Di dalam kedai, Larasati memilih meja makan tepat di selasar, selain masih kosong, area itu juga sangat strategis jika ingin menikmati pemandangan pasar Kentamani. Melihat orang hilir mudik melakukan transaksi ternyata lumayan menyenangkan. Mungkin ini juga salah satu dampak karena Larasati sudah cukup lama tidak belanja di pasar Ambarwangi. Ah, semua hal menyenangkan yang terjadi di tempat itu selalu membawa kenangan indah Ambarwangi di masa lalu. Ini sungguh menyesakkan.
“Pesanan datang, selamat menikmati,” ungkap bibi penjaga kedai usai menyajikan sebakul nasi dan seekor ayam bakar disertai lalapan di atas meja.
Kumbara menelan air liurnya melihat ayam bakar berwarna kecokelatan yang benar-benar menggugah selera. Belum lagi aroma sedap yang menguap, membuat pria itu semakin ngiler. Setelah baca doa yang dipimpin Gara, ketiga orang itu pun mulai menikmati makanan mereka. Tampak jelas jika ketiganya memang sudah lama tidak makan enak dengan tenang. Kumbara
Gara, Larasati, dan Kumbara sudah berada di tempat pertarungan. Mereka sedang dalam antrean untuk mendaftarkan Sagara sebagai peserta uji kehebatan. Sepanjang penantian kurang lebih 15 menit itu, Larasati sama sekali tidak buka suara. Wajahnya terus ditekuk, dia tampak masih kesal gara-gara kejadian di kedai makan tadi. Kumbara sudah berusaha menghiburnya dengan melayangkan berbagai lelucon. Nihil, tak ada satu pun lelucon pria itu yang bisa mengembalikan suasana hati Larasati yang telanjur amburadul. “Laras serem ya Bar, kalau sedang cemberut begitu,” bisik Gara pada Kumbara yang kebetulan berdiri di sampingnya sedangkan Larasati berada di tepat di depan mereka. “Beuh, jangan ditanya, Gar. Asal kau tahu Larasati ini kalau sudah ngamuk, banteng pun takut padanya.” “Hah, serius?” Kumbara memejam jengkel, kadang dia sebal kalau Gara sedang polos setengah oon begini. “Itu perumpamaan, Gara. Tapi serius deh kalau Larasati ngamuk itu seram sekali.
“Pengumuman-pengumuman, para peserta uji kehebatan silakan berkumpul ke sumber suara. Ada informasi penting yang harus kalian perhatikan sebelum pertarungan uji kehebatan dimulai beberapa saat lagi,” seorang pria berpangsi hitam berteriak di atas sebuah dipan—tepat di depan arena pertarungan.Seluruh peserta uji kehebatan yang sebelumnya tercecer di beberapa titik serempak berkumpul di sana, tanpa terkecuali Gara. Pria ini cukup siap untuk menghadapi babak penyisihan pertama. Dia tampak tenang dan santai, berbeda dengan Larasati dan Kumbara yang lebih panik dan gusar. Sejak tadi mereka terus menjejali Gara dengan arahan mengenai teknik bertarung, model tangkisan, dan cara bertahan yang baik. meskipun sebenarnya Gara sudah menguasai itu semua berkat proses latihannya bersama Larasati dan Kumbara, tapi tak lantas menyurutkan rasa khawatir kedua orang itu.Baiklah, Larasati dan Kumbara akui bahwa sejak kali pertama belajar bela diri sampai detik ini Gara
Saat Larasati mengatakan bahwa pertarungan ini mempertaruhkan nyawa, gadis itu sama sekali tidak main-main dengan ucapannya. Sepanjang pertarungan uji kehebatan dimulai, puluhan kandidat berjatuhan menjadi korban kebengisan lawan mereka. Larasati dan Kumbara sempat mengucap syukur dan bernapas lega saat mengetahui Gara masih baik-baik saja ketika babak pertama usai. Ketegangan mereka kembali meningkat begitu babak kedua kembali bergulir. Ini akan menjadi penentu, dari 50 petarung yang tersisa kemudian akan dipilih 2 orang saja untuk lanjut ke babak final. Pemenang di babak finallah yang kemudian akan berhadapan dengan pendekar Galasakti di keesokan harinya. Pendekar pertama yang harus dihadapi jika para petarung ingin mendapat gelar pendekar terhebat ke-8 yang ada di bumi Parahyangan.“Gara awas ... di belakangmu!” teriak Kumbara, jantungnya nyaris copot ketika melihat ada orang yang hendak menyabet punggung Gara dengan cerulit.Berbeda dengan pertarungan babak pertama yang tidak dipe
