Pukul 15.30, Erik terus saja memperhatikan jam di tangan. Begitu pun netranya tak henti menatap layar ponsel. Pria dengan kaus Hitam dan celana jin itu masih terlihat muda di umur yang sudah memasuki 35 tahun. Ia duduk di sebuah restoran sembari menunggu sang anak. Namun, sejak tadi ia mencoba menghubungi dan mengirim pesan pada Bian sang anak, belum juga ada balasan.
Erik kembali melihat pesan yang ia kirim pada Bian—sang anak.
[Boy, sebagai permintaan maaf, Papa tunggu jam 16.00 di mal Ambas, kita nonton film yang kamu bilang waktu itu. Papa otw langsung dari kantor, jadi ketemuan saja di mal.]
Namun, sejak pesan itu terkirim pukul 11.00, sampai detik itu pun Erik belum menerima balasannya. Ia kembali mencoba meneleponnya, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya pria itu mencoba menelepon sang adik. Ternyata sang anak ada acara di sekolah.
Erik langsung menutup teleponnya. Ia malah berpikir jika sang anak masih marah dan sengaja tidak mau mengangkat atau membalas pesannya. Pada akhirnya ia bangkit dan menuju loket bioskop sendiri.
Sepertinya ia agak kecewa karena sudah membatalkan beberapa jadwal bertemu klien hanya untuk mengajak menonton sang anak. Namun, ia tak masalah, Erik berpikir kapan lagi dirinya bisa meluangkan waktu untuk sedikit rileks. Ia masuk ke dalam ruang teater yang sudah gelap karena dirinya agak telat masuk.
“Permisi, Mbak. Ini tempat saya, sepertinya,” ucap Erik.
“Loh, ini tempat saya. Nomor E15.” Terdengar suara wanita yang sepertinya Erik kenal.
“Nomor E14, berarti Mbak agak minggir. Saya E15, Mbak E14.”
Namun, saat Erik menyenterkan ponselnya ke nomor di kursi, ia terkesiap melihat siapa yang ada di sebelahnya sekarang.
“Kamu?”
“Om Erik ngapain?”
Rinjani tak kalah terkejut saat melihat Erik kini ada di sampingnya. Ia tertawa miris, kenapa harus kembali bertemu dengan pria bernama Erik itu. Namun, berbanding terbalik dengan Rinjani, Erik seperti menemukan harta karun.
“Mau ke mana?” Erik menarik tangan Rinjani saat gadis itu hampir beranjak dari tempat duduk.
“Pindah tempatlah, ini, kan bangku Om. Aku di samping,” ujar Rinjani.
Erik menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia kembali lega karena Rinjani tak berniat kabur darinya. Sementara, Rinjani menggerutu dalam hati karena Rina—temannya tiba-tiba membatalkan pertemuannya hingga ia memutuskan untuk menonton menghilangkan penat.
“Kenapa ketemu Om lagi, sih?”
“Mungkin kita jodoh.”
Rinjani langsung menoleh ke arah Erik yang begitu santai sembari memakan popcron dengan santai.
***
“Saya antar pulangnya, bagaimana?” Sembari melangkah ke luar bioskop, Erik memberanikan diri untuk menawarkan tumpangan.
Rinjani sedikit terkejut, tetapi gadis itu kembali mencoba santai. Ia tak habis pikir bisa bertemu kembali dengan Erik. Mengingat pesan sang ayah untuk kembali membawa pria itu, dirinya menimbang kembali tawaran duda keren itu.
“Bukannya saya nggak mau, tapi saya takut nanti tiba-tiba aja ada yang datang dan mengaku kalau istri atau kekasih Om,” ujar Rinjani.
“Jadi, kamu mau memastikan, saya ini berstatus atau tidak?”
Rinjani hanya meruncingkan bibir. Harusnya pria itu tahu memang itu yang ia maksudkan. Dirinya tidak mau salah atau menjadi orang ketiga di hubungan seseorang. Ia pun merasakan hal seperti itu sangat sakit.
