Selama di perjalanan mereka tak banyak bicara, apalagi saat percakapan tentang cinta. Rinjani pun tak mau membahas masalah itu dengan Erik.
Ratna semakin uring-uringan saat Rinjani datang bersama Erik. Begitu halnya dengan Tama yang sudah sejak awal merasa cemburu dengan kedekatan Rinjani dengan pria baru. Pengantin baru itu masih tinggal di rumah kedua orang tuanya.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Ratna pada sang suami yang sejak tadi tak tenang.
Ratna mulai curiga dengan kehadiran Rinjani bersama Erik. Ia mengendus kecemburuan yang membuat sang suami terus seperti orang galau.
“Tama, kamu kenapa kok cuek sama aku?”
“Aku lagi malas bicara.”
Tama hanya menjawab singkat, selanjutnya ia kembali mengambil ponsel dan memainkannya sembari tiduran tanpa menghiraukan kehadiran Ratna. Sang istri merasa tidak suka saat dirinya diabaikan.
“Kamu cemburu sama Rinjani?” Ratna langsung mencecarnya.
Tama masih bergeming. Ia tahu jika dirinya menjawab akan sama saja, Ratna tetap saja emosi dalam menghadapi beberapa masalah. Dirinya hanya memilih diam untuk menghindar dari perdebatan.
Ratna terus menggoyangkan tubuh Tama hingga pria itu merasa kesal. Apalagi sang istri terus saja bertanya hal sepele yang akan membuatnya kembali bertengkar.
“Kamu kenapa? Aku malas membahasnya,” ujar Tama kesal.
“Apa susahnya kamu jawab, kami cemburu sama Rinjani?” Kembali Ratna bertanya dengan emosi.
“Apa yang harus aku jawab? Dia bukan siapa-siapa aku lagi, apa yang harus aku cemburukan?” Tama menarik napas panjang, menjawab bukan salah, menjawab benar semakin marah. Ia hanya diam tak mau ribut dengan masalah Rinjani itu.
Ratna masih sangat emosi, tetapi bukan karena melihat Tama. Namun, karena ia kesal dengan kekasih baru sang adik. Kenapa harus dengan bos di kantornya? Pemilik perusahaan yang pernah ia taksir, tetapi gagal ia dapatkan.
Namun, dirinya berpikir mengapa begitu mudah sang adik mendapatkan bos besar itu? Lagi, ia hanya bisa meluapkan emosi pada sang suami.
“Terserah apa kata kamu, saat ini aku sudah menjadi suami kamu, untuk apa masih takut jika aku masih menyimpan rasa pada Rinjani?”
Ratna bergeming, harusnya Rinjani yang menyimpan kekesalan, bukan Ratna yang telah merusak kebahagiaan sang adik.
“Lebih baik kamu tenang, kasihan janin dalam kandungan kamu,” titah Tama.
Pria itu masuk ke kamar mandi lalu mengguyur kepalanya yang terasa panas. Benar kata Ratna, ia memang sedang cemburu. Namun, bukan haknya lagi mencemburui Rinjani karena dirinya telah mengkhianati Rinjani.
***
“Jadi, kalian berbeda 20 tahun?” Budi—ayah Rinjani langsung bertanya tentang umur Erik membuat Rinjani merasa tidak enak.
Namun, Erik merasa biasa saja. Ia malah yang baru tahu jika umur Rinjani masih muda sekali. Gadis itu baru saja lulus kuliah dan bekerja sebagai guru magang di sebuah sekolah menengah ke atas.
“Tapi kelihatan masih muda, ya, Pa?” Ibu Rinjani ikut bicara.
“Kalau kata orang duren,” timpal ayah Rinjani.
“Apaan, tuh, Om?” tanya Erik.
“Duda keren.” Budi menjawab santai, tetapi membuat Rinjani merasa malu mendengar penuturan sang ayah
Mereka terlihat sangat akrab, tetapi Rinjani malah cemas mengapa sang ayah bisa langsung menerima Erik. Bukannya usianya jauh dibanding dirinya.
Erik pun terlihat cepat akrab, ayahnya dan pria itu saling bertukar pikiran. Kebetulan ayah Rinjani juga berkecimpung dalam dunia bisnis yang sama dengan Erik. Keakraban dua pria itu di lihat Ratna hingga membuat wanita itu merasa iri.
Tidak beberapa lama, Erik pamit untuk pulang. Rinjani mengantarnya sampai ke halaman. Sesekali ia memperhatikan duda itu dengan menyelidik. Wajah tuanya tidak terlihat jelas.
“Om, terima kasih”
“Untuk apa?”
“Bisa membuat kedua orang tua saya tertawa. Saya melihat mereka bahagia, setelah beberapa bulan mereka seperti tertekan dengan banyak masalah.”
