Ayus memeriksa ulang pesan yang dikirim Big Boss padanya, setelah memastikan berulang kali ia yakin sudah berada di tempat yang tepat. Alamatnya sesuai dengan yang dikirim sang Big Boss.
Di depannya sekarang ada bangunan bekas stadion tua yang sudah tak terpakai lagi. Awalnya Ayus kebingungan bagaimana cara memasuki tempat itu karena sekelilingnya ditumbuhi ilalang tinggi. Suasana gelap malam hari dan minimnya penerangan di sana membuat Ayus ragu untuk menerobos tempat yang belum dia ketahui ada apa di balik ilalang tinggi itu.
Ting!
Sebuah pesan kembali masuk, Ayus membacanya secepat mungkin.
Big Boss:
Lewat jalur utara, ada pintu masuk yang lebih aman. Terus maju sampai lo menemukan kursi merah dan sebuah rompi.
Ayus mengikuti pesan sang Big Boss dengan terpaksa. Dari lubuk hati terdalam ia agak ragu mengikuti perintah bosnya ini. Bagaimana tidak, tempat yang ia kunjungi sekarang sangat menger
Ayus mulai curiga orang yang menghubunginya datang ke sana bukan Big Boss. Ia sudah mencium gelagat aneh ini sejak awal, Big Boss tidak menjawab panggilannya malah terus mengirim pesan berikut perintah anehnya.“Jangan bilang kalian yang berpura-pura menjadi Big Boss?”Sagara dan Omen saling pandang, mereka bertukar senyum—memperlihatkan betapa lucunya ekspresi Ayus yang terjebak tipu daya mereka.“Kamu paham dia ngomong apa, Men?” Saga pura-pura tidak memahami pertanyaan Ayus.“Enggak euy, lo ngomong apaan sih, Yus? Big Boss siapa? Saya sama Saga tahunya Big Boss buku. Kalau cari buku ada kan di koperasi Tribakti tuh bejibun.”“Enggak usah pura-pura anj—argh!” Ayus berteriak keras, tubuhnya tersengat listrik tegangan rendah di bagian perut dan dada. Sensasi kesemutan yang ngilu menyerang tubuhnya sekarang.“Rompi apa ini anjing!” frustrasi Ayus kesulitan membuang rompi
Ayus terlihat kaget, dia tidak menyangka Sagara bisa mengetahui hal ini. Padahal rahasia ini sudah dijaga dengan sebaik mungkin sampai polisi saja tidak bisa melacaknya.“Big Boss, dia yang menghubungi gue buat menjebak si Badar.”“Apa tujuannya melakukan itu?”“Gue enggak tahu.”Omen menekan tombol tegangan listrik, tubuh Ayus kejang-kejang lagi seperti penderita ayan kalau sedang kambuh.“Stop, Men, please! Argh!”“Makanya jawab yang jujur!” tekan Omen emosi.“Ayus, aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Kalau sekali saja kau berdusta dan membodohiku maka nyawamu taruhannya. Aku dan Sulaiman tidak bercanda. Kau tahu, rompi ini didesain khusus dengan tegangan listrik paling tinggi. Penderitaan yang kau alami sejak tadi tidak ada apa-apanya dibanding puncak yang akan kau dapat nanti—jika kau tidak bisa diajak kerja sama. Bukan hanya kulitmu yang aka
Setelah sedikit bersenang-senang dengan Ayus, Sagara dan Omen menepati janji mereka untuk membebaskan anak itu. kemudian Ayus dipaksa menyerahkan diri ke polisi dan membuat pengakuan bahwa Badar tidak bersalah. Mau tidak mau Ayus melakukan perintah itu, dia tidak punya pilihan. Masa bodoh dengan ancaman Big Boss yang akan menghabisinya kalau identitas dia sampai terbongkar. Toh, sebenarnya identitas orang misterius itu masih aman karena Ayus sendiri tidak tahu dia siapa. Informasi yang bocor hanya seputar penjebakan sisanya masih terbilang aman.Bagi Ayus, penjara adalah tempat terbaik untuknya sekarang. Jika dia berkeliaran di luar bukan tidak mungkin antek-antek Big Boss akan menyerang dan melenyapkannya tanpa jejak. Belum lagi kemungkinan Sagara dan Omen bisa kembali menargetnya jika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Biarlah dia menerima hukuman sesuai dengan kesalahan yang dia buat. Diinterogasi polisi lebih baik ketimbang dia harus berurusan dengan Sagara dan Omen
Badar mendengus namun membiarkan Sagara bersiap-siap membuka cerita. Omen pun ingin mendengar kisah Sagara dengan lebih detail, masalah Ambarwangi masih begitu bias di kepala Omen. Dia sulit percaya karena sungguh cerita Sagara seperti dongeng fantasi. “Perkenalkan, aku Sagara, seorang pendekar dari Ambarwangi yang biasa dipanggil pendekar Gara. Aku sangat terkenal di sana, mereka menobatkanku sebagai pendekar nomor satu di Ambarwangi. Namaku benar-benar harum dan selalu dipuja-puji seluruh penduduk kerajaan,” jelas Sagara dengan bangga sambil mengenang masa kejayaannya dulu. Omen dan Badar terdiam, mengerjapkan mata beberapa kali. Sagara seperti sedang kerasukan hantu paling narsis di alam gaib. “Beberapa waktu lalu, aku mengalami musibah yang sialnya begitu mencabik harga diriku. Jujur itu adalah kejadian paling memalukan yang pernah aku alami tapi harus kuakui aku kalah dari musuhku. Seorang pria misterius menusuk dadaku dengan pedangnya hingga aku j