Erik menghentikan langkahnya menunggu jawaban pasti dari Rinjani. Gadis berambut kuncir kuda itu terus memutar otak. Namun, lagi-lagi bibirnya harus mengatakan hal yang tak sesuai dengan hatinya.
“Iya sudah, saya mau diantar.” Jawaban itu seketika ke luar saat melihat dua sosok pasangan pengantin baru yang sempat menguras air matanya.
Ratna menatap Rinjani yang menggandeng mesra Erik—bos di kantornya. Sang kakak pun tak henti mengedipkan mata saat Erik memberikan senyum yang tak pernah diperlihatkan kantor. Bukan hanya Ratna, sang suami pun seperti terbakar cemburu melihat mantan kekasih kini bermanja dengan pria lain.
Awalnya Erik merasa aneh, tetapi saat tahu ada Ratna dan suaminya, ia mengikuti saja alur yang dimainkan Rinjani. Ia berpikir akan bertanya banyak setelah ini.
“Wah, bertemu pengantin baru,” sapa Erik.
“Pak Erik, mumpung masih cuti.” Ratna menjawab cepat sebelum Tama menarik lengan sang istri.
Hawa panas di dada Tama sudah membuat ia merasa cemburu. Bagaimana bisa ia membayangkan Rinjani dengan mudah mendapatkan penggantinya. Sementara, ia tahu Rinjani cinta mati padanya.
Erik kemudian mengikuti langkah Rinjani setelah melewati kedua orang yang menyebalkan baginya.
***
“Kamu itu aneh,” ujar Erik.
“Maksud Om?” Rinjani menoleh seketika.
“Sebelum ada Ratna, kamu menolak saya. Kenapa tiba-tiba pas ada dia, kamu langsung bermanja sama saya. Ada apa, sih?”
Rinjani bergeming mendengar pertanyaan yang begitu to the poin padanya. Jujur saja Rinjani sudah malas bercerita tentang perselingkuhan sang kekasih dengan kakaknya. Namun, Erik sepertinya kembali memaksanya.
“Ada apa?” Kini, Erik melembutkan suaranya.
“Dia Kakak saya. Sebenarnya malas cerita, tapi terpaksa. Suaminya itu dulu pacar saya, tapi mereka berselingkuh sampai Ratna hamil dan Tama harus bertanggung jawab.” Rinjani menghela napas setelah itu menyenderkan tubuh di kursi.
“Jadi, karena alasan itu kamu memaksa saya untuk pura-pura jadi kekasih kamu?”
“Loh, bukannya Om yang lebih dulu memperkenalkan saya ke wanita cantik itu?”
Erik kembali menyeruput minumannya. Lama ia tak menjawab pertanyaan dari gadis di hadapannya. Sama seperti Rinjani, ia pun tak mau mengorek luka masa lalu. Namun, ia harus jujur pada Rinjani.
Memang dirinya telah membawa gadis itu dalam putaran masalahnya. Sekian lama semua bertanya tentang pasangan hidupnya, kini ia menemukan seseorang yang mampu diajak bekerja sama.
“Dia mantan istri saya.”
Rinjani terkesiap sampai ia tersedak. Erik membantunya menepuk pundak gadis itu. Mencoba menenangkan agar tetap tenang.
“Sudah?” tanya Erik.
“Iya, sudah. Om Duda?”
“Iya, saya punya anak satu.”
Lagi, untuk kesekian kalinya Rinjani terkesiap mendengar pengakuan Erik. Harusnya ia lega sudah tahu status pria yang ia ajak berpura-pura. Karena ia pun harus mencari kejelasan tentang asal usul Erik. Lama memikirkannya, Rinjani tidak tahu akan melanjutkan drama atau tidak.
“Saya paham jadi kamu,, bagaimana rasanya di selingkuhi. Jadi, kamu sengaja pura-pura agar kamu terlihat kuat?”
