Sepanjang malam, Milly masih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini pada Zayn. Bukan karena Milly peduli dengan cara pandang Zayn terhadapnya, tapi dia tidak terima kredibilitasnya sebagai pengacara menjadi taruhan karena dia dianggap tidak becus hanya perkara Zayn pernah melihatnya melawan seorang pria. Sebelum tidur, Milly bertekad dalam hati besok, dia harus berhasil untuk menjelaskan hal ini pada Zayn.
Keesokan hari, Milly cepat-cepat ingin ke kantor. Gadis itu tidak sabar ingin bertemu dengan Zayn. Dia ingin menjalankan misinya yaitu menjelaskan pada Zayn tentang kejadian di kafe waktu itu.
“Zayn, tunggu!” seru Milly memanggil.
Zayn menoleh sebentar, sebelum buru-buru membuka pintu ruangan dan menerima panggilan di ponselnya. Milly berhenti di depan ruangan Zayn sambil mendesah kesal. Usahanya kembali gagal karena dia tidak mungkin mengganggu Zayn yang sedang membicarkan masalah kasus dengan klien.
Suasana hati buruk, Milly memutuskan untuk pergi ke pantry. Secangkir kopi akan mampu membuatnya bersemangat lagi. Kebetulan, Rey sedang duduk di sana sambil menikmati kopinya dan memeriksa beberapa email dari Zayn tentang kasus klien yang mereka tangani.
“Selamat pagi, Milly,” sapa Rey.
Milly tersenyum paksa sambil membalas sapaan Rey. “Pagi…”
Rey mengernyitkan keningnya. “Kau terlihat tidak bersemangat. Ada masalah?”
Tiba-tiba saja, Milly menemukan ide terbaik untuk hari ini agar bisa menjelaskan masalahnya pada Zayn. Untuk itu, dia harus mengajak Rey bekerja sama agar mau membantunya.
“Hari ini kau ada jadwal untuk bertemu dengan klien bersama Zayn, kan?” tanya Milly memastikan.
Rey mengangguk, menyesap kopinya di cangkir. “Kenapa?”
Milly meletakkan cangkirnya yang masih kosong, duduk di sebelah Rey. “Sepertinya, aku membutuhkan bantuanmu.”
Rey menoleh, memandang sebentar pada wajah Milly kemudian kembali menyesap kopinya. “Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan. Aku pasti membantumu.”
Milly tersenyum senang mendengar jawaban Rey. Gadis itu menceritakan kejadiannya di café, dan tentang tuduhan Zayn padanya. Rey mendengarkan dengan serius. Beberapa kali dia tampak mengangguk-angguk, dan sesekali mengerutkan keningnya.
“Jadi, bisakah kau membantuku agar aku bisa menggantikan posisimu sekali ini saja untuk menamani Zayn bertemu dengan klien? Aku benar-benar membutuhkan waktu untuk bisa menjelaskan hal itu padanya. Kurasa, kalau aku bisa membawanya ke café tempat kejadian itu, waitress di sana akan membantu untuk menjelaskan kejadiannya.” Milly menerangkan dengan tatapan penuh harap pada Rey.
Rey kembali mengangguk-angguk pelan. “Kau benar, Zayn tidak akan percaya kalau tidak ada bukti kuat. Baiklah, aku akan membantumu.”
Kedua mata Milly membulat lebar dan berbinar. “Serius? Kau mau membantuku?”
“Ya, aku akan membantumu. Berikan alamat café itu padaku. Aku akan mengatur janji temu dengan klien di sana. Jadi, kau dan Zayn nanti tinggal datang ke sana pada jam makan siang. Bagaimana?” tawar Rey.
Milly menepuk tangannya sekali. Saking senangnya, dia sampai mencengkeram lengan Rey untuk berterima kasih. “Kau benar-benar penyelamatku. Terima kasih, Rey!”
Rey tertawa melihat tingkah Milly yang tiba-tiba meloncat dari kursi dan berlari kecil menuju pintu keluar. “Hei, kau tidak jadi buat kopi?”
Milly menoleh, menggeleng cepat. “Ada hal penting yang harus kulakukan. Mood-ku sudah membaik karena kau mau membantuku. Thank you, Rey!”
***
“Apa? Kau sakit perut?” tanya Zayn saat akan berangkat bertemu dengan klien. Sorot matanya menunjukkan rasa kesal pada Rey yang tiba-tiba saja sakit perut.
Rey merintih kesakitan. Kedua tangannya menekan perut yang baik-baik saja. “Tiba-tiba saja perutku sakit. Sepertinya karena salah sarapan tadi pagi.”
Zayn mengerutkan keningnya.
