Satu tahun yang lalu
“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!
Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.
Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.
Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.
“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudian kembali seperti semula. “Aku lapar,” keluhku.
“Kau akan mendapatkan makananmu jika menyelesaikan soal-soal itu.” suaranya terdengar menyenangkan ditelingaku, meskipun hanya berupa gumaman.
Aku menarik diriku untuk duduk. Kemudian kusandarkan kepalaku pada meja, sementara tanganku menyentuh bulu-bulu karpet yang menjadi alas duduk kami.
Jika saat seperti ini Damien tidak akan luluh dengan kata-kata yang kuucapkan, maka langkah selanjutnya yang harus kulakukan adalah merajuk. Kutatap dia dengan pandangan kesal dengan bibir mencebik khas diriku.
Dan Damien hanya bertahan selama dua menit. Dia akhirnya menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian menarikku hingga berdiri bersamanya.
Dengan cepat kulingkarkan kedua tanganku pada lehernya, kemudian kedua kakiku pada pinggangnya. Kusurukkan wajahku ke ceruk lehernya. Mengcium bau tubuhnya yang selalu kurindukan. Damien membawa tubuhnya ke sofa panjang di ruang TV. Menyandarkan tubuhnya pada lengan sofa, dengan kedua tangannya yang memelukku erat.
“Aku ada kelas besok,” ujarnya.
“Aku akan membolos besok,” balasku cepat.
Ugh! Aku hanya ingin menghabiskan esok hari dengan dirinya. Hanya dengan dirinya. Bergelung di selimut, membahas banyak hal dan bermalas-malasan. Aku tidak ingin keluar rumah. Aku hanya ingin di rumah dengan dirinya, seharian.
“Angel—”
“Aku ingin kau bolos denganku,” kataku keras kepala. Kulepaskan wajahku dari ceruk lehernya, menatap Damien yang membalas tatapanku dengan datar. “Aku merindukan dirimu.” Lanjutku.
Damien menarik wajahku padanya. Memberikan bibirnya pada bibirku, melepaskan kerinduan yang selama ini kumiliki untuknya. Dia yang pertama melepaskan ciuman kami. Wajahnya menatapku.
Ekspresinya penuh luka.
“Ada apa?”
Kuarahkan jariku pada wajahnya. Menyentuh pelipisnya, turun ke pipi, kemudian pada rahangnya. Aku mengusap bekas luka pada rahangnya, bekas yang ayahnya tinggalkan untuk dirinya. Selamanya.
Damien memejamkan mata. Wajahnya yang terlihat baik-baik saja saat didepan semua orang berbeda saat bersamaku. Saat ini, aku melihat wajahnya yang rapuh. Ekspresi penuh lukanya, keinginannya untuk mati, keinginannya untuk membunuh ayahnya, kebenciannya pada dunia, kebenciannya pada dirinya sendiri. Aku melihat semuanya.
Saat ini.
Damien menyunggingkan senyum.
Senyum yang rasanya cukup mengerikan. Seperti seorang psikopat yang tersenyum setelah selesai menggantung korbannya. Senyum dirinya pada keinginan kelamnya. Senyum yang sudah beberapa tahun terakhir jarang kulihat.
“Aku memimpikan dia.”
Oh!
Kalimat singkatnya membuatku bertindak secara impulsif. Kuraih bibirnya, mengambil seluruh ucapan mengerikan yang belum dia keluarkan. Membuatnya lupa untuk sesaat. Damien membalas ciumanku. Tangannya yang memelukku erat mulai melonggar, merambat lambat menciptakan hasrat yang selalu kami tahan. Sebelah tangannya menelusup kedalam kaosku. Tangannya menyentuh kulitku.
Tapi kemudian dia melepaskan ciuman kami. Tangannya kembali ketempat asalnya. Wajahnya menatapku yang merasa kecewa. “Aku mencintaimu.” Ujarnya.
“Aku lebih mencintaimu.” Balasku sebelum kembali menciumnya.
Damien menggenggam penuh rambutku, menekan dengan keras, hingga aku bisa merasakan keinginannya yang dia tahan. “Apapun itu, jangan.” Ujarku. “Kau harus terus berjalan, demon. Aku selalu bersamamu,” janjiku.
Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan apapun. Aku hanya ingin ketenangan jiwanya. PTSD yang dia idap, harus ada jalan keluarnya. Psikiatri yang sering kami kunjungi memberikan banyak progres positif.
Damien mampu terlihat baik-baik saja. Psikiaternya sangat menyukai perubahan sikap Damien dari waktu ke waktu. Tapi dibelakang psikiaternya, pikiran menyeramkan Damien tetap ada. Kemarahan yang dia simpan dengan rapi; kebencian yang dia pupuk; ketakutan yang menjeratnya; delusi yang menggerogotinya—semuanya mampu dia simpan dengan baik dan di tumpahkan padaku.
Damien… terlalu lihai dalam menyimpan semuanya.
“Mungkin kau bisa, tapi aku tidak.” Balasnya cepat. “Aku bukan orang yang pantas untukmu. Mimpiku kembali lagi, angel. Setiap malam, setiap aku memejamkan mata, aku memimpikan dirinya. Memimpikan dia menghantam ibuku dengan kursi. Menancapkan pisau pada punggungnya. Tawa mengerikannya. Aku memimpikan semuanya selama beberapa bulan terakhir.