“Bukan aku nggak kuat. Hanya saja, biar Tama pikir aku bukan wanita lemah. Aku juga bisa mencari pengganti dia.” Masih dalam keadaan emosi, tidak sengaja mereka pun memiliki kesamaan. Sama-sama mencari seseorang untuk di jadikan kekasih.
“Belum move on?” tanya Erik.
“Bukan masalah itu, tapi nggak mudah untuk mencari yang benar-benar. Bisa saja nanti ternyata sama saja. Aku nggak suka buru-buru. Masih muda ini,” ujarnya sambil melirik Erik.
“Kok bilang masih mudanya begitu? Kamu menyindir saya sudah tua?” Pertanyaan Erik membuat Rinjani memamerkan deretan gigi putihnya seperti Bian.
Erik memutar-mutar sedotan di minumannya. Lama pria dengan lesung pipi itu berpikir. Sampai Rinjani bertanya sedang apa duda keren itu di mal sendirian dan menonton bioskop. Sama halnya dengan Rinjani yang harus sendirian karena temannya tiba-tiba membatalkan pertemuan mereka hingga membuat Rinjani kesal dan memutuskan menonton untuk menghilangkan bosan.
“Kita sama-sama saling membutuhkan. Kamu butuh saya untuk bukti jika kamu suka melupakan mantan kamu dan bisa mendapatkan pengganti yang lebih segalanya. Dan aku pun sama, membutuhkan seseorang untuk berpura-pura menjadi kekasih hati. Apa kamu mau kita buat kesepakatan pura-pura pacaran?” tanya Erik.
Rinjani berpikir ada benarnya apa yang dikatakan sang duda. Apalagi sang ayah terus menanyakan tentang Erik. Sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan baginya. Apalagi nilai plus ketampanan duda itu.
“Tunggu, Om kenal Ratna di mana?” Sebuah pertanyaan yang mengganjal akhirnya ia tanyakan juga.
“Ratna karyawan saya,” jawab Erik tegas.
“Karyawan Om? Jadi, Ratna bawahan Om?” Rinjani kembali memastikan pertanyaannya.
“Iya, Ratna bekerja di kantor saya.”
Wajah Rinjani semringah mendengar penuturan Erik. Sudah pasti Ratna kembali iri dengan kehidupannya. Setelah sang kakak mengambil kekasihnya, hidupnya seakan tak bisa bangkit lagi. Ia tak bisa membayangkan jika Ratna tahu ia adalah kekasih bos besar di kantornya.
“Mau bekerja sama?” tanya Erik lagi.
“Om, kenapa nggak cari pasangan benaran saja?” Rinjani malah bertanya kembali.
“Mau deal apa nggak?” tanya Erik lagi.
Rinjani mengerucutkan bibir karena kesal.
“Demi kebaikan bersama, aku mau bekerja sama dengan Om.”
Sebuah kesepakatan ditandai dengan berjabat tangan. Akan tetapi, Rinjani kembali memiliki pertanyaan lain.
“Tapi, kalau saya jatuh cinta benaran, bagaimana?”
Rinjani membulatkan mata karena terkesiap dengan apa yang dikatakan Erik.
Selama di perjalanan mereka tak banyak bicara, apalagi saat percakapan tentang cinta. Rinjani pun tak mau membahas masalah itu dengan Erik. Ratna semakin uring-uringan saat Rinjani datang bersama Erik. Begitu halnya dengan Tama yang sudah sejak awal merasa cemburu dengan kedekatan Rinjani dengan pria baru. Pengantin baru itu masih tinggal di rumah kedua orang tuanya. “Kamu kenapa, sih?” tanya Ratna pada sang suami yang sejak tadi tak tenang. Ratna mulai curiga dengan kehadiran Rinjani bersama Erik. Ia mengendus kecemburuan yang membuat sang suami terus seperti orang galau. “Tama, kamu kenapa kok cuek sama aku?” “Aku lagi malas bicara.” Tama hanya menjawab singkat, selanjutnya ia kembali mengambil ponsel dan memainkannya sembari tiduran tanpa menghiraukan kehadiran Ratna. Sang istri merasa tidak suka saat dirinya diabaikan. “Kamu cemburu sama Rinjani?” Ratna langsung mencecarnya. Tama masih bergeming. Ia tahu jika dirinya menjawab akan sama saja, Ratna tetap saja emosi dalam me
Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.Namun, ba
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma
Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di
Rinjani terdiam sembari memainkan pulpen di meja. Beberapa murid pun memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Terutama Bian juga ikut melihat keanehan di wajah guru Akuntansinya. Tidak seperti biasa Rinjani diam dan tidak banyak bicara.Edi—teman sebangku Bian menyenggol lengan Bian hingga ia tersadar dari lamunan.“Masih waras, kan? Lu nggak suka sama Tante-tante, kan?” tanya Edi.Bian mencebik saat Edo mengira dirinya menyukai Rinjani.“Sarap, ya. Gua masih normal, ya. Masih suka gadis se umuran, bukan Tante-tante apalagi dia guru.” Bian melirik kesal.“Tami?” Pertanyaan Edi malah membuat Bian membulatkan mata.“Lu pikir gua sama Joni berantem karena berebut dia? Ogah, amat,” tutur Bian.“Kiraiin, terus lu kenapa memperhatikan Bu Jani macam itu?”Bian masih bergeming. Entah benar atau tidak yang ada di pikirannya kali ini.“Gua lagi memikirkan, Bu Jani anteng dan nggak banyak ngomong, apa efek habis ketemu bokap gua, seperti yan sudah-sudah setelah bokap datang, terbitlah guru-guru
Semua telah diungkapkan Erik. Sebuah kekesalan masa lalu juga membuatnya tidak bisa memaafkan perselingkuhan Anindi. Jelas di depan matanya dia bermesraan dengan pria lain dan meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu. Semua sudah di cukupi olehnya, entah wanita itu memilih pria lain untuk bermesraan.“Tuhan saja maha pengampun. Jangan sombong hanya jadi manusia,” tutur Anindi.“Wajar aku sombong, aku tampan, menarik, kaya dan bisa saja kapan saja menikah dengan wanita yang aku mau. Tapi, aku bukan kamu yang biasa bergonta-ganti pacar.” Lagi, Erik sengaja membuat hati Andini sakit.Erik berpikir jika Andini harus tahu bagaimana sakit dan sulitnya bangkit dari terpuruk saat wanita itu mempermainkan biduk rumah tangganya.“Kamu—“ Bibir Andini bergetar saat netra mereka saling bertemu. Baru kali ini ia menyesal dengan apa yang ia perbuat. Kesalahan yang tidak pernah ia akui karena merasa selalu benar.Perselingkuhan itu terjadi karena kurangnya waktu Erik bersamanya. Keinginan bersama s
Rinjani mengajak sang duda ke luar untuk berbicara empat mata. Ia takut jika masih ada yang menguping. Dirinya tidak mau sampai Ratna dan Tama mengetahui jika mereka hanya berpura-pura.Sebuah kafe romantis di pilih Erik untuk berbicara dengan Rinjani. Alunan lagu dari band pengisi acara membuat suasana semakin sangat romantis. Sebelum itu, Erik memesan dua milk shake untuk pemanis mulut.Rinjani memindahi sekitar yang ia anggap sudah aman. Lalu, ia kembali fokus pada apa yang akan mereka bahas.“Om, ini jelaskan maksud Om bagaimana bisa datang-datang melamar saya?” tanya Jani.Terpaksa Duda itu harus bercerita. Di mulai dari kedatangan Andini. Lalu, Erik terus bercerita tentang proses ia bercerai dengan mantan kekasih. Rinjani mendengarkan dengan serius pria di depannya bercerita. Ia tidak mau melewatkan cerita kehidupan si duda itu.“Begitu ceritanya.”“Om, ini pernikahan bukan main-main, loh. Kalau hanya ingin memanfaatkan saya, sepertinya Om salah orang deh.” Rinjani agak sedikit