Plak!Larasati menampar punggung Gara keras sampai bunyinya membuat Kumbara ngilu. Dan tentu saja Gara meringis karena itu namun ia tidak berani membentak pelakunya.“Jangan bercanda! Selepas ini kau akan kembali bertanding, jangan jadi lengah terhadap lawanmu. Kau tahu, lawan yang akan kau hadapi adalah si pria berengsek yang katanya akan mencongkel matamu itu. Kau tidak boleh kalah darinya!”“Oh, ya? Orang itu lawanku?”“Iya, rupanya dia lawan yang sangat kuat. Pantas saja dia berani menantangmu bertarung. Rasa percaya dirinya memang beralasan.”“Hmm ... jadi selain pertarungan memperebutkan posisi pendekar terhebat rupanya babak final ini juga akan menjadi penentuan apakah bola matamu masih bisa utuh atau hilang sebelah,” kata Kumbara membuat Gara bergidik. Kumbara mengatakannya dengan nada intimidatif dan menekan. Sungguh menyebalkan.“Walaupun ini akan terlihat berat tapi aku sama sekali tidak takut pada pria itu. Akan kubuktikan pada kalian bahwa aku bisa menjadi pendekar terheb
Setelah melewati pertarungan sengit yang berdarah-darah, akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Nyaris seluruh warga desa kentamani berkumpul di area pertandingan. Duduk dengan perasaan semangat dan menggebu karena tak lama lagi mereka akan menjadi saksi kemenangan seorang pendekar hebat yang tak terkalahkan. Entah kemenangan akan berpihak pada pendekar kebanggaan mereka--Galasakti, atau justru akan menjadi titik balik kejayaan pendekar Gara yang sempat pudar.Beberapa komplot orang bahkan tak ragu mempertaruhkan uang mereka untuk pertandingan ini demi meraup keuntungan yang lebih besar. Mayoritas memegang pendekar Galasakti sebagai jagoan, dan hanya sebagian kecil yang menjagokan pendekar Gara. Mereka tidak mau bertaruh untuk sesuatu yang tidak pasti jika ada di pihak Gara. Yang jelas-jelas saja, untuk saat ini dari segi apa pun tentu pendekar Galasakti lebih unggul. "Hai Gara, sudah lama kita tidak bersua. Kau masih ingat padaku?" sapa Galasakti saat merek sudah berhadapan di arena
"Aku tidak akan membunuhmu Gara tapi akan kupastikan kau kalah dengan telak!" ungkap Galasakti sambil menghempas pedang Gara dengan sekali hembusan napas.Pedang itu serupa lembar ketas yang tertiup angin dengan mudahnya. Kini Gara tidak lagi memiliki senjata untuk melindungi diri. Dia berguling saat pedang Galasakti hendak menyayat perutnya. Alhsil hanya tanah yang terbelah karena serangan kejam itu. Kumbara dan Larasati sudah melemas, Sagara berada di ujung kekalahan. Mereka meneteskan air mata, bahkan Larasati sampai menjerit ketika darah segar menyiprat dari bagian perut Sagara. Ya, pria itu terkena sabetan pedang tajam Galasakti."Sudah hentikan! Gara sudah tidak berdaya, tolong jangan menyerangnya lagi!" teriak Larasati, ia bergegas keluar dari area penonton hendak menghampiri Sagara yang terluka parah."Bunyikan gongnya! Hentikan pertandingan ini sialan! Temanku sudah sekarat!" amuk Kumbara yang kini sudah berada di tempat penyelenggara pe
Jangan suka cemberutJangan suka khawatirItu suara kentutBukan suara petirJalan-jalan ke sama pelautBawa agar-agar dibalur susuWahai Sagara kenapa cemberutKalau sedih hati lihatlah akuSaga mengekeh geli mendengar pantun asal Omen, tak ada angin tak ada hujan, anak itu tiba-tiba muncul di samping Sagara yang tengah termenung seorang diri di belakang rumahnya.“Kenapa sih Ga, cemberut mulu, senyum ngapa senyum,” tukas Omen bermaksud menghibur.Tanpa perlu dijelaskan sebenarnya Omen sudah tahu apa alasan Sagara murung begini. Pagi tadi Saga kembali dipermalukan oleh teman-teman sekelasnya, perkara dia yang tidak bisa mengikuti kelas olahraga dengan maksimal. Saat tes renang gaya kupu-kupu, orang lain meluncur dengan indah sementara dia hanya stuck di tempat dan bergerak rusuh seperti ikan kehabisan air. Menjadi bahan t
“Mang Basir sudah lama menetap di Kentamani?” tanya Gara yang duduk tepat di samping pak kusir yang tengah berkuda. Sementara Kumbara dan Larasati duduk di kursi belakang bersama barang bawaan mereka.“Oh saya mah dari lahir di sini, Den. Warga asli.”“Berati Mang Basir tahu dong seluk beluk Kentamani ini.”“Ya jelas, Den, makanya mamang nawarin buat nganterin kalian ke perbatasan Kentamani-Purwodadu juga. Mang Basir tahu jalan tercepat menuju sana supaya aden dan teman-teman tidak kemalaman. Kentamani saat malam hari sangat tidak ramah untuk dijelajahi,” tutur mang Basir diselingi kekehan renyah namun mengingatkan ketiga orang itu pada tragedi awal mereka menginjakkan kaki di kerajaan Kentamani.“Ah, mamang bikin saya inget kenangan kelam. Lembah sawer horor banget Mang, sumpah. Itu isinya demit semua, ya?” timpal Kumbara.“Bisa dibilang begitu, Den. Sebenarnya dulu Lembah Sawer tidak semenyeramkan itu, namun setelah banyak oknum yang bersekutu dengan iblis untuk mendapat keuntungan