"Membentak? Apa aku gak salah dengar, Bang?"
"Kau tidak perlu berpura-pura, Dil. Aku sudah tahu seperti apa kau itu.""Abang terlalu cepat mempercayai sesuatu dan tidak menanyakan dulu padaku. Aku tidak terima difitnah seperti ini terus, Bang." Dila segera menutup panggilan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari suaminya.Deru napas di dadanya naik turun. Jari-jarinya meremas ponselnya. Ia pun meletakkan ponselnya ke atas kasur dengan sedikit kasar.Rasanya sesak dan sakit mendengar orang-orang terdekat di rumah yang ditinggali itu menuduh apalagi menyalahkannya.Perasaan sabar yang ditahan tidak mampu lagi dibendung. Dila sangat marah karena ucapan suaminya dan juga fitnah ibu mertuanya. Kejam sekali Bu Susan memfitnahnya kemudian mengadu ke putranya."Halo ... Halo .... Dila! Aku belum selesai berbicara ...."Huff, wanita itu sangat tidak menghargai siapa yang diajak berbicara," gumam Radit sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia sudah mencoba, menghubungi, tetapi tidak dijawab.Dila masih kesal dan tidak menghiraukan panggilan masuk lagi. Ia tidak keluar dari kamarnya. Waktu sudah siang dan sangat terik.Tidak ada tegur sapa lagi di dalam kamar saat suaminya pulang. Dila malas merespon kode yang diberikan oleh lelaki itu. Suaminya ingin istrinya menyiapkan makanan untuknya, tetapi Dila tidak merespon.Dila sudah makan bersama putrinya siang tadi. Seperti biasa, ia menikmati makanan yang dikirim ibunya untuk dirinya dan putrinya.Syifa, gadis kecil itu berlari kecil menghampiri ayahnya, kemudian bergantung di paha lelaki yang dipanggilnya ayah.***"Bang! Kenapa jatah untuk kedua putrimu dikurangi bulan ini?"Ia ingin memesan lewat online beberapa kebutuhan bayi karena hampir semua telah habis. Namun, dia kecewa setelah melihat saldo di rekeningnya. Nominalnya semakin sedikit. Sekitar satu setengah juta.Suaminya sudah ketiga kali mengurangi jatah bulanannya tanpa diberitahukan sebelumnya. Ia tidak mengerti kenapa suaminya memangkas lagi jatah bulanan untuk kedua putrinya."Iya, Abang sengaja kurangi untuk membayar gaji ART? Kan selama ini jatah yang aku berikan untuk keperluan dapur. Karena kau belum bisa beraktivitas, jadi aku alihkan saja ke gaji ART," jawab lelaki itu dengan entengnya."Okay, baiklah. Kalau begitu, besok aku akan bekerja.""Bekerja! Untuk apa?" Lelaki itu penasaran."Untuk kebutuhanku dan juga kedua putriku," jawab Dila enteng. Lelaki itu telah melepas tanggung jawab yang seharusnya dia tunaikan.Ia tahu suaminya akan keberatan memberikan izin padanya bekerja, karena lelaki itulah yang memintanya berhenti bekerja agar bisa fokus mengurusi putri mereka. Alasan lainnya karena suaminya tidak ingin Dila berinteraksi dengan banyak orang, apalagi cowok.Lelaki itu juga berjanji akan memenuhi kebutuhan mereka. Ternyata, Radit itu telah lupa dengan janjinya.Dila ingin menjelaskan ke suaminya bahwa pemberian dari suaminya tidak akan cukup memenuhi kebutuhan dia dan putrinya, belum lagi setelah dipotong jatah bulanan mereka. Putrinya sekarang sudah dua, bukan satu saja. Kebutuhan sangat banyak.Setidaknya, Dila merasa sedikit tidak berat lagi karena harus memikirkan kebutuhan dapur yang sangat banyak, sehingga menyerap jatah mereka juga.Selain itu, Dila memang ingin mengembangkan usaha milik kedua orang tuanya. Ia sudah telanjur menyetujui permintaan ibunya beberapa hari yang lalu.Lagi pula, Dila sangat mengharapkan pemasukan untuk menutupi kebutuhannya.Ia masih kesal dengan keputusan suaminya yang tanpa memberitahunya. Justru memutuskan sendiri tanpa dirinya, hanya berdiskusi di antara dia dan ibunya.Mungkin, dia sudah tidak dibutuhkan lagi persetujuannya atau pun usulannya."Tapi, siapa yang akan merawat kedua