Share

Bab 6. Zayn yang Tidak Bodoh

Sepanjang malam, Milly masih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini pada Zayn. Bukan karena Milly peduli dengan cara pandang Zayn terhadapnya, tapi dia tidak terima kredibilitasnya sebagai pengacara menjadi taruhan karena dia dianggap tidak becus hanya perkara Zayn pernah melihatnya melawan seorang pria. Sebelum tidur, Milly bertekad dalam hati besok, dia harus berhasil untuk menjelaskan hal ini pada Zayn.

Keesokan hari, Milly cepat-cepat ingin ke kantor. Gadis itu tidak sabar ingin bertemu dengan Zayn. Dia ingin menjalankan misinya yaitu menjelaskan pada Zayn tentang kejadian di kafe waktu itu.

“Zayn, tunggu!” seru Milly memanggil.

Zayn menoleh sebentar, sebelum buru-buru membuka pintu ruangan dan menerima panggilan di ponselnya. Milly berhenti di depan ruangan Zayn sambil mendesah kesal. Usahanya kembali gagal karena dia tidak mungkin mengganggu Zayn yang sedang membicarkan masalah kasus dengan klien.

Suasana hati buruk, Milly memutuskan untuk pergi ke pantry. Secangkir kopi akan mampu membuatnya bersemangat lagi. Kebetulan, Rey sedang duduk di sana sambil menikmati kopinya dan memeriksa beberapa email dari Zayn tentang kasus klien yang mereka tangani.

“Selamat pagi, Milly,” sapa Rey.

Milly tersenyum paksa sambil membalas sapaan Rey. “Pagi…”

Rey mengernyitkan keningnya. “Kau terlihat tidak bersemangat. Ada masalah?”

Tiba-tiba saja, Milly menemukan ide terbaik untuk hari ini agar bisa menjelaskan masalahnya pada Zayn. Untuk itu, dia harus mengajak Rey bekerja sama agar mau membantunya.

“Hari ini kau ada jadwal untuk bertemu dengan klien bersama Zayn, kan?” tanya Milly memastikan.

Rey mengangguk, menyesap kopinya di cangkir. “Kenapa?”

Milly meletakkan cangkirnya yang masih kosong, duduk di sebelah Rey. “Sepertinya, aku membutuhkan bantuanmu.”

Rey menoleh, memandang sebentar pada wajah Milly kemudian kembali menyesap kopinya. “Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan. Aku pasti membantumu.”

Milly tersenyum senang mendengar jawaban Rey. Gadis itu menceritakan kejadiannya di café, dan tentang tuduhan Zayn padanya. Rey mendengarkan dengan serius. Beberapa kali dia tampak mengangguk-angguk, dan sesekali mengerutkan keningnya.

“Jadi, bisakah kau membantuku agar aku bisa menggantikan posisimu sekali ini saja untuk menamani Zayn bertemu dengan klien? Aku benar-benar membutuhkan waktu untuk bisa menjelaskan hal itu padanya. Kurasa, kalau aku bisa membawanya ke café tempat kejadian itu, waitress di sana akan membantu untuk menjelaskan kejadiannya.” Milly menerangkan dengan tatapan penuh harap pada Rey.

Rey kembali mengangguk-angguk pelan. “Kau benar, Zayn tidak akan percaya kalau tidak ada bukti kuat. Baiklah, aku akan membantumu.”

Kedua mata Milly membulat lebar dan berbinar. “Serius? Kau mau membantuku?”

“Ya, aku akan membantumu. Berikan alamat café itu padaku. Aku akan mengatur janji temu dengan klien di sana. Jadi, kau dan Zayn nanti tinggal datang ke sana pada jam makan siang. Bagaimana?” tawar Rey.

Milly menepuk tangannya sekali. Saking senangnya, dia sampai mencengkeram lengan Rey untuk berterima kasih. “Kau benar-benar penyelamatku. Terima kasih, Rey!”

Rey tertawa melihat tingkah Milly yang tiba-tiba meloncat dari kursi dan berlari kecil menuju pintu keluar. “Hei, kau tidak jadi buat kopi?”

Milly menoleh, menggeleng cepat. “Ada hal penting yang harus kulakukan. Mood-ku sudah membaik karena kau mau membantuku. Thank you, Rey!”

***

“Apa? Kau sakit perut?” tanya Zayn saat akan berangkat bertemu dengan klien. Sorot matanya menunjukkan rasa kesal pada Rey yang tiba-tiba saja sakit perut.

Rey merintih kesakitan. Kedua tangannya menekan perut yang baik-baik saja. “Tiba-tiba saja perutku sakit. Sepertinya karena salah sarapan tadi pagi.”

Zayn mengerutkan keningnya.

“Kau pergi sama Milly saja dulu. Perutku benar-benar sakit, aku tidak kuat lagi.” Rey mengalihkan pandangannya pada Milly yang berjalan sambil menahan senyum di belakang Zayn. “Ah, kebetulan. Milly! Tolong aku!”

Milly berlari, menghampiri dua pria itu dengan wajah innocent. “Rey, kau kenapa?”

Rey menyipit pada Milly. “Tiba-tiba perutku sakit sekali. Kau bisa menolongku untuk menemani Zayn bertemu dengan klien? Tolong gantikan aku sekali ini saja, please.”

Well, tentu saja. Aku akan menolongmu. Zayn ka—”

“Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahan. Zayn, Milly akan menggantikanku. Terima kasih, Milly!”

Belum sempat Zayn menjawab, Rey sudah berlari menuju ke toilet. Sungguh situasi yang tidak pernah ada di dalam rencana Zayn. Bagaimana bisa pada akhirnya dia bersama dengan Milly untuk bertemu dengan klien?

“Kita berangkat sekarang?” tanya Milly yang telah menenteng tasnya dari tadi.

Zayn memindai kesiapan Milly. “Kenapa kau seperti telah siap untuk pergi?”

Milly mendengkus. “Kau lupa ini menjelang jam makan siang? Karena aku tidak ada pekerjaan, jadi aku memutuskan untuk menunggu di lobi depan sampai jam makan siang. Berbincang dengan orang resepsionis bisa menjaga kesehatan mentalku daripada terus mendekam di ruangan tanpa pekerjaan, bukan?”

Zayn mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lagi selain membiarkan Milly ikut dengannya. Ingin kesal juga percuma hanya menghabiskan energy dirinya saja.

Di dalam mobil milik Zayn, Milly membuka notifikasi pesan dari Rey. “Kurasa Rey baru saja mengirim alamat untuk bertemu dengan klien. Bukankah ini café dekat sini?”

Zayn melihat pesan dari Rey. Alisnya bertaut, seakan sedang memikirkan sesuatu.

“Kita mau jalan kaki saja?” tanya Milly menawarkan.

“Turun saja kalau mau jalan kaki. Aku akan tetap datang ke sana dengan mengendarai mobil,” jawab Zayn ketus.

Milly mencebik. “Ya sudah kita menggunakan mobil,” ucapnya sambil memasang sabuk pengaman.

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan tercipta. Milly sedikit melirik Zayn yang memasang wajah dingin. Sungguh! Dinginnya Zayn seperti gunung es yang sulit sekali mencair.

Sesampai di café, Zayn masuk mendahului Milly yang gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Gerakan matanya seakan mengatakan ‘ok’ ketika seorang waitress yang mengenalinya tersenyum penuh makna.

“Kau mau pesan apa?” tanya Zayn pada Milly.

Latte, please,” jawab Milly singkat.

Zayn memesan di kasir yang masih sepi, sedangkan Milly berdiri di sebelahnya.

“Nona Milly? Astaga! Sudah lama sekali kau tidak datang ke sini!” Tiba-tiba, waitress yang dulu pernah dibela Milly itu menyapanya dengan heboh.

Zayn menoleh, bergantian menatap waitress itu dengan Milly.

“Kau benar. Aku sibuk karena pekerjaan. Kebetulan sekali janji dengan klien berada di café ini.” kata Milly riang.

“Semoga harimu menyenangkan, Nona. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya waktu itu,” kata waitress itu lagi.

Milly tersenyum berusaha bersikap senatural mungkin agar Zayn tidak curiga. “Jangan berterima kasih lagi, yang penting kau tidak apa-apa.”

Setelah Milly beranjak, kasir yang melayani Milly menoleh pada waitress itu untuk menjalankan tugasnya. “Ah, bukankah Nona itu yang membelamu saat ada pelanggan pria yang melecehkanmu waktu itu?”

Waitress itu mengangguk penuh semangat. “Kau benar! Nona Milly yang membantuku waktu itu. Entah apa yang terjadi kalau dia tidak datang dan membelaku. Aku tidak berani membayangkannya!”

Suara dua orang itu masih terdengar jelas sampai mereka duduk di kursi yang dulu ditempati oleh pria itu.

“Kau kira aku bodoh?” ucap Zayn tiba-tiba.

Milly mengerut bingung. “Apa maksudmu?”

Zayn mendengkus, menatap tajam pada Milly. “Kau yang merencanakan ini semua, kan? Tentang sakit perut Rey, janji temu dengan klien di sini, dan percakapan dua orang tadi? Hah! Kau kekanakan sekali!”

Milly mengerut tidak senang dengan komentar Zayn. Bahkan setelah kebenaran telah pria itu dengar, tetap saja dia mencari kesalahan Milly.

“Kau—.” Ucapan Milly menggantung di udara karena klien yang mereka tunggu telah datang. Dengan terpaksa, dia segera mengubah raut wajahnya dan menyapa klien dengan ramah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status