“Kalau lo Cung, gimana? Lo juga enggak mungkin Cuma siswa biasa kan secara lo punya peralatan segini canggih yang mustahil dimiliki amatir.” “Mulut kamu tuh ya, Badar! Cung, Cung, inget! Si Ayus takluk karena rompi listrik buatan saya. Artinya kamu bebas juga karena saya.” Badar angguk-angguk antara mendengar dan tidak, mengakrabkan diri dengan Sagara dan Omen tidak sesulit perkiraannya. Perlahan namun pasti gengsinya juga memudar. Sejatinya dia memang tidak punya alasan pasti mengapa dulu suka merundung Sagara dan Omen. Mereka terlihat paling lemah dan sering menjadi bulan-bulanan penduduk Tribakti. Ya, Badar ikut saja untuk meramaikan hidupnya yang hitam. Dulu, dia berpikir membuat orang-orang susah adalah obat yang bisa menghalau sedikit rasa kecewa pada hidup yang dia miliki. badar tidak suka melihat orang bahagia jadi dia ingin orang-orang merasakan ketidaknyamanan dalam hidupnya persis seperti yang setiap hari dia rasa. “Tujuan lo apa, rencana t
Tyana mengetuk meja belajar di kamarnya beberapa kali. Tatapan mata gadis itu tertuju pada buku tugas matematika yang sudah dibuka sejak setengah jam lalu. Jika menggunakan waktu dengan benar, seharusnya dia bisa mengerjakan empat sampai lima soal. Namun kali ini, tak satu pun soal hitung-hitungan itu berhasil dipecahkan karena pikiran Tyana sedang dipenuhi hal lain.Dia terbayang-bayang percakapan Sagara, Omen, dan Badar yang diam-diam melakukan misi rahasia di belakangnya. Tyana baru mengetahui fakta mengejutkan itu beberapa saat lalu. Ketika dia sengaja membuntuti dua sahabatnya yang berkunjung ke kantor polisi untuk menjemput Badar.Pengintaian dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga keberadaan gadis itu tak terendus Sagara dan kawan-kawan. Dari hasil memata-matai kegiatan mereka, akhirnya Tyana tahu hal apa yang selama ini disembunyikan Sagara dan Omen. Tentang Sagara yang berasal dari dunia lain dan Omen yang ternyata berniat menghancurkan Tribakti. Salah satu
“Sekarang gue semakin yakin kalau Badar adalah Monster yang sesungguhnya. Dia sudah mendekam di penjara loh dan takdir terus berada di pihaknya tanpa henti. Gue penasaran gimana cara lo keluar dari sana, Dar?”Lelaki bertopi hitam yang sedang memegang botol kaca itu bertanya dengan kesadaran yang mulai berkurang direnggut minuman keras yang dia teguk.“Kayaknya dia berteman baik dengan malaikat pencabut nyawa, jadi barang siapa yang berniat mengusik Badar akan berakhir dengan kematian. Tuh, contohnya si Ayus, dia udah koid duluan sebelum sidang dilakukan pasti gara-gara menjebak Badar,” kata kawan Badar yang lain, ia mengembuskan asap rokok dari mulutnya yang berbentuk lingkaran.Badar terperangah, dia baru mendapat kabar ini. Ayus meninggal? Bagaimana bisa?“Apa maksud lo si Ayus koid?” tanya Badar to the point, dia berkumpul dengan kawan-kawannya dari Garuda Pustaka untuk menggali informasi lain namun apa yan
Sagara diminta guru bahasa Indonesia untuk menyimpan buku paket ke perpustakaan. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan Mona. Anak itu langsung menempel pada Saga dan menawarkan bantuan. Sagara menolaknya dengan sopan tapi Mona bersikeras untuk membantunya. Alhasil dia hanya bisa diam ketika Mona mengambil sebagian buku paket yang tadi dia bawa.“Saga, kamu sudah tahu tahu belum kalau ada penyusup di ruang OSIS?” tanya Mona langsung mengambil penuh perhatian Saga yang awalnya menyibukkan diri menatap ke arah lain.“Penyusup?”“Mm, kemarin saat jam pelajaran ada penyusup yang masuk ke ruang OSIS dan mengacak-acak rak berkas. Aku tidak tahu sih apa tujuannya yang jelas sekarang kak Damian sedang mencari pelakunya.”Sagara berusaha merespons biasa saja, kemarin dia agak gegabah karena sudah meninggalkan jejak. Kalau saja dia bisa bermain lebih rapi mungkin anak-anak OSIS tidak akan curiga.“Kenapa ka