putri kita?""Iya, benar, Dila. Ibu tidak setuju kau akan mempekerjakan orang lagi untuk mengurus kedua putrimu. Kamu akan membayarnya dengan apa? Dengan gaji suamimu?" Mertuanya ikut menimpali.Kebetulan, Bu Santi mendengar pembicaraan mereka. Ia pun keluar dan bergabung dengan mereka."Tenang saja, itu urusanku.""Ibu tidak setuju kalau kau akan meminta Radit untuk membayar gaji baby sitter-mu."Ibu mertuanya tidak setuju karena khawatir jatah bulanannya terpotong untuk membiayai baby sitter lagi. Itulah kenapa dia sangat menolak. Dila sadari itu. Makin lama, dia semakin paham karakter ibu mertua sebenarnya."Apa? Baby sitter? Manja amat jadi cewe! Gak usah sok sok-sokan mau kerja, Dil. Emang kantor mana yang mau menerima? Lagi pula, jahitan di perutmu belum sembuh total." Sela, adik iparnya ikut mengompori.Kebetulan saat itu dia datang untuk mengambil lauk pauk. Ia langsung membuka tudung saji. Padahal, dia baru saja datang dan tidak sempat mengucapkan salam. Namun sayang, di atas meja makan belum ada lauk yang diharapkannya."Tidak usah pikirkan itu. Aku sendiri kok yang akan membayar gaji baby sitter dengan gajiku," ucap Dila masih dengan santai dan hendak beranjak.Ia malas meladeni pertanyaan mereka. Ia sadar mereka akan mengulik informasi darinya tentang kantor yang akan menerima pekerja."Biarin aja, Bang. Paling juga dua bulan dia mampu. Setelah itu, akan kembali lagi. Percaya deh. Sombong amat! Belum diterima aja udah belagu," sungut Sela.Dila bisa mendengar ucapan Sela, tetapi tidak mengindahkannya. Tidak ada gunanya kembali merespon, justru akan semakin meluas.Ia belum memberitahu mereka bahwa dia akan menjalankan bisnis kedua orang tuanya. Ia ingin melihat sejauh mana keluarga suaminya memperlakukannya.Ia ingin tahu sikap mereka sesungguhnya yang selama ini ditutupi darinya. Perlahan-lahan sikap mereka mulai terbuka."Tetap saja, Abang tidak izinkan." Radit memberi penekanan."Kalau begitu penuhi semua kebutuhan putrimu. Minimal kembalikan hak jatah mereka yang lama," tatap Dila dengan tajam.Jatah yang lama saja tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan putrinya. Apalagi dengan hadirnya putri kedua mereka.Lelaki itu menggaruk kepalanya. "Arghhh ...." Lelaki itu pun berlalu juga.Dila tahu lelaki itu tidak akan berani mengambil jatah ibunya dan ditambahkan ke mereka. Radit sudah telanjur menyewa ART. Itu artinya dia harus mengalokasikan dana untuk menggaji pekerja yang disewanya.Dila membuka pintu kamar dan menuju ranjang tidur. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponsel Radit. Suaminya sedang di kamar mandi untuk membersihkan badan.Dila menatap layar ponsel tersebut. Ia memicingkan mata karena sebuah pesan masuk ke WA. Ia memicing bukan karena bunyi pesan tersebut, tetapi isi pesan.[Gimana, Yang?] pengirimnya tidak bernama, hanya gambar emoticon bunga mawar.Segera, ia meraih ponsel tersebut dan ingin membukanya sekaligus membaca isi pesan yang lain. Sialnya, ponsel tersebut sudah dikunci dengan pola. Tidak seperti biasanya. Dulu saat awal menikah, Dila bisa membuka ponsel suaminya. Tidak untuk saat ini."Sial! Siapa gambar emoticon bunga mawar ini? Dan sebutan 'Yang' untuk siapa? Radit?" Perasaan Dila mulai tidak menentu.Instingnya mengatakan sesuatu. Pikirannya kembali mengingat suara wanita yang menjawab panggilannya di ponsel suaminya saat itu. Dia harus mencari tahu apa yang disembunyikan suaminya.Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut. Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar. Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya. Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah be
"Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?""Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?""Maksudmu gimana, Nit?"Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin. Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua. Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya. Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu."Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa
Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa. Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab. Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi." Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar. "Maaf, Non. Saya izin keluar!" Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang
Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men
Dorongan pintu sangat keras menghentak dinding. Cukup mengejutkan orang di dalam. Matanya sangat tajam seakan menembus setiap inci benda yang dipandangnya. Ia tidak menyangka lelaki itu sangat nekat membawa selingkuhannya di rumah. Deru jantungnya memompa makin tidak menentu. Kedua insan di dalam ruangan tersebut membeku. Seakan berubah menjadi batu. Lelaki bercambang itu kalang kabut. Ia tidak sempat menutup dirinya, begitu juga wanita yang berbaring itu. "Jadi, kalian yang berzina di rumah ini? Bang, kamu berzina dengan wanita pelacur ini?" teriak Dila, hingga suaranya terdengar di luar rumah.Dila berhenti di situ saja. Ia terus mencecar Radit dengan berbagai pertanyaan. Tentang pembicaraan lelaki itu di telepon saban hari dengan seorang wanita, dan suara yang menjawab di telepon. Ia baru ingat bahwa suara yang menjawab panggilannya di ponsel sangat mirip.Radit mulai mencari pakaiannya yang entah berserakan ke mana. Nafsu telah menguasai mereka, sehingga tidak sadar telah melem
Warga belum puas sehingga memutuskan tetap berkerumun. Mereka tidak pulang melainkan menunggu pihak yang berwajib untuk membawa kedua pasangan tersebut. Bu Santi masih syok. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mendengar kenyataan putranya berzina di rumahnya membuat hatinya perih. Putra yang dibanggakannya telah menodai kepercayaan dan kebanggaannya. "Nak Dila tunggu sebentar, ya. Pihak kepolisian sedang membuat informasi dan kesaksian Nak Dila." Pak RT meminta Dila agar tidak pergi. Dila hanya mengangguk. Ia tidak bisa menahan rasa sakitnya yang sangat dalam, karena dikhianati oleh lelaki yang telah menikahinya tiga tahun terakhir. Ternyata menyaksikan sendiri, terasa lebih sakit daripada mendengar dari kesaksian orang. Ia masih sangat terpukul. Beberapa warga masih mengira bahwa Radit membawa wanita itu untuk berhubungan di rumah tersebut. Namun, Bu Santi menjelaskan bahwa wanita yang bersama Radit, seorang ART yang akan bekerja di rumahnya. Ia yang meminta putranya mencarikan se
Enam pasang mata itu masih menatapnya tajam saat meninggalkan rumah. Ucapan Dila tadi membuat mereka meradang. Marah dan juga kesal sudah menyatu.Pisah memang pilihan yang berat. Namun untuk kondisinya saat ini merupakan pilihan yang tepat. Mempertahankan bahtera rumah tangga dengan Radit lambat laun akan rubuh juga fondasi yang dibangun. Lelaki itu yang merubuhkannya sendiri. Radit telah menodai perjanjian di atas altar nikah yang pernah diucapkannya. Hati Dila sakit melihat putrinya, yang terus-menerus memanggil ayahnya untuk mengikuti mereka. Dila mencoba menenangkan putrinya. Ia mencoba ikhlas menerima kenyataan pahit tentang nasib kedua putrinya. Ia sadar kedua gadis kecilnya masih membutuhkan sosok ayah di samping mereka. Anak kecil itu belum mengerti dengan apa yang terjadi. Ia hanya ingin ayahnya menyahut ajakannya. Gadis kecil berusia tiga tahun itu menghampiri, kemudian mencoba menarik tangan ayahnya, tetapi digagalkan oleh ibunya.Dia ingin bertanya kenapa. Ia tidak men