“Kau pergi sama Milly saja dulu. Perutku benar-benar sakit, aku tidak kuat lagi.” Rey mengalihkan pandangannya pada Milly yang berjalan sambil menahan senyum di belakang Zayn. “Ah, kebetulan. Milly! Tolong aku!”
Milly berlari, menghampiri dua pria itu dengan wajah innocent. “Rey, kau kenapa?”
Rey menyipit pada Milly. “Tiba-tiba perutku sakit sekali. Kau bisa menolongku untuk menemani Zayn bertemu dengan klien? Tolong gantikan aku sekali ini saja, please.”
“Well, tentu saja. Aku akan menolongmu. Zayn ka—”
“Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahan. Zayn, Milly akan menggantikanku. Terima kasih, Milly!”
Belum sempat Zayn menjawab, Rey sudah berlari menuju ke toilet. Sungguh situasi yang tidak pernah ada di dalam rencana Zayn. Bagaimana bisa pada akhirnya dia bersama dengan Milly untuk bertemu dengan klien?
“Kita berangkat sekarang?” tanya Milly yang telah menenteng tasnya dari tadi.
Zayn memindai kesiapan Milly. “Kenapa kau seperti telah siap untuk pergi?”
Milly mendengkus. “Kau lupa ini menjelang jam makan siang? Karena aku tidak ada pekerjaan, jadi aku memutuskan untuk menunggu di lobi depan sampai jam makan siang. Berbincang dengan orang resepsionis bisa menjaga kesehatan mentalku daripada terus mendekam di ruangan tanpa pekerjaan, bukan?”
Zayn mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lagi selain membiarkan Milly ikut dengannya. Ingin kesal juga percuma hanya menghabiskan energy dirinya saja.
Di dalam mobil milik Zayn, Milly membuka notifikasi pesan dari Rey. “Kurasa Rey baru saja mengirim alamat untuk bertemu dengan klien. Bukankah ini café dekat sini?”
Zayn melihat pesan dari Rey. Alisnya bertaut, seakan sedang memikirkan sesuatu.
“Kita mau jalan kaki saja?” tanya Milly menawarkan.
“Turun saja kalau mau jalan kaki. Aku akan tetap datang ke sana dengan mengendarai mobil,” jawab Zayn ketus.
Milly mencebik. “Ya sudah kita menggunakan mobil,” ucapnya sambil memasang sabuk pengaman.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan tercipta. Milly sedikit melirik Zayn yang memasang wajah dingin. Sungguh! Dinginnya Zayn seperti gunung es yang sulit sekali mencair.
Sesampai di café, Zayn masuk mendahului Milly yang gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Gerakan matanya seakan mengatakan ‘ok’ ketika seorang waitress yang mengenalinya tersenyum penuh makna.
“Kau mau pesan apa?” tanya Zayn pada Milly.
“Latte, please,” jawab Milly singkat.
Zayn memesan di kasir yang masih sepi, sedangkan Milly berdiri di sebelahnya.
“Nona Milly? Astaga! Sudah lama sekali kau tidak datang ke sini!” Tiba-tiba, waitress yang dulu pernah dibela Milly itu menyapanya dengan heboh.
Zayn menoleh, bergantian menatap waitress itu dengan Milly.
“Kau benar. Aku sibuk karena pekerjaan. Kebetulan sekali janji dengan klien berada di café ini.” kata Milly riang.
“Semoga harimu menyenangkan, Nona. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya waktu itu,” kata waitress itu lagi.
Milly tersenyum berusaha bersikap senatural mungkin agar Zayn tidak curiga. “Jangan berterima kasih lagi, yang penting kau tidak apa-apa.”
Setelah Milly beranjak, kasir yang melayani Milly menoleh pada waitress itu untuk menjalankan tugasnya. “Ah, bukankah Nona itu yang membelamu saat ada pelanggan pria yang melecehkanmu waktu itu?”
Waitress itu mengangguk penuh semangat. “Kau benar! Nona Milly yang membantuku waktu itu. Entah apa yang terjadi kalau dia tidak datang dan membelaku. Aku tidak berani membayangkannya!”
Suara dua orang itu masih terdengar jelas sampai mereka duduk di kursi yang dulu ditempati oleh pria itu.
“Kau kira aku bodoh?” ucap Zayn tiba-tiba.
Milly mengerut bingung. “Apa maksudmu?”
Zayn mendengkus, menatap tajam pada Milly. “Kau yang merencanakan ini semua, kan? Tentang sakit perut Rey, janji temu dengan klien di sini, dan percakapan dua orang tadi? Hah! Kau kekanakan sekali!”
Milly mengerut tidak senang dengan komentar Zayn. Bahkan setelah kebenaran telah pria itu dengar, tetap saja dia mencari kesalahan Milly.
“Kau—.” Ucapan Milly menggantung di udara karena klien yang mereka tunggu telah datang. Dengan terpaksa, dia segera mengubah raut wajahnya dan menyapa klien dengan ramah.