Rinjani mengingat beberapa bulan lalu, perusahaan kecil ayahnya harus guling tikar akibat penipuan. Namun, Erik mengatakan akan memberikan modal dan wajah sang ayah menjadi semringah.
“Tawaran Investasi itu tidak ada udang di balik batu, kan? Om ikhlas membantu Papa saya?” tanya Rinjani takut-takut.
Erik tertawa, ia begitu lucu mendengar apa yang dikatakan oleh Rinjani. Keputusan untuk menanam modal bukan karena Rinjani atau ada udang di balik batu. Namun, memang Erik tertarik dengan apa yang dikatakan ayah Rinjani.
“Memang kamu pikir saya akan menukar modal dengan menikahi kamu?” Erik sedikit menggoda Rinjani.
Wajah Rinjani memerah mendengar ucapan Erik. Lagi-lagi ia dibuat tak berkutik dengan ucapan maut sang duda.
“Saya pulang dulu, kalau ada waktu saya mampir lagi.”
“Buat apa?”
“Ketemu Papa kamu, bukan kamu.”
Rinjani memamerkan deretan gigi putihnya. Setelah itu ia masuk ke rumah saat Erik sudah menghilang dari pandangannya.
Ratna sudah menunggu Rinjani di dalam. Ada yang ingin ia bicarakan melihat kedatangan Erik. Sang kakak masih sangat panas menerima kenyataan jika Erik dan Rinjani adalah pasangan kekasih.
“Apa yang kamu berikan sama Pak Erik sampai dia mau sama kamu? Ke dukun mana kamu?” Pertanyaan Ratna membuat Rinjani emosi.
Untuk apa dirinya membayar mahal dukun untuk mengguna-guna Erik. Sementara, jika dia mau, pria yang lebih muda dan kaya bisa ia kejar.
“Kalau aku pakai dukun, sepertinya bukan Erik yang aku guna-guna. Tapi, Tama, biar dia nggak bisa tanggung jawab sama anak haram Kakak!” Rinjani menunjuk perut Ratna.
Rinjani menangkap tangan Ratna yang hampir saja menampar wajahnya. Netra mereka bersirobok, sang adik begitu benci dengan wanita yang sudah jelas merebut kekasih dan berbuat zina dengannya.
“Tangan kotor Kakak, nggak boleh menyentuh pipi aku.”
Rinjani mendorong Ratna hingga tersudut di pojok tembok. Sang Kakak seketika meringis kesakitan saat melihat Tama menghampiri mereka.
“Aduh, perut aku kontraksi,” ucap Ratna.
Tama gegas menghampiri Ratna, keributan keduanya juga terdengar orang tua mereka hingga membuat ayah dan ibunya menghampiri mereka.
“Ratna kenapa Rinjani?” tanya sang ibu.
“Kena azab, Ma. Biarin aja, bagus kalau keguruan, kasihan anaknya nanggung dosa orang tua,” ujar Rinjani santai.
“Jani, aku tahu kamu marah sama aku, tapi nggak bisa juga kamu melakukan hal ini pada Ratna. Di dalam perutnya ada anak aku,” tutur Tama.
Rinjani tersenyum miris. Mendengar penuturan Tama kembali membuat dirinya sakit hati. Begitu berartikah anak itu di mata Tama sampai ia pun bertanggungjawab atas kehamilan Ratna?
“Bukan urusan aku, mau seperti apa pun. Makanya punya mulut di jaga. Aku yang punya pacar baru, dia yang sibuk nuduh-nuduh. Kenapa? Iri? Mau merebut lagi, hah?”
“Cukup Jani, sudah masuk kamar saja!” titah sang ayah.
Sesaat Rinjani menatap tajam kedua pengkhianat itu, kemudian masuk ke kamarnya dengan melangkah gontai.
“Papa harap kalian bisa bersikap baik. Bagaimana pun, kalian salah pada Jani. Kalau bisa, secepatnya kalian cari rumah kontrakan,” pinta sang ayah.
Tama dan Ratna bergeming. Setelah itu, Budi mengajak sang istri untuk masuk ke kamar lagi. Tama membantu sang istri untuk berbaring di kasur.
Melihat kemarahan Rinjani, Tama kembali merasa tidak enak hati. Keputusan paling bodoh adalah menikah dengan Ratna. Apalagi, saat mereka mulai dekat dan akhirnya melakukan hal di luar batas.
