“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.”
“Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.”
“Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.”
Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang.
“Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.”
Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
Ningsih, Ningsih, Ningsih, ada apa ini?
Janji permen karet yang semalam dibuat Sagara dan Ningsih sudah terpenuhi. Kini Sagara lebih percaya diri dengan penampilannya, tak ia sangka Ningsih begitu pandai memotong rambut. Modelnya pun begitu kekinian dan terlihat sangat cocok untuk Sagara, kedua orang tua lelaki itu memuji putranya sangat tampan dan mengucapkan terima kasih pada Ningsih. Usai menyelesaikan tugasnya, Ningsih langsung pamit pulang. Dia mencium tangan kedua orang tua Saga dengan sopan. Saga melakukan hal yang sama, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, sebelum pergi, kucing yang semalam dibawa pulang olehnya berlari dan menghadang langkah Sagara.“Aku berangkat sekolah dulu, kamu diamlah di sini dengan tenang dan jangan membuat keributan,” pesan Sagara setelah ia jongkok dan mengelus kepala si Kucing.“Jangan sombong Sagara,” kata si Kucing membuat satu alis Sagara terangkat.Rasa penasaran Saga meronta-ronta, ingin tahu maksud ucapan si Kucing yang tiba-tiba
Taruhan yang disepakati Saga dan anak IPA tadi pagi menambah daya tarik penduduk Tribakti untuk menonton pertandingan basket. Terbukti, sore ini, setelah kegiatan belajar mengajar usai ara siswa berbondong-bondong memenuhi pinggir lapangan basket. Seolah ada pertandingan internasional yang sebentar lagi akan digelar.Para pendukung Marchel sudah meneriakkan namanya dengan heboh. Semakin menggila teriakan mereka ketika dua pemain yang akan bertanding head to head memasuki lapangan. Seorang wasit masuk bersama mereka, melempar koin untuk menentukan bola akan dikuasai lebih dahulu oleh siapa.Koin menunjukkan sisi gambar, yang berarti Marchellah pemegang bola pertama. Peluit wasit dibunyikan, bola dilempar dan permainan pun dimulai. Sorak sorai semakin nyaring terdengar—meramaikan."Marchel! Marchel! Marchel! Ayooo Marchel, kalahkan si Sampah cupu!""Go Marchel go Marchel go!"Euforia pendukung Marchel bukan main hebohnya. Memb
“Tyana minggir dong, kita mau ketemu Saga!” “Iya, resek banget sih jadi orang, sok ngatur banget emang situ siapa? Larang-larang kita ketemu Sagara.” Mata Tyana membeliak, ia berkacak pinggang di depan kelasnya dan menatap satu persatu siswi yang menutupi akses keluar dari kelasnya. “Lo semua pada gila? Gue nyuruh kalian minggir karena anak-anak kelas gue pada enggak bisa keluar gara-gara kalian.” “Salah kamu sendiri yang menghalangi kami ketemu, Saga, coba kalau dari tadi diizinin, pasti kerumunannya enggak akan sebanyak ini.” Ingin rasanya Tyana berteriak sekarang, kalau saja Damian tidak muncul mungkin orang-orang itu sudah kena semprot Tyana. “Sagara mana?” tanya Damian, belum sempat Tyana menjawab, orang yang ditanyakan sudah muncul dari belakang gadis itu. “Saya di sini, ada apa?” balas Saga langsung menghadap Damian dengan berani. “Saya sudah dengar kemenangan kamu saat melawan Marchel kemarin sore. Sesuai kesepa
“Saga bakalan baik-baik aja kan, Tya?” gumam Omen dengan suara yang masih bergetar.“Semoga dia enggak kenapa-napa,” sahut Tyana berusaha tetap berpikir positif.Sagara sudah menjadi sosok yang kuat, dia pandai bertarung. Seharusnya mengalahkan lima orang anak STM bukan masalah besar buatnya bukan?“Kaki saya gemetar, mereka itu siapa sebenarnya? Kenapa menyerang kita tiba-tiba?”“Dilihat dari atribut sekolahnya mereka dari STM Gunar.”“Guna Dharma?” Omen mengonfirmasi.“Mm, perseteruan Gunar dan Gapus kembali memanas setelah pagi ini salah satu siswa Gunar meninggal dunia karena dianiaya anak Garuda Pustaka. Tidak ada yang tahu apa alasannya, yang jelas gencatan senjata yang pernah dideklarasikan para senior mereka kini sudah dicabut. Mereka kembali menjadi musuh bebuyutan.”“Kamu tahu dari mana kabar itu?”“Topik itu sedang trending pagi