“Baik, terima kasih untuk waktunya. Kami pasti akan berusaha keras untuk memenangkan kasus Anda. Untuk semua hal yang diperlukan, proses kedepannya, akan saya hubungi via telepon,” kata Zayn sambil menjabat tangan klien yang telah siap untuk meninggalkan café.“Terima kasih banyak atas bantuannya. Selamat siang.” Klien itu tersenyum puas, kemudian berlalu meninggalkan Zayn dan Milly yang berdiri dan tersenyum ramah.Milly menoleh pada Zayn, tapi pria itu melengos dan melangkah keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Milly. Melihat itu, Milly segera menyambar tasnya dan berlari kecil menyusul Zayn. Tidak lupa, dia berterima kasih pada waitress yang tadi telah membantunya.“Zayn. Tunggu!” seru Milly cepat.Zayn menoleh dengan raut wajah kesal. Tatapannya tajam terarah pada Milly, yang berlari menghampirinya. “Kau mau merencanakan apa lagi sekarang?”Milly menghela napas. “Tunggu, aku mau menjelaskan hal ini padamu. Aku terpaksa merencanakan ini semua karena kau sama sekali tidak m
Milly mendongak saat Rey mengetuk pintu ruangannya. “Hei, masuklah,” ucapnya sambil tersenyum lebar.Rey masuk, kemudian menutup pintu dan duduk di depan meja kerja Milly. “Bagaimana kemarin? Aku tidak sempat bertanya padamu karena sibuk dengan berkas klien,” tanya Rey penasaran.Milly menghela napas panjang, menyipitkan matanya pada Rey. Dia mengingat jawaban Zayn kemarin yang membuatnya tidak habis pikir. “Kurasa gagal. Dia tetap tidak suka padaku meskipun aku sudah mencoba menjelaskannya berkali-kali.”“Sama sekali tidak berhasil?” tanya Rey lagi.Milly menggeleng dengan raut frustrasi. “Kau tahu? Kemarin aku ditinggal begitu saja di sana!”Rey meringis, dia jadi mengingat percakapannya dengan Zayn kemarin. “Mungkin, dia terlalu buru-buru sampai melupakanmu.”Milly tersenyum sinis. “Kau terlalu berpikiran positif padanya, Rey. Semua caramu sudah kulakukan, tapi tampaknya dia memang benar-benar tidak menyukaiku. Bukan perkara aku anak baru atau apa pun itu, dia hanya tidak suka deng
“Selamat pagi!” sapa Milly riang saat baru tiba di firma.“Pagi, Milly, kau terlihat bersemangat sekali,” ucap resepsionis membalas sapaan Milly.Milly tersenyum lebar. “Kau benar, hari ini aku bersemangat sekali! Aku masuk dulu, selamat bekerja,” ucapnya sambil melambaikan tangan.Milly bersungguh-sungguh dengan harinya yang bersemangat. Sejak kemarin, saat Zayn memintanya untuk menjadi asisten, semangatnya untuk berangkat bekerja menjadi berkali-kali lipat.“Kau siap untuk hari ini, Milly?” tanya Rey yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Milly berjingkat terkejut, kemudian memukul lengan Rey yang tertawa. “Kau mengejutkanku! But, Iya, aku siap untuk hari ini!”Rey menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh saat melihat kilatan semangat dari mata Milly. “Well, good luck Tunjukkan kinerjamu dengan sebaik-baiknya. Kau tahu aku mendukungmu, kan?”Milly mengangguk penuh semangat. “Tentu saja, percayakan padaku!”Saat itu, Zayn tiba di firma. Dia menahan senyum di wajahnya saat
“Kau tahu apa yang terjadi kalau aku tidak sempat menangkapmu tadi?!” sentak Zayn dengan nada satu oktaf lebih tinggi.Milly menggigit bibir bawahnya. Tentu saja dia akan celaka jika sampai Zayn tidak cepat meraih tangannya. Lebih parahnya lagi, nyawanya bisa saja melayang. Tiba-tiba saja, darahnya berdesir saat membayangkan jika dirinya benar-benar jatuh ke bawah.Milly menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis bayangan itu dari dalam pikirannya. “Maafkan aku, lain kali aku akan lebih berhati-hati lagi,” ucapnya sambil menurunkan nada bicaranya karena tatapan Zayn masih terus terarah tajam padanya.Zayn menghela napas panjang. Dia menatap geram pada Milly. “Pastikan kau selalu berhati-hati setelah ini. Jangan melakukan hal yang berpotensi membuatmu celaka. Mengerti?!”Tanpa menjawab lagi, Milly mengangguk, kemudian segera mengambil bukti foto body harness yang masih menggantungi salah satu besi, tempat korban terjatuh. Body harness yang telah usang terlihat putus di tali penyanggany
