Nomor tujuan itu masih belum bisa dihubungi. Alva mencobanya beberapa kali tapi tetap saja nomor ponsel Elena belum aktif. Kakinya berjalan ke sana kemari tak bisa diam, membuat Mei maupun Reno geleng-geleng melihatnya.
“Dia lagi asik sama temen-temennya Va, biarlah,” ucap Mei entah yang keberapa kali berusaha menenangkan Alva yang uring-uringan.
“Tapi apa harus gak bisa dihubungi gini?” katanya. Mei menahan senyumnya melihat keponakannya ini yang sepertinya sudah tak bisa jauh dari Elena.
“Kasih dia waktu buat main sama teman-temannya Va, lagi pula ini pertama kalinya loh Elena jalan bareng mereka.” Reno yang mendengar itu sontak menoleh pada Mei.
“Serius Tan?” tanyanya yang tak percaya. Anggukan Mei berikan.
“Elena selalu langsung pulang setelah pekerjaannya selesai, ia lebih memilih istirahat di rumah daripada ikut jalan sama yang lain. Padahal sudah bisa dikatakan lama mereka bersama. Tapi s
Suara berat Alva terdengar jelas di telinga kirinya. Bagaimana tidak, Alva menumpukkan dagunya di sana. Elena terbatuk sebentar lalu menurunkan gelas yang ia pegang. Ia pun memegang tangan Alva yang melingkar di pinggangnya, ingin melepaskannya dari sana.“Lepas Va,” pinta Elena. Bukannya melepaskan, Alva malah mengendus rambut setengah basah Elena.“Rambut kamu wangi,” katanya membuat Elena merasakan sesuatu bergejolak di dalam perutnya. Posisi ini cukup intim, ia harus mengakhirinya.“Va lepas, jangan gini,” kata Elena lagi berusaha melepaskan pelukan Alva.“Alva!” Suara itu menggema, Elena sontak menoleh ke arah tangga. Audy menatapnya dengan tajam. Derap langkah itu begitu berisik, sepatu hak tinggi yang dikenakan Audy menimbulkan suara nyaring. Ia berjalan cepat menuruni tangga lalu berjalan ke arah dapur di mana Elena dan Alva berada.“Va,” lirih Elena menoleh ke arah samping. Rupany
Elena menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar. Ia mendelik beberapa kali ke arah Alva yang masih saja berdiri di ambang pintu kamarnya. Ingin melihat proses tidur Elena katanya. Tentu Elena merasa keberatan dengan keinginan nyeleneh Alva itu.“Aku gak akan tidur sebelum kamu pergi.” Elena berbicara dengan pandangannya ke arah lain, sedang malas menatap Alva yang masih bersikukuh berada di ambang pintu. Alva berdiri di sana agar Elena tak menutup pintunya, dan juga tak dapat keluar dari tempat itu.“Aku akan terus di sini, selama kamu belum tidur,” balas Alva lebih kukuh lagi. Keduanya masih diam di tempatnya masing-masing mempertahankan keinginannya. Elena juga masih memalingkan pandangannya ke arah lain, sedangkan Alva betah memperhatikan penampilan Elena yang mengenakan gaun tidur putih dengan panjang di bawah lutut begitu cantik dan juga menggemaskan padahal ia akan pergi tidur.“Cantik,” kata yang akhirnya lolos dar
Ketukan pintu ruangan Elena terdengar, Elena menoleh dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Elena tersenyum pada seseorang yang berada di balik pintu tersebut.“Tan, aku kira siapa,” ucap Elena seraya mempersilahkan Mei masuk. Mei masuk dan menghampiri sebuah sofa yang ada di ruangan Elena. Ia duduk dan kembali menoleh pada Elena yang sedang menutup pintu.“Tadinya aku mau langsung masuk aja, tapi takut mengganggu,” ucap Mei yang mengawali pembicaraan.“Apa sih Tan, enggak ko,” kata Elena yang setelahnya terkekeh.“Ya takutnya kayak waktu itu, siapa tau ada Alva lagi kan di sini.” Mei mengangkat alis beberapa kali dengan senyum miring nya yang tersungging. Elena terbelalak, ia jadi teringat kejadian memalukan itu. Mei yang memergokinya bersama Alva di dalam ruangan.“Em untuk kejadian itu, aku minta maaf Tan.” Elena menunduk dengan jemari yang meminkan rok yang ia kenakan hari ini.&nb