Sagara tenggelam dalam lamunan, kilat pertarungannya dengan lima anak STM itu menyapa benaknya dengan sangat jelas. Mereka lawan yang cukup kuat apalagi dilengkapi dengan senjata tajam. Meski pada akhirnya tetap Sagara yang menang, sejujurnya Saga belum puas untuk berurusan dengan anak-anak itu. Ada sesuatu yang ingin ia tahu dari mereka.Saat Sagara menyentuh salah seorang anak STM Gunar itu, mendadak tubuh Saga seperti tersengat listrik. Ada arus yang mengalir menuju otaknya sampai terputarlah adegan yang sama persis dengan bayangan yang muncul saat Saga di lapangan basket kemarin. Adegan ketika Saga disiksa di bawah derasnya hujan, ingatan yang muncul hari ini jauh lebih jelas dari kemarin. Saga bahkan bisa memastikan bahwa pria yang ditemuinya hari ini ada dalam potongan ingatan misterius itu.“Semakin lama kepingan puzzle ini semakin membingungkan,” gumam lelaki itu sambil mendesah berat.“Ah!” pekik Saga ketika ada seseorang yang is
"Aku sangat yakin klinik itu ada di jalan ini," kata Saga sambil memandangi sebuah bangunan yang jauh berbeda dengan ingatannya. Malam itu saat ia membawa si Kucing ke sana, bangunan tersebut adalah klinik hewan tapi sekarang tempat yanh sedang Sagara pandangi adalah salon kecantikan. "Kau ini bicara apa Sagara? Aku tidak mengerti." "Kucing, kamu pasti tahu alasan mengapa tempat ini bisa tiba-tiba berubah. Ke mana hilangnya klinik hewan itu?" Si Kucing sedang dalam pangkuan Sagara, ia sengaja mengajak kucing ajaib itu ke sana untuk menanyakan sesuatu. "Aku tidak tahu apa-apa." "Jangan bohong! Mustahil klinik itu bisa menghilang dalam waktu singkat. Apa dokter yang waktu itu kutemui ada hubungannya denganmu?" "Teruslah mengoceh hal aneh Sagara, semakin hari kau semakin bodoh!" "Aku tid
“Kucing, kalau kau benar-benar mengenalku berarti insiden malam itu hanya pura-pura? Itu bagian dari tipuanmu?” Setelah menyerah mencari informasi klinik misterius malam itu, Sagara pun lanjut mengunjungi pasar untuk mencari perlengkapan yang akan dia bawa di hari perekrutan OSIS nanti. Dia sudah terdaftar sebagai peserta pelatihan dan akan menghabiskan waktu selama tiga hari tiga malam untuk resmi diterima menjadi anggota OSIS sampai proses pelantikan. “Katakanlah begitu, aku menemuimu bukan tanpa alasan sayangnya aku belum bisa mengatakan alasan kehadiranku sebelum kamu mengingat jadi dirimu yang sebenarnya.” “Kenapa harus begitu? Mungkin dengan kau memberitahuku aku akan ingat siapa diriku dengan lebih cepat.” Lelaki itu menaiki tangga menuju toko peralatan kemah, Sagara diminta untuk membeli tambang, gunting, kain warna hijau, dan barang-barang lain plus persediaan makanan juga. Sagara harus belanja sendiri karena kedua temannya memutuskan untuk t
Malam hilangnya Sagara ... Malam itu seperti akan turun hujan, Sagara sedang dalam perjalanan menuju tempat makanan yang dia mau. Pemuda itu berencana membeli seblak tulang dengan tingkat kepedasan level 10, cuaca seperti mendukung niatannya malam ini. Menikmati seblak pedas di tengah rintik hujan yang menyebarkan sensasi dingin, ah pasti nikmat sekali. Di pertigaan sebelum tiba di tempat seblak, Saga mendengar riuh orang-orang yang sedang bercengkerama. Awalnya Saga ingin mengabaikan mereka, hanya saja ketika nama SMA Tribakti disebutkan, hati Sagara tertarik untuk mengetahui siapa saja yang ada di sana dan apa yang sedang dibicarakan orang-orang itu. “Kalian yakin anak-anak Gunar tidak akan menyerang Tribakti karena masalah ini?” tanya seseorang yang entah siapa, Saga melihat sebagian dari mereka masih mengenakan seragam sekolah sedangkan sisanya tidak terlalu jelas mengenakan apa karena Sagara mengintip dari jarak yang cukup jauh. Ia bersemb