Aku berdecak kesal saat Dito menaruh banyak makanan di atas meja. "Kamu yakin Dit, aku harus makan sebanyak ini?" tanyaku dengan nada kesal. Bagaimana tidak, ia menaruh banyak junk food dan makan penuh karbohidrat meski aku sudah makan.
Dito mengangguk tanpa ragu. "Kamu gak gendut-gendut, Beib! Kamu pasti cacingan!" cibirnya langsung tanpa tedeng aling-aling. Aku melotot. Mr.Berlebihan benar-benar nyebelin, tapi aku cinta dan setengah gila dengan segala risiko yang ada. "Aku mungkin cacingan, karena cacingnya yang obesitas kalau setiap hari kamu bawain makanan sebanyak ini!" sungutku sambil membuka bungkus chicken wing dan mengunyah isinya."Kalau gitu aku beliin obat cacing dulu!" Dito segera berlalu dari kamarku.Aku mendesah lelah. Saking cintanya, kadang-kadang Dito bisa berlebihan untuk menunjukkan bahwa ia sangat mencintaiku. Tapi terkadang sikap itu membuatku merasa tidak nyaman karena aku tidak bisa membalasnya dengan cinta yang sama besar dengan apa yang aku terima darinya. Aku mencocol chicken wing ke saus tomat, mayones seraya menggigitnya kuat-kuat. Aku kesal sekali. Aku tidak cacingan dan rajin minum obat cacing enam bulan sekali sejak kecil. Ini terbukti kalau tinggi badanku tidak stunting. Tapi pekerjaan yang mengharuskan wira-wiri mengikuti konsumen dan bergerak dengan lincah membuat semua makanan yang aku telan hilang sia-sia.Aku Anna Marianne, wanita berani sekaligus keras kepala yang tinggal di sebuah indekost, sedangkan Dito adalah kekasihku sejak aku bekerja di toko bangunan dan interior di Jalan Ahmad Yani.Aku mengembuskan napas. Ku buang tulang ayam dan kotaknya ke dalam tong sampah, lalu menarik spaghetti bolognese dan menyantapnya dengan suka tak suka, mau tak mau. Aku kenyang sekali, sekaligus muak dengan makanan ini.Dito adalah laki-laki berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan tetap, dan keluarganya memiliki kedai makanan cepat saji. Jadilah aku dan lambung ku menjadi sasaran empuk obsesinya. Terlebih semesta benar-benar mendukungnya.Sungguh, sekujur tubuhku akan terasa berat setelah memakan semua ini. Tapi dasarnya aku yang tidak bisa gemuk, mau berapa banyak jumlah makanan yang aku makan sama saja hasilnya."Beib..." Aku mendongak dan mengulum senyum. Dito datang, bawa sekantong plastik berisi. Obat cacing, vitamin, dan pengaman.Aku membuang napas seraya mengunyah spaghetti sampai habis dan aku benar-benar yakin lambungku pasrah menerima ini semua---karena terbiasa."Beib, aku udah selesai!" Aku membuang styrofoam dan cuci tangan di wastafel. Dito mengikutiku, menarik pinggangku seraya mengetatkan pelukannya. Bibirnya dengan lembut mencium tengkuk leherku yang terbuka.Aku tersenyum masam, sudah menduga apa maunya. Memadu kasih."Gak, Dit!" kataku menolak pelan.Dito menggerutu pelan, memutar tubuhku untuk melihat lebih baik. Dito membelai bibirku dengan ibu jarinya. "Yakin, enggak?" Dito menyerukkan hidungnya ke hidungku. "Aku cinta, Anna."Sementara kami bertatapan, Dito menempelkan bibirnya di bibirku. Dengan perlahan, ia melumat bibirku. Aku tersenyum di sela-sela lidahnya yang mendesak mulutku untuk terbuka lebar.Aku membalas ciumannya seraya menyusurkan jemariku di rambutnya seraya menahan kepalanya. Dito memperdalam ciumannya saat kami larut dalam ciuman yang mampu melupakan masalah yang kami miliki."Anna." bisiknya lembut di telingaku sebelum membelai perlahan dengan lidahnya. Gelitik gairah menjalari tubuhku ketika ia menyentuh-sentuhan lain kulitku. Napasnya keras dan cepat. Aku juga bisa merasakan jantungnya berdetak kencang di telingaku yang menempel di dadanya."Dit..." Aku mendongkak untuk menatap, aku melihat mata gelapnya, senyum sensual yang slalu membuatku tergoda. Dito tersenyum mesum seraya mencium keningku.Aku memeluknya erat dan tersenyum manis. Aku susah mengimajinasikan apa yang terjadi jika Dito pergi dariku. Hubungan ini memang lebih dari keuntungan dan kebutuhan bersama. Dito memberi pujian dan aku wanita yang dicintainya. Aku tidak mengerti apa ini bisa di bilang murni atas dasar cinta atau simbiosis mutualisme. Tapi demikianlah memang akibat nyata paling menyenangkan dari kekuasaan