Elena mengatakan alasan kenapa ia menolak tawaran itu. Senyum Alva terus mengembang ketika Elena menceritakannya, seraya memakan ice cream yang kini sudah berpindah tempat dari tangan Elena ke tangan Alva. Elena melirik Alva dengan ekor matanya, pria itu masih menikmati ice cream yang tinggal setengah.“Kamu sudah makan?” tanya Elena. Gelengan Alva berikan masih dengan senyum yang terus mengembang. Elena memutar bola matanya malas, tersenyum memang baik tapi kalau terus-terusan seperti ini tanpa henti Elena jadi bergidik ngeri.“Va, kamu gak pegel apa senyum terus?” Lagi-lagi gelengan Alva berikan.“Aku terlalu senang mendengar kabar baik ini,” ucap Alva yang kini menyimpan mangkuk ice cream itu di atas meja. Mata Elena mengikuti gerak Alva yang kini bergeser mendekat padanya. Seperti malam kemarin, Alva menjadikan paha Elena bantalan tidurnya.“Va sebaiknya kamu bersih-bersih sana,” ucap Elena yang sudah mu
Pagi itu Elena sudah menyiapkan dua porsi sarapan. Satu porsi lainnya kini sedang ia pandangi seraya tersenyum. Elena menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan seraya melihat ke arah pintu keluar. Kakinya kini mulai melangkah membuka pintu dan memandangi pintu yang ada di seberang sana.Alva udah bangun belum ya? Tanyanya dalam hati. Untuk menjawab pertanyaannya itu, Elena mulai mendekat ke arah pintu unit Alva lalu memencet belnya dan mulai menunggu. Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dan mata Elena terbelalak mendapati Alva bertelanjang dada dengan rambutnya yang basah.“Maaf,” ucap Elena seraya berbalik.“Ada apa?” suara itu membuat Elena bergidik, padahal Alva hanya menanyakan maksud kedatangannya.“Emm, kamu udah sarapan?” tanya Elena masih dengan memunggungi Alva, karena ia malu harus berhadapan dengan Alva yang sedang bertelanjang dada.“Kamu bicara padaku? Tapi yang ku lihat punggungmu, b
Alva menghentikan mobilnya di depan toko kue. Ia mampir sebentar untuk membelikan Elena beberapa makanan manis yang terlihat sangat menggiurkan. Ini adalah toko kue langganan Mei yang menunya sudah Alva nikmati beberapa kali. Alva menunjuk beberapa menu yang ada di etalase untuk dikemas. Setelah selesai memilih Alva bergeser ke arah meja kasir.“Maaf, mas Alva ya?” tanya seorang karyawati yang bertugas sebagai kasir. Alva tersenyum seraya mengangguk. Mata berbinar kasir itu Alva tangkap, terlihat begitu senang bertemu dengannya.“Buat pacarnya ya mas?” tanyanya lagi. Pacar? Alva tersenyum mendengarnya.“Ya, suasana hatinya sedang tidak baik. Semoga makanan manis bisa memperbaiki moodnya,” tuturnya kemudian.“Ah ternyata Mas Alva sudah punya pacar,” ucapnya lagi kini dengan raut wajah terlihat kecewa. Alva hanya tersenyum tipis menanggapinya seraya mengarahkan ponsel pada layar kecil untuk melakukan transaksi
Naura memperhatikan Elena lebih seksama. Ia cukup terkejut dengan kedatangan putrinya itu, karena begitu tiba-tiba dan tak memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi Elena pulang dengan membawa kopernya yang ia bawa dulu ketika akan pergi bekerja di kota orang. Elena bersikap biasa saja dan terlihat baik-baik saja ketika berada di depannya dan berbincang dengannya. Saat Naura menanyakan beberapa hal tentang kepulangannya itu, Elena juga menjawabnya dengan baik dan tak terlihat kekeliruan. Elena bilang bahwa bosnya itu memberikan dia waktu untuk berlibur dan Elena memilih pulang untuk menggunakan waktu libur tersebut. Alasan yang masuk akal memang, tapi sikap Elena saat ini membuat Naura khawatir. Elena menyibukkan dirinya di dapur membantu Naura, ketika Naura berlalu sebentar dan kembali ke dapur ia tak sengaja melihat Elena yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.Sambil menunggu ikan itu matang, Elena terdiam dan menatap kosong apa yang ada di depannya. Kedua tangan yang sebelu
Elena memikirkan apa yang baru saja ia dapatkan dari Mei yaitu Mei memberikannya hari libur. Kenapa begitu pas dengan alasan yang ia berikan pada Naura, yang rupanya kini terjadi juga. Mei memberikan waktu untuk Elena menenangkan pikiran, hati dan tubuhnya. Permintaan maaf juga Elena terima dari Mei yang mengatasnamakan Rosie.Apa yang dikatakan Rosie memang menyakiti hatinya, tapi tak perlu juga untuk menyimpan rasa sakit apalagi sampai tak mau memