sinis. Ekspresinya tidak menunjukkan rasa simpati melihat keadaan Mona sekarang.
Mona marah. Matanya memelototi Martin. Terlihat jelas dari sorot mata Mona betapa dia membenci Martin. "Kak Martin harus bertanggung jawab! Kak Martin yang buat aku jadi begini!" Teriak Mona. Martin terkejut, panik, khawatir orang lain dengar karena pintu kamar dibiarkan terbuka lebar.
Martin lalu duduk di tepi ranjang. "Jangan bicara omong kosong!" Geram Martin merendahkan suaranya. Dibalas seringai miring di wajah Mona.
"Siapa yang bicara omong kosong hah?" Sahut Mona dengan berani. "Kamu! Kamu telah mem--" mulut Mona langsung dibekap telapak tangan Martin. Kalimatnya terpotong dan suara Mona terbungkam.
Martin tersenyum miring. "Jangan sekali-kalinya bicara apapun tentang kita. Apa kau ingin mendapatkan konsekuensinya?" Ancam Martin.
Saat Martin sedang membekap mulut Mona, mama kembali ke kamar Mona dan berhenti sejenak di pintu, memperhatikan dua anaknya. Namun karena tubuh besar Martin memunggungi posisi Mama berdiri, jadi mama tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Martin pada Mona sekarang. "Martin." Barulah saat mama memanggil namanya, tangan Martin lepas dari bibir Mona. Dengan cepat ekspresi wajahnya berubah ramah."Ya, ma? Kudengar Mona sakit sampai memanggil dokter ke rumah. Jadi aku ke sini untuk melihat kondisinya." Martin memberi alasan dengan senyum malaikat. Mama sama sekali tidak curiga."Di ruang tamu ada kekasihmu datang." Mama memberitahu."Hana? Dia kemari?" Gumam Martin, lalu beranjak pergi menuju ruang tamu di lantai satu.Sudah setengah jam sejak saat itu.Mona tak penasaran siapa yang bertamu di rumah mereka, tetapi rasa haus tenggorokannya memaksa Mona turun ke dapur saat itu juga.Di sanalah Mona dapat melihat seorang tamu itu, adalah wanita cantik dengan rambut panjang dan tampak ang
Terlihat Martin berdiri menunggu dengan mengabaikan tatapan kagum para murid perempuan yang melewatinya. Sampai akhirnya Mona lewat dari gerbang sekolah lalu Martin menghampirinya. "Mona, ayo pulang denganku," ajak Martin."Aku tidak mau!" ketus Mona. Melihat Martin lagi dan lagi membuat psikisnya terguncang. Tetapi Mona tetap bersikap tegar. Tembok kekuatannya begitu kokoh menjaga kewarasan Mona dari trauma."Mona, tidak ada penolakan. Ikut denganku!" Ditariknya tangan Mona. Menyeretnya paksa masuk ke dalam mobil. Lalu Martin duduk di kursi kemudi. Dia melihat Mona diam saja seperti patung. Lantas secara tiba-tiba lelaki itu mendekat, membuat napas Mona tertahan dan dia tegang ketika Martin ternyata bermaksud menarik sabuk pengaman lalu memakaikannya sebelum tancap gas."Papa memintaku untuk menjemput kamu. Karena kamu sepertinya belum pulih benar dari sakit. Takut kamu pingsan lagi," ucap Martin. "Kita mampir dulu ke suatu tempat." Dia belokkan stir kemudinya menjauhi arah jalan pul
"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin."Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan."Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini."Martin, kenapa kamu marah-marah?" T
"Mona..." Martin tidak berani mendekati gadis itu. Mona sedang kalap. Lebih baik bagi dirinya untuk menuruti perkataan Mona, pikir Martin. Maka lelaki itu meninggalkan Mona di kamar."Aaaaaa!!!!" Mona teriak frustasi. Dia lepas kendali. Semua barang di sekitarnya diacak-acak. Teriakannya berhasil membuat mama dan papah memeriksa kamar Mona."Mona!" Mereka kaget. Baru pertama kali mereka melihat Mona sehisteris ini. Dia bahkan masih punya tenaga untuk mengamuk setelah seharian tak makan."Mona, tenanglah. Mona!" Papah berusaha menenangkannya. Lalu mama berhasil menghentikan amukan Mona dengan memeluknya."Mona... Kamu kenapa?"Ada banyak perkataan yang ingin diucapkan Mona. Namun lidahnya terasa sangat kelu. Hanya air mata yang berbicara. Mona menangis di pelukan mamanya.***Jam istirahat di sekolah, Mona tertidur lemas di mejanya. Dia merasa sangat lelah meski tidak melakukan aktivitas apapun."Mona, kamu mau susu?" Tom selalu datang menawarkan sesuatu.Mona bangun. Dia melihat ada k
Sementara Martin terus memperhatikan Mona terlelap. Dia masih di sini untuk beberapa saat lama. Tidak tahu mengapa, rasanya ingin menatap Mona tidur. Martin heran karena ini tidak biasa dia lakukan pada siapapun. Sampai-sampai nalurinya mendorong dirinya mencium kening Mona. Martin terkejut tapi tetap dia lakukan. Tidak bohong, jika ada rasa sayang Martin pada Mona sebagai saudara. "Martin, kamu habis ngapain dari kamar Mona?" Martin keluar menutup pintu berpapasan dengan mamanya. "Aku hanya bicara dengannya. Sekarang dia sudah tidur," jawab Martin memang jujur dan tenang. Mama hanya mengangguk berlalu. Dalam hati Martin merasa lega. Kemudian dia mendapat panggilan telepon dari Hana. Martin langsung pergi dari rumah untuk menemui kekasih tercinta meski sudah malam begini. Dalam tidur Mona, dia bermimpi hal yang sama. Malam di saat Martin datang ke kamarnya lalu kejadian menyeramkan itu terjadi. Kening Mona mengeryit saat tidur, dan dia tampak gelisah dengan keringat dingin mengucu
"Apa kamu sibuk, Tom?""Kebetulan sedang bermain game di rumah. Kenapa?" Satu tangan Tom memegang ponsel, tangannya yang lain menggerakkan kursor komputer. Dia berada di kamarnya."Bisakah kamu menjemputku sekarang di rumah?" pinta Mona."Huh? Kenapa?" Tom tidak bisa fokus mendengar Mona."Aku bosan di rumah. Ajak aku main game denganmu," bujuk Mona lagi. Dia ingin segera keluar dari rumah ini. Rasanya tidak suka berada satu atap bersama orang yang sedang pacaran di kamar. Mona takut menjadi saksi bisu hal-hal yang mungkin bisa dilakukan Martin dan Hana di sana. Mona tak mau membayangkan hal itu. Dia harus menyegarkan pikirannya."Kalau begitu aku akan ke rumahmu sekarang." Tidak ada tanggapan pasti dari Tom, Mona memutuskan untuk pergi sendirian daripada menunggu dijemput. Mona mengambil kardigan lalu keluar rumah.***"Mona, bangun, Mona." Tom mengguncang tubuh Mona. Gadis itu tertidur di kursi setelah berjam-jam m
"Mama." Mona mendekati mamanya yang sedang duduk di sofa menonton televisi."Ya, sayang?" sahut mamanya.Mona ragu sejenak untuk mengungkapkan perasaan kalut ini pada mama. Dia ingin melaporkan perbuatan bejat Martin. "Bagaimana pendapat mama tentang Martin?" tanya Mona."Dia anak kebanggaan mama selain dirimu. Berhubung karena mama tidak memiliki anak laki-laki. Martin anak yang sangat sopan dan baik. Dia juga punya kemampuan yang bagus dalam bekerja. Sehingga papah memercayainya untuk mengisi posisi direktur di kantor.""Apa mama sangat mencintai papah?" Mona bertanya lagi."Tentu saja. Dia itu laki-laki yang sempurna bagi mama. Sejak bertemu dengannya, hidup mama jauh lebih bahagia. Mama sampai merasa kalau tanpa dirinya, maka mama pasti akan terpuruk dalam penderitaan. Dia seperti pangeran yang sudah ditakdirkan untuk hidup mama walau datang terlambat." Wanita baya itu bicara dengan wajah berseri-seri, terlihat bahag
Suasana sekolah yang awalnya biasa-biasa saja, hingga tiba-tiba terguncang oleh desas-desus mencurigakan. Di tengah kehebohan tersebut, Mona penasaran dan mencari tahu dari sekelompok teman yang sedang bergosip. Saat Mona melirik ke luar jendela kelas, dia melihat Martin, berjalan di halaman menuju gedung sekolah, sementara diperhatikan oleh teman-teman kelas yang terpesona dari jendela kelas.Penampilan dan ketampanan Martin langsung menyihir pandangan para murid perempuan yang terpesona. Mereka mengagumi setiap detail tentangnya, mulai dari cara berjalan hingga penampilannya yang menawan."Dia seperti model!""Apa dia aktor?""Aku harap aku punya kekasih seperti dia."Namun, di tengah gemuruh pujian dari para gadis, Mona merasa terdampar dalam rahasia yang tidak diketahui oleh mereka: Martin adalah kakak tirinya. Saat itu, Mona menyadari bahwa di balik pesonanya, Martin menyimpan rahasia dengan dirinya yang dapat mengubah segalanya.Kendat