***
Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.Namun, ba
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma
Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di
Rinjani terdiam sembari memainkan pulpen di meja. Beberapa murid pun memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Terutama Bian juga ikut melihat keanehan di wajah guru Akuntansinya. Tidak seperti biasa Rinjani diam dan tidak banyak bicara.Edi—teman sebangku Bian menyenggol lengan Bian hingga ia tersadar dari lamunan.“Masih waras, kan? Lu nggak suka sama Tante-tante, kan?” tanya Edi.Bian mencebik saat Edo mengira dirinya menyukai Rinjani.“Sarap, ya. Gua masih normal, ya. Masih suka gadis se umuran, bukan Tante-tante apalagi dia guru.” Bian melirik kesal.“Tami?” Pertanyaan Edi malah membuat Bian membulatkan mata.“Lu pikir gua sama Joni berantem karena berebut dia? Ogah, amat,” tutur Bian.“Kiraiin, terus lu kenapa memperhatikan Bu Jani macam itu?”Bian masih bergeming. Entah benar atau tidak yang ada di pikirannya kali ini.“Gua lagi memikirkan, Bu Jani anteng dan nggak banyak ngomong, apa efek habis ketemu bokap gua, seperti yan sudah-sudah setelah bokap datang, terbitlah guru-guru
Semua telah diungkapkan Erik. Sebuah kekesalan masa lalu juga membuatnya tidak bisa memaafkan perselingkuhan Anindi. Jelas di depan matanya dia bermesraan dengan pria lain dan meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu. Semua sudah di cukupi olehnya, entah wanita itu memilih pria lain untuk bermesraan.“Tuhan saja maha pengampun. Jangan sombong hanya jadi manusia,” tutur Anindi.“Wajar aku sombong, aku tampan, menarik, kaya dan bisa saja kapan saja menikah dengan wanita yang aku mau. Tapi, aku bukan kamu yang biasa bergonta-ganti pacar.” Lagi, Erik sengaja membuat hati Andini sakit.Erik berpikir jika Andini harus tahu bagaimana sakit dan sulitnya bangkit dari terpuruk saat wanita itu mempermainkan biduk rumah tangganya.“Kamu—“ Bibir Andini bergetar saat netra mereka saling bertemu. Baru kali ini ia menyesal dengan apa yang ia perbuat. Kesalahan yang tidak pernah ia akui karena merasa selalu benar.Perselingkuhan itu terjadi karena kurangnya waktu Erik bersamanya. Keinginan bersama s
Rinjani mengajak sang duda ke luar untuk berbicara empat mata. Ia takut jika masih ada yang menguping. Dirinya tidak mau sampai Ratna dan Tama mengetahui jika mereka hanya berpura-pura.Sebuah kafe romantis di pilih Erik untuk berbicara dengan Rinjani. Alunan lagu dari band pengisi acara membuat suasana semakin sangat romantis. Sebelum itu, Erik memesan dua milk shake untuk pemanis mulut.Rinjani memindahi sekitar yang ia anggap sudah aman. Lalu, ia kembali fokus pada apa yang akan mereka bahas.“Om, ini jelaskan maksud Om bagaimana bisa datang-datang melamar saya?” tanya Jani.Terpaksa Duda itu harus bercerita. Di mulai dari kedatangan Andini. Lalu, Erik terus bercerita tentang proses ia bercerai dengan mantan kekasih. Rinjani mendengarkan dengan serius pria di depannya bercerita. Ia tidak mau melewatkan cerita kehidupan si duda itu.“Begitu ceritanya.”“Om, ini pernikahan bukan main-main, loh. Kalau hanya ingin memanfaatkan saya, sepertinya Om salah orang deh.” Rinjani agak sedikit
Sesampainya di rumah, Erik langsung menemui sang ibu. Ia juga meminta sang adik untuk duduk bersama. Namun, Bian tak diikutsertakan karena ia ingin berbicara pelan dengan anak laki-lakinya itu.Meli menatap lekat sang kakak. Dari wajahnya, gadis itu bisa menebak jika akan ada kabar baik karena terlihat kakak laki-lakinya sangat semringah.“Ada apa, Ka?” tanya Meli.“Aku akan menikah,” tuturnya.Kedua wanita di hadapannya saling pandang menatap tidak percaya. Erik tidak pernah membawa wanita, tapi kini ia mau menikah. Meli tertawa sembari menepuk pundak Erik yang tegang. Begitu pun sang ibu, wanita tua itu hanya menggeleng.“Memangnya punya calon?” tanya Meli seraya menggoda.“Kalau nggak punya, untuk apa aku mau menikah. Besok kukenalkan pada kalian, setelah itu lamarkan dia untukku, Bu,” pinta Erik.“Ka, kamu serius, kan? Bukan prank untuk kita, kan? Bian bagaimana?” Lagi, Meli memastikan.“Nanti aku bicara padanya. Yang penting aku sudah bicara dengan kalian.”Setelah mengumumkan pe