laki-laki beruang---mendapatkan apa yang diinginkan, tanpa memikirkan masa depan yang lain."Mandi, Beib! Aku akan mengajakmu ketemu mama." kata Dito, memilih mengalah karena penolakan ku.Aku mengerucutkan bibir. Ada hawa angker jika aku masuk rumahnya. Bukan karena rumahnya sepi dan berhantu, tapi karena ibunya galak! Bu Susanti tidak pernah menyukaiku, karena stigma masyarakat kelas atas yang masih begitu melekat di keluarganya.'Kaya harus menikah dengan si kaya untuk menjamin masa depan dan keturunan, begitu sebaliknya.'"Anna, kamu baik-baik saja?" Dito memperhatikan wajahku lekat-lekat.Aku berusaha tersenyum. Dito sendiri pasti juga menderita karena masih mempertahankan aku di antara gempuran ketidaksukaan ibunya kepadaku."Aku baik-baik saja, biar aku mandi dulu!" jawabku seraya beringsut."Tapi wajahmu gak terlihat bahagia?" sahutnya.Sambil menarik napas dalam-dalam, aku memejamkan mata, mencoba menemukan solusi yang untuk mencegah Dito merasa cemas. Dito mencintaiku, sungguh aku sangat mengetahui itu.Tapi masalahnya adalah aku. Aku mengacaukannya dengan cinta ini.Telapak tanganku dingin dan aku justru ingin menangis sekarang.Dito mendekati, tangannya terulur untuk menangkup wajahku dan melotot. "Mandi atau perlu aku mandiin?" katanya tegas.Aku berdecak, tumitku berputar, ku ambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. Aku butuh waktu lama untuk menemukan kembali keberanian untuk menemui Bu Susanti.Dito Andreas Dharmasyah keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk di atas betis. Aku menyesal melihatnya seperti itu, ia menjadi titik kulminasi pencapaian seksual ku selama ini. "Beib, kedip dong!" serunya dengan lantang. Ah, aku menunduk dan menelengkan kepalaku. Harusnya aku sudah biasa melihatnya seperti ini. Segar, basah sekaligus menggoda. "Kenapa?" Dito menangkup wajahku yang tersipu malu. "Biasa! Hanya satu yang kurang dengan hubungan kita." Aku tersenyum masam. Dito yang paham dengan maksudku, langsung mencium keningku lembut. "Sabar, Anna! Biarkan aku berpakaian dulu." *** Aku menggoyangkan lengan Dito. Laki-laki ini pasti paham dengan wajahku yang pias dan takut. Bu Susanti tidak pernah menyukaiku sementara putranya begitu memujaku. Keadaan ini benar-benar memusingkan kepala. Aku gamang. Dito mengulum senyum, tangannya menggandengku sebelum masuk ke dalam rumah orang tuanya. Aku gelisah, kerap kali aku mendapati tatapan sinis dari ibunya. Kadang pula
Aku terus terisak saat Dito memakiku dengan kata-kata kasar di dalam mobil.Dia bukan Dito yang ku kenal. Bukan pula ini yang harus ia lakukan, ia hanya perlu menenangkan diri ku sebentar agar aku bisa tenang. Dito dengan ringannya malah membuatku semakin sadar bahwa ini semua percuma.Kepalaku dipenuhi riuh yang begitu ribut. Amarahku menyalak begitu saja saat Dito masih saja mencibirku bahwa aku orang yang tidak sabaran. Aku memaki diri ku sendiri dalam hati untuk memberanikan diri mengatakan unek-unekku selama berhubungan dengannya."Terus mau sampai kapan hubungan kita akan seperti ini? Sampai aku tua, dan kamu akan meninggalkanku saat sariku sudah habis?" kataku sambil menusuk-nusuk dadanya. "Apa kamu gak mikirin aku, mikirin kondisiku! Setiap hari kamu menjejaliku dengan semua keinginanmu. Apa kamu hanya akan terus begini dengan obsesimu sendiri , Dit!" Dito membuang muka, seakan tak acuh denganku."Lihat aku, Dit! Lihat aku! Betapapun aku mengharapkan pernikahan bersamamu, ak
Aku memberengut. Suasana hatiku masih kacau sejak Dito berpamitan agar aku tidak perlu menunggunya datang, aku benar-benar khawatir dia tidak kembali untuk menemuiku lagi. Aku termenung sambil mengingat masa-masa indah dan pahit bersamanya dengan sedikit penyesalan. Apalagi setelah membayangkan perbedaan antara aku dan dia, dan semua stigma kurang ajar yang aku lakukan, aku yakin Bu Susanti sedang memarahi Dito sekarang. Menjelek-jelekkan aku dan meminta Dito meninggalkan ku. Kini, melihat nasibku yang akan terjadi di kemudian hari, semua terasa jauh lebih buruk. "Cemberut aja, Ann! Kenapa, lo?" Cary, teman dari kampung menatapku sambil terheran-heran. Aku mencebik. "Aku sudah bilang sama ibunya Dito kalau anaknya sudah kawin sama aku, Car!" Cary mengumpat seraya menyilangkan jari telunjuknya di kening. Menganggap ku sinting. "Setan yang nyamber lo kayaknya setan gila, Ann! Punya keberanian dari mana lo sampe bilang begitu sama ibunya Dito! Kalau dia jantungan gimana, lo juga y
Hari demi hari berlalu. Aku meringkuk di atas pembaringan seperti anjing resah yang menunggu majikan pulang. Aku kesal sekaligus tak berdaya mendapati bahwa baru beberapa hari berlalu, namun rasanya sudah berabad-abad aku melalui hari-hari setelah pengusiran kemarin. Aku seperti terperosok ke dalam parit berlumpur yang membuat kakiku terjerat akar teratai dan tidak memiliki cara untuk meminta bantuan."Ya elah malah gini amat lo, Ann! Semangat kek, terus ke kantor polisi untuk ngelaporin Bu Susanti atas tindakan tidak menyenangkan dan penyerangan. Itu ada pasalnya tau." ucap Cary, ia menaruh kopi yang beraroma nangka, aroma gorengan juga terhirup oleh hidungku. Aku beranjak dengan malas. "Beneran ada pasalnya? Aku gak tahu pasal-pasal hukum." akuku jujur. Cary mengeluarkan sebatang rokok sebelum menyesapnya. Kepulan asap secepatnya ruang kamar, membuat dadaku sesak tak keruan. "Makanya jangan cuma pinter gaya di atas ranjang! Harus pinter dengan hukum-hukum yang berlaku di negara in
Mobil ini masih terparkir di pelataran rumah sakit saat aku bernyata siapa yang sakit.Dito mengubah posisi jok mobilnya menjadi lebih bersandar, ia menelengkan kepala untuk menatapku."Aku mencoba untuk mengerti kemauan mama, A! Selama aku pergi, aku hanya menuruti semua keinginan mama untuk melupakanmu! Tapi aku---aku gak bisa, Ann! Aku gak bisa ngelupain kamu."Dito memejamkan mata dan kepalanya ditundukkan, dadanya mengembang saat ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.Ada yang tidak beres, aku kira begitu. Karena biasanya Dito sama sekali tidak pernah sefrustasi ini jika kita bertengkar pun.Namun masalah ini, teramat berat bagi kita berdua. Terlebih orangtuanya.Aku mengelus pundaknya pelan. Aku merasa akulah penyumbang terbesar dalam masalah ini.Dito menahan tanganku, ia menggenggamnya dengan segala kerinduan. Rasa hangat berpendar di telapak tangan kami berdua. Aku me
"Anna Marianne!" Aku tersenyum lebar dan mengambil surat perjanjian kontrak pekerjaan dengan kerajaan bisnis Jaff Corporations. "Diteliti dulu, kak!" ujar senior di perusahaan ini. "Baik, kak!" Aku tersenyum ramah sebelum meneliti berkas-berkas yang berada di atas meja hitam berkilau ini. Sudah tiga tahun aku bersembunyi di kota metropolis ini. Menjadi introvert yang mengandalkan uang dari hasil novel-novel online yang aku buat dengan nama pena, MarryAnne. Aku harus menyambung hidupku sendiri setelah keputusanku pergi dari kehidupan Dito malam itu. Demi Tuhan, aku tidak ingin pergi saat itu. Tapi keadaan bu Susanti yang parah membuatku sadar jika hubungan ini sama sekali tidak berhasil sekuat apapun aku mencobanya. Dan cara terbaikku untuk semua rasa sakit ini adalah menjadi orang sukses, meskipun aku harus merangkak terlebih dahulu. Aku yakin Bu Susanti sudah sehat sekarang, atau mungkin sudah pu
Sejujurnya, mimpi pun aku tak pernah membayangkan akan mendapat yang lebih baik dari yang aku duga. Apalagi, disaat aku hanya menghabiskan waktu untuk bersantai-santai menikmati hasil jerih payahku. Pak Ardi justru memberikan privilage lebih atas proyek kerjasama yang kita sepakati bersama.Beliau yang berusia nyaris empat puluh tahun akan memberikan satu unit apartemen di dekat menara Jaff Corporations. Dengan dalih agar bisa mempersingkat waktu kunjungan kerja ke gedung itu.Secara terikat, aku memang diharuskan datang ke perusahaan itu untuk membicarakan isi naskah cerita tanpa jadwal yang pasti. Aku hanya perlu menunggu kabar dari pihak yang bersangkutan untuk datang ke perusahaan tersebut. Termasuk hari ini.Aku mengenakan gaun baru lengan pendek berwarna biru langit, roknya mengembang lebar sampai di setengah betis. Sebagai pelengkap kunjungan kerja formal, aku juga menggunakan blazer berwarna biru dongker dan menggunakan sepatu sneaker berwarn
Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini. Pak Ar