“Kemudian saat aku bangun, aku membayangkan untuk membunuhnya dengan banyak cara kejam yang aku tahu. Kadang-kadang jika aku beruntung didalam mimpiku aku mampu membunuhnya. Kemudian ibuku kembali hidup. Kami mengubur mayatnya, atau menghanyutkannya. Kadang-kadang aku hanya meninggalkan mayatnya. Kami bahagia.
“Tapi aku hanya bermimpi, angel. Saat aku terbangun semuanya terasa menyakitkan. Aku meminum antidepresan, tapi tidak ada yang berpengaruh.”
“Kau punya aku, Damien.” Bisikku pelan.
Damien mengangguk setuju. “Hanya dirimu. Hanya kau yang selalu membuatku tenang. Setiap aku tidur dan memelukmu, aku tidak akan memimpikan apapun. Aku bergantung padamu, tapi aku tidak bisa menyeretmu pada kegilaanku. Aku tidak normal, Abby. Keinginanku untuk membunuhnya semakin kuat setiap harinya. Aku ingin berhenti. Tapi keinginan berhenti hanya saat bersamamu.”
“Bawa aku, Damien. Aku selalu bersamamu.” Jawabku cepat—menatap wajahnya yang begitu tersiksa.
Oh sayangku!
“Kumohon, jangan lakukan apapun, sayang. Aku mengetahui dirimu, aku—”
“Tapi aku tidak, angel. Aku tidak mengenal diriku.” Jawabnya. “Suatu saat kau akan takut padaku. Suatu saat kau akan membenciku. Aku tidak ingin mengalami itu,”
“Kau tidak akan mengalaminya.” Kurengkuh wajahnya. “Damien lihat aku! Apapun yang terjadi aku selalu bersamamu, aku menjamin itu. Jadi jangan melepaskan aku, okay?”
Aku bisa menatap ketidakyakinan pada matanya. Tapi Damien mencari jawaban dari ketidakyakinannya padaku. “Berjanjilah padaku, Dame. Tidak membunuh dan selalu bersamaku. Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan dirimu yang selama ini kau paksa untuk bertahan.”
Damien tersenyum sedih, memberikan sisa-sisa kepercayaannya padaku. Dia pertaruhkan sedikit rasa keinginannya untuk bertahan padaku, kemudian mengangguk setuju.
Pada seorang gadis yang baru berumur tujuh belas tahun.
Yang belum memahami dunia yang menyeramkan.
Kubalas senyum sedihnya dengan senyum tulusku. Kutepuk pelan punggungnya. “Sekarang aku benar-benar ingin makan.” Kataku mengingatkan.
Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga. “Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya. Udara terasa menyesakkan. Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku. Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik p
Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab
Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku. Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ingin melihat siapapun. Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah. Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun
Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua
Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"
Pagi hari, aku terbangun dengan mimpi Damien yang berusaha menelanjangi Hannah. Mimpi sialan itu membuat perasaanku campur aduk. Kularikan pandanganku ke sudut bawah ranjang. Melirik jaket denim yang harus kuberikan pada Damien. Ini menyebalkan! Aku baru berusaha untuk memaafkan perbuatan yang dilakukannya setahun yang lalu padaku. Tapi mimpi yang barusan kualami terasa begitu jelas, seperti kejadian yang kulihat semalam. Begitu segar, begitu memuakkan. Ponselku bergetar. Menemukan pesan dari nomer tak tersimpan. Damien, sudah pasti. Kau sudah bangun? Anehnya, pesan itu terlihat tidak seperti Damien. Pesan yang biasanya dia kirimkan hanya pesan-pesan penting, tidak seperti sekarang yang terdengar basa-basi. Setelah menatap layar ponselku selama satu menit, kuputuskan untuk mengabaikan pesannya. Kularikan tubuhku ke kamar mandi. Menyetel air hangat di shower dan me
Aku tidak tahu harus kemana. Ini masih pagi—dan hujan. Berkeliling di Forks hanya membuat bensinku habis tanpa mendapatkan apapun. Aku membutuhkan pakaian kering. Jadi, saat aku melintasi FunkyForks milik orang tua West, kulihat toko pakaian milik mereka sudah terbuka. Kutepikan mobilku disebelah jalan masuk rumah West. Dengan cepat aku keluar dan berlari menuju tempat pakaian itu. Mendapati Joan sedang menyusun kaos-kaos di bagian atasan. Dia menoleh ketika bunyi lonceng diatas pintu berdenting pelan. Wajahnya berkerut bingung karena pakaianku yang basah kuyup. "Kau berjalan kaki kemari, Abby?" suaranya terdengan kuatir. Dengan cepat dia meraih mantel baru disebelahnya, kemudian menyelimutiku yang menggigil kedinginan. Aku mengerang senang ketika mantel itu menyelimutiku. Sedetik kemudian aku teringat dengan jaket yang sempat kubawa dan kulemparkan kebelakang jok pengemudi. "Trims, Mrs. Harvey." Balasku dengan suara penuh syukur. "Dimana Wes