Azham masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri sudah terbangun dan sedang berbicara dengan Fitri ibu mertua Azham. Dari kejauhan, Azham dapat mendengar kalau Melisa tidak ingin ke Bali. Entah kenapa, Azham merasa kalau trauma yang dialami Melisa ada sangkut pautnya dengan Bali. Azham menyimpulkan itu saat ia mengingat Riana ibunya yang mengatakan kalau dia sudah membeli tike pesawat dan memesan hotel untuk mereka ke Bali. Di saat itu, Melisa mulai diam dan tak sadarkan diri. “Melisa, kamu tidak ingin bulan madu atau nggak mau ke Bali?” tanya Riana membuat Azham tersadar dari lamunannya dan sontak menatap ke arah Melisa yang menunduk terdiam tak mengatakan apa-apa. Azham dapat melihat Melisa sedang kebingungan harus menjawab apa. Azham menaikkan sebelah alisnya melihat Melisa saat ini. Fitri dan yang lain menunggu jawaban dari Melisa. Sementara Melisa masih diam seperti orang kebingungan.“Saya bukannya tidak mau, Ma. Tetapi, saya harus kuliah. Sementara kalau aku ke Bali bers
Azham keluar dari kamar mandi setelah mandi dan mengganti baju. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat keadaan kamarnya yang kosong. Kemana perginya Melisa pikir Azham. Azham yang berjalan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Meletakkan handuk kecilnya di sandaran kursi meja rias Melisa. Lalu berjalan keluar kamar mencari di mana keberadaan istrinya itu. Azham takut Melisa kenapa-napa. Karena ia tahu Melisa masih belum benar-benar pulih dan masih lemas. “Ke mana Melisa?” gumam Azham saat tidak mendapati Melisa. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana. Di ruang tamu pun, Melisa tidak ada. Hanya ada kedua orang tuanya dan ibu Melisa—mertua Azham. Azham mengerutkan keningnya bingung mencari istrinya. Azham lalu melangkah menuju ke orang tuanya untuk menanyakan ke mana Melisa pergi. “Mama, Papa, Bu.” Ketiga orang itu menoleh dan menatap ke arah Azham. “Zham, kamu di sini? Melisa di mana?” tanya Riana. Azham baru saja ingin bertanya dengan pertanya
Azham berjalan menghampiri Riana yang berdiri di depan kamarnya. Memanggil Azham untuk memberi tahu kalau Zera datang dan ingin bertemu dengannya. “Bukan pintu lama banget. Lagi ngapain? Melisa mana?” tanya Riana seraya menengok ke belakang Azham tepatnya di dalam kamar. Azham segera menutup pintu kamarnya. “Lagi di balkon. Lagi asyik lihat bintang. Oh, iya. Zera sekarang di mana?” tanya Azham. “Itu, di ruang tamu. Temuin, deh.” Azham mengangguk lalu mengajak mamanya untuk ikut menemui Zera. Azham tahu, apa tujuan Zera datang menemuinya ke rumah orang tuanya. Azham hanya berharap dalam hati kalau Zera tidak akan membuat keributan dan membuat Melisa atau yang lain merasa tidak nyaman dan tidak enak. Sepanjang perjalanan Azham dan Riana ke ruang tamu untuk menemui Zera. Azham tidak henti-hentinya merapalkah doa. Agar Zera tidak melakukan hak gila lagi seperti di kantor tadi. Sesampai di ruang tamu. Azham melihat Zera sedang mengobrol dengan Fitri ibu Melisa. Azham merasakan kalau j
Zera melajukan mobilnya sangat kencang. Ia meluapkan segala lukanya dengan membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan sedang sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu di jalan itu. Air mata Zera tidak berhenti mengalir. Seolah sedang memperlihatkan isi hanya yang begitu hancur. Zera menancap gas. Menambah kecepatan mobilnya. Lalu mengerem tiba-tiba. Sehingga terjadi gesekan antara mobil dan ban menghasilkan suara berdenyit. Mobil Zera berputar untuk beberapa saat. Lalu berhenti perlahan di tengah-tengah. Zera memukul setir mobilnya seraya berteriak lantang. “Aarrrrgggggg ...,” teriaknya dengan air mata yang sudah sangat banjir di wajahnya.Zera menangis sejadi-jadinya memukul setir mobil yang tak tahu apa-apa. Dengan air mata yang terus mengalir membasahi wajahnya dan jatuh ke bajunya. Sungguh luar biasa rasa sakit yang dirasakan Zera saat ini. Saat mengetahui kebenarannya. Zera merutuki dirinya yang nekat ke rumah Azham. Hanya untuk mematikan kebenarannya
