Share

Dulu Dibuang, Kini Dicari
Dulu Dibuang, Kini Dicari
Author: Reinma

Adi Wilaga Pensiun

Kediaman keluarga Adi Wilaga tampak ramai. Mobil-mobil berjajar di pelataran. Milik tuan dan nyonya, serta, para tamu undangan.  Pria-pria berpakaian rapi. Berjas dan berdasi. Sementara, tamu wanita tampak anggun memakai kebaya dan juga gaun.

Beberapa pelayan tampak berlalu lalang. Membawa nampan, menawarkan minuman. Chef hotel berbintang pun didatangkan. Untuk memasak aneka hidangan. 

Pesta diadakan di taman. Disuguhi warna warni bunga indah menawan. Di hamparan rumput Jepang, disusun meja dan kursi. Karpet merah terbentang. Membelah sisi kanan dan kiri. Seorang lelaki tua duduk di atas kursi roda. Melintasi jalan berkarpet didorong oleh sang putri, Listyana Wilaga.

Berpuluh pasang mata tertuju pada Adi Wilaga. Meski raga melemah dimakan usia. Sorot matanya masih sama. Tajam, berkarisma. Para hadirin tak hanya datang untuk memenuhi undangan. Garden party ini juga ajang menampilkan kemewahan. Pun mengamati dengan teliti. Di sisi mana, mereka akan berpihak kedepannya. Presiden direktur, yang baru saja naik, atau tetap di sisi tetua.

"Terima kasih, saya ucapkan kepada semua hadirin yang telah datang. Terima kasih telah mendoakan kesembuhan untuk saya. Berkat doa kalian, lihatlah ... saya sudah jauh lebih sehat," Adi Wilaga berkata dengan mic di tangan kanannya.

Mata lelaki tua itu menyisir dari kiri ke kanan. Dari belakang ke depan.

"Ada dua hal yang ingin saya umumkan hari ini. Yang pertama, saya memutuskan pensiun. Tak lagi mengurus secara langsung AW corp." Lelaki tua itu menghela napasnya panjang. Menghembuskannya perlahan.

"Saya ingin sepeninggal saya, AW corp. tetap bisa terus eksis. Mari tetap bekerja keras." Adi Wilaga mengangkat kepalan tangannya ke udara.

Hadirin riuh, bertepuk tangan.

"Pengumuman ke dua. Saya memberikan sebagian saham pada menantu saya, Handoko. Calon terkuat presiden direktur berikutnya."

Kembali suara tepuk tangan terdengar bersahutan.

"Saya harap kamu bisa menjaga AW corp. dengan baik. Ingat! Kamu harus mengembalikannya saat Bara sudah dewasa," bisik Adi Wilaga di telinga Handoko sambil menyerahkan microfon.

Handoko mengambil alih mic sambil tersenyum. Lalu membungkuk hormat pada bapak mertuanya. Lelaki awal empat puluhan itu mengucapkan salam pada hadirin. Ia membeberkan visi dan misi untuk menjalankan perusahaan. Sesekali matanya melirik sang istri, Listyana. Yang disambut senyum merekah dan anggukan.

***

Tamu undangan sudah meninggalkan kediaman keluarga Adi Wilaga.  Rumah yang dibangun di tengah lahan seluas empat hektar. Hamparan kebun bunga di halaman samping kanan. Kebun binatang pribadi di halaman belakang. Teras sebelah kiri rumah langsung menghadap kolam renang. Lengkap dengan tangga serta seluncuran setinggi  dua belas meter.

Di salah satu ruangan rumah besar itu, "Kamu, sudah bekerja dengan baik, Sayang," kata Listyana pada Handoko. Tangan lentiknya membantu melepas dasi. Lalu, melepas satu persatu kait kancing kemeja sang suami.

"Terima kasih, istriku," ucap Handoko sambil mencium dahi si wanita. Listyana membalas dengan lebih.

"Ayo, kita memberi Bara seorang adik," bisik putri tunggal Adi Wilaga itu, tepat di telinga Handoko. Mendengar ucapan istrinya, membuat ingatan Pria itu terlempar ke belakang. Pada kejadian sembilan tahun silam. 

Saat dimana ayah Tyana meminta dirinya untuk menikahi putrinya yang sedang dalam keadaan hamil, dengan imbalan lima persen saham perusahaan. Dengan catatan, dia tidak boleh menghamili istrinya.

"Han ...." Suara lembut Tyana membawa Handoko ke masa kini.

"Iya, Sayang. Aku mau mandi dulu. Kamu, tidurlah." Handoko melepas tangan Tyana dari lehernya.

Ia bermaksud untuk menemukan surat itu. Surat  perjanjian pra nikah yang ditandatanganinya, dulu. Pria itu kini menginginkan lebih. Bukan cuma lima persen saham, dan seorang istri yang cantik. Kali ini Handoko bertekad, kelak darah dagingnya juga harus menikmati kemewahan ini. 