Sudah lebih beberapa tahun terakhir ini Zayn menempati sebuah penthouse di gedung apartemen yang berada tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah mandi dan berganti pakaian, Zayn duduk menikmati kopi sambil melihat pemandangan kota Manhattan yang mulai menggelap.Setelah penat seharian, apalagi hari ini dia harus bertemu dengan klien sendirian karena Milly izin setengah hari untuk pindahan, akhirnya Zayn bisa menikmati waktu sendiri di dalam penthouse nya yang selalu disebut sebagai ‘me time’ yang menurutnya paling nyaman.Zayn menghela napasnya panjang. Kepulan asap dari kopi yang baru diseduh menciptakan aroma yang sangat dia sukai. Dari semua hal yang ada di dunia, kopi adalah satu hal yang membuatnya paling bersemangat.Dia bahkan memiliki beraneka ragam alat drip coffe dan sebuah mesin kopi manual yang sering digunakan di coffe shop, serta mesin kopi otomatis saat dia sedang tidak ada waktu untuk menyeduhnya secara manual. Meskipun pada akhirnya, dia lebih sering membeli di café
Milly masuk ke ruang sidang dengan dada berdebar, campuran antara rasa antusias dan gugup. Laporan pernyataan dari para pekerja yang berada di dalam map besar berwarna cokelat yang dia dekap, menjadi senjata perangnya. Di kursi pengunjung sidang deretan paling belakang, tampak Zayn yang akan memantau jalannya sidang kali ini.Satu jam awal berlangsungnya sidang masing terlihat aman. Sampai pada saat pengacara pembela dari pihak perusahaan mulai menyerang pembelaan dari Milly sebagai pengacara dari pihak korban.“Kita akan berbicara tentang standard safety yang wajib dijalankan oleh semua pelaku usaha. Dari hasil investigasi yang telah tim kami lakukan di lapangan, jelas terbukti kalau perusahaan kontruksi lalai akan hal itu—”“Maaf, Yang Mulia. Tapi menurut dari apa yang menjadi bukti di berkas yang telah saya lampirkan, perusahaan telah melaksanakan standard safety dengan benar dan sangat lengkap!” potong pengacara lawan yang saat ini tengah menatap Milly dengan pandangan berapi-api.
“Hei, kenapa wajahmu kusut sekali?” tanya Rey saat Milly baru kembali ke firma lagi setelah dia menenangkan dirinya di luar gedung.Milly menoleh, menampilkan senyum palsunya yang jelas terlihat dipaksakan. “Apakah wajahku sekusut itu?”Rey mengangguk. “Kau tampak seperti ingin menelan orang hidup-hidup. Apa yang terjadi?”Milly menghela napas panjang. “Zayn bilang aku terlihat kaku dan tidak professional di persidangan tadi. Dia menyalahkanku karena pengacara lawan berhasil memotong pembicaraanku.”“Kau merasa seperti itu?” tanya Rey lagi.Milly menggeleng cepat. “Menurutnya, aku terlalu banyak berpikir dan terlihat gugup. Demi Tuhan, aku tidak merasakan semua hal yang dituduhkannya. Aku hanya mengatur napas dan emosiku agar tidak terpancing untuk melakukan hal yang justru kusesalkan di persidangan pertamaku. Tapi sepertinya, apa yang kulakukan tidak membuatnya puas.”Rey menatap sebentar pada mata Milly yang terlihat sedih. “Jangan dipikirkan tentang ucapannya Zayn. Meskipun kau tad
Klien yang dari awal sampai akhir tidak berbincang sedikit pun pada Milly itu pada akhirnya pulang lebih dulu. Milly juga ingin cepat pergi, tapi Zayn tidak segera beranjak dari tempatnya.“Kau masih mau makan?” tanya Milly.Zayn memandang Milly. “Kulihat kau tadi hanya menyentuh sedikit makanan. Kau tidak suka menunya? Mau kupesankan yang lain?”Milly menatap heran pada Zayn. Sebagai seorang yang menganggap dirinya paling professional, kenapa dia bisa tidak peka dengan apa yang dipikirkan oleh Milly. Well, gadis itu bukan marah karena tidak dilibatkan dalam pembicaraan tadi. Hanya saja, jika dia memang tidak dibutuhkan di sini, kenapa Zayn harus memaksanya untuk datang?“Aku tidak lapar. Jika kau sudah selesai makan, ayo kita pulang saja,” jawab Milly dingin.Zayn berdiri, merapikan jasnya dan menoleh pada Milly. “Ayo, pulang.”Milly mendengkus sambil terus menatap Zayn yang berlalu tanpa menunggu dirinya yang bahkan belum beranjak dari kursi. Predikat baik yang sempat diucapkannya u