“Ah, oh, iya, Kev. Kau tahu, Ibu dan kedua mertuaku telah merencanakan aku dan Pak Azham akan berbulan madu. Dan kau tahu di mana? Di Bali. Tempat yang paling aku tidak sukai. Eum ... Mungkin tanpa aku jelaskan padamu. Kau sudah tahu alasannya kenapa aku membencinya, ‘kan?” ujar Melisa dengan sendu. “Ya, kamu benar, Kev. Karena tempat itu telah merenggutmu. Membuatku kehilanganmu untuk selama-lamanya. Aku tidak mau ke sana lagi. Aku tidak mau mengingat kejadian itu. Hal itu akan membuatku sedih dan tak berdaya.” Manik mata Melisa sudah berkaca-kaca. Melisa menundukkan kepalanya seraya menggelengkan kepalanya. “Jangan mengatakan itu, Kev. Aku tetap tidak akan kembali ke tempat itu. Walau kau membujukku,” kata Melisa seolah ada yang sedang ia ajak berbicara. “Kelvin, aku merindukanmu. Please, kembalilah padaku. Atau kalau kau tidak ingin kembali ke tempat ini. Paling tidak ambillah aku. Agar aku bisa bersamamu. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu,” ucap Melisa meneteskan air matan
Saat ini Azham masih berada di rumah sakit sendirian menunggui Zera diperiksa oleh dokter. Ryan sudah sejak lima belas menit yang lalu berpamitan pada Azham untuk ke rumah Kia. Sudah sejak tadi Kia menunggunya, dan Ryan tidak boleh membiarkan kekasihnya itu semakin kesal padanya. Apalagi, sejak dulu, Kia—kekasih Ryan sama sekali tidak menyukai Zera. Azham juga tidak menahan Ryan, dan membiarkan sahabatnya itu untuk segera menemui kekasihnya dan meredakan kemarahan kekasih Ryan. Azham masih menunggu belum ingin meninggalkan Zera sebelum melihat kondisi sahabatnya itu. Juga sebelum keluarga Zera datang.Azham sudah menelfon adik Zera memberitahu keberadaan dan kondisi Zera. Dan kata adiknya sebentar lagi dia akan datang. Azham menghela nafas kasar, ia mengusap wajahnya kasar. Raut wajahnya sudah sangat jelas menjelaskan betapa kacaunya hati dan pikirannya saat ini. Azham menyandarkan kepalanya di tembok rumah sakit dan mendongak menatap ke langit-langit rumah sakit. “Kenapa bisa se
Melisa berjalan menuruni tangga hendak ke dapur. Tenggorokannya terasa kering dan ia ingin minum. Melisa mengernyitkan kening saat melihat Riana dan Fitri masih berada di ruang tengah sedang mengobrol. Seolah mereka tidak kehabisan topik. Namun, bukan itu yang membuat Melisa mengernyit bingung, tapi ia tidak melihat Azham di sana. Melisa mengira Azham berada di ruangan itu bersama dua orang itu. Karena Melisa mencarinya di kamar mandi, tetapi pria itu tidak ada. Melisa ke balkon saat Azham masuk ke kamar mandi untuk mandi. Tetapi, baru sebentar ke balkon dan kembali lagi. Azha sudah tidak ada. Melisa mengira Azham di sana, tetapi ternyata tidak ada. Lalu, ke mana Azham. “Pak Azham di mana, ya? Kok, di mana-mana nggak ada?” gumamnya pelan. Melisa yang penasaran melupakan niatnya turun ke lantai dua. Ia malah menghampiri dua perempuan itu. Fitri dan Riana tersenyum ke arah Melisa saat menyadari kedatangan gadis itu. “Ibu, Mama, masih di sini?” Riana tersenyum seraya mengangguk. Me
POV AZHAM Aku membelokkan mobilku masuk ke garasi rumah Mama. Turun setelah memarkirkannya juga mengunci otomatis. Berjalan masuk ke dalam rumah. Pikiranku kacau. Berkali-kali aku menghela nafas meyakinkan diriku kalau yang menimpa Zera bukan salahku, tapi tetap saja. Rasa bersalah itu tetap ada. Aku mengusap wajahku kasar. Mungkin benar mungkin salah. Mungkin salahku juga mungkin tidak. Ah, entahlah. Kepalaku pusing memikirkannya. Juga lapar. Mama dan Ibu yang ternyata masih duduk di ruang tamu menoleh saat aku mengucap salam. “Azham, dari mana saja? Mertuamu sudah lapar karena menunggumu,” omel Mama menyambutku. “Maaf, Ma, Bu. Gara-gara Azham kalian jadi menunggu,” kataku seraya menyalami keduanya secara bergantian. “Harusnya, kalian tidak usah menungguku pulang.” Aku duduk di sofa tiga. Ibu menggeleng seraya tersenyum. “Tidak apa-apa, Zham. Ibu juga belum terlalu lapar, kok. Lagian, enak kalau kita makan bareng.” Aku membalas senyumnya seraya mengangguk. “Memang kau dari mana