Saat itu keluarga Adi Wilaga baru saja berduka. Pesawat yang membawa Tubagus, satu-satunya menantu di keluarga itu, mengalami kecelakaan. Jatuh tenggelam dan seluruh penumpangnya dinyatakan tewas. Tak hanya Tyana yang beduka karena kehilangan suami, dan ayah dari anak yang sedang di kandungnya. Adi Wilaga pun sedih atas meninggalnya menantu sekaligus tangan kanannya di perusahaan.

Memikirkan kondisi putrinya yang sedang mengandung, Adi Wilaga pun memutuskan untuk menjodohkan Tyana dengan salah satu orang kepercayaannya. 

"Han, apa  kau mau jadi menantuku?" tanya Sang Tetua suatu siang. Saat itu, hanya Handoko orang kepercayaan tetua yang belum menikah.

Pria sempat galau. Ia tak langsung mengiyakan permintaan sang konglomerat. Masalahnya, pacarnya baru saja memberitahu bahwa ia tengah mengandung. Mereka bahkan berencana segera menikah.

Bagaimanapun, pesona Tyana tidak bisa diabaikannya begitu saja. Apalagi sejak jaman kuliah, Handoko memang tergila-gila pada gadis itu. Saat itu, Han cukup tahu diri dengan tidak mengungkapkan perasaannya. Dirinya  tahu, gadis pujaannya telah dijodohkan dengan seorang lelaki yang bibit bebet dan bobotnya setara. Namun, sekarang wanita itu telah menjanda.

.

.

"Bagaimana, Han? Apa kau sudah mengambil keputusan?" tanya Adi Wilaga untuk kedua kalinya. Tepat tiga bulan tiga hari dari tanggal naas jatuhnya pesawat.

"Saya, bersedia," tegas Handoko.

Adi Wilaga pun membuat sebuah surat perjanjian, dan menyerahkannya pada Handoko. Lelaki bermata hitam itu membaca butir-butir isi perjanjian. Handoko tercengang saat membaca ia tak boleh sampai menghamili Listyana, calon istrinya. 

Ia berpikir sejenak. Saat itu cukup baginya hanya memiliki Listyana. Juga lima persen saham perusahaan ia dapatkan cuma-cuma. Dengan uang yang dimilikinya nanti, ia pasti bisa membungkam mulut Ayuni, pacarnya.

Handoko pun menandatangani surat perjanjian itu. Pengacara Tuan Adi Wilaga mengambil surat yang sudah dibubuhi tanda tangan. Selanjutnya surat itu akan disahkan oleh notaris. Sebelum dikembalikan lagi pada Tetua.

Sejak Lystiana melahirkan Bara, ia tak lagi bekerja di kantor. Waktu Tyana dihabiskan untuk bersama anaknya. Wanita muda itu juga menjadi seorang donatur. Secara rutin ia menyumbang untuk kegiatan sosial. Ia juga orang tua asuh dari sekian banyak anak kurang mampu.

"Siapa di sini, yang bisa memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris?" tanya Tyana pada acara santunan anak yatim dan dhuafa.

Matanya memindai anak-anak yang berdiri di panggung. Acara yang berlangsung pada sore hari itu cukup meriah. Tenda bak orang hajatan  terpasang di tanah lapang tepat di depan pabrik sabun. Salah satu anak perusahaan AW. Corp. di Bogor.

Semua diam saja, tidak ada yang menjawab.

"Jangan takut, ya. Percaya dirilah! Yang bisa, nanti ibu kasih hadiah tambahan, mau?" Tyana mengedarkan pandangannya lagi.

Seorang bocah lelaki mengangkat tangan kanannya ke atas.

"Ya, kamu! Siapa, namamu?" tanya Tyana sambil menatap lekat padanya.

"Hello, Good morning everyone! My name is Farhan." Anak lelaki itu berseru lantang.

"Good. Bagus!" puji Tyana lalu bertepuk tangan. Semua yang hadir turut bertepuk tangan.

Tyana memberikan bingkisan dan amplop. Anak-anak dari keluarga kurang mampu itu berterimakasih menerimanya.

Citra AW corp. makin baik di mata masyarakat. Tak lain karena kedermawanan Listyana.

"Datanglah, ke vila kami, Nak. Ibu tunggu, besok sore, ya!" ucap Tyana pada Farhan. 

"Baik, Bu." Farhan mengangguk. Lalu, semua anak diminta memamerkan giginya. Pencitraan lewat dokumentasi.

***

"Farhan! Kembalikan semua ini!" Samiah berteriak pada cucunya. Ia begitu geram. Saat tahu sejumlah uang dan sembako didapatnya dari nyonya muda grup AW.

"Kamu bukan anak yatim! Itu dia, ayahmu datang," kata Samiah lagi saat melihat Agung.

Farhan tak habis pikir kenapa sang nenek marah padanya. Semua orang di kampung ini pun tahu, kalau dirinya anak Agung. Meski bisik-bisik berdengung jelas, bahwa Agung hanyalah ayah di atas kertas.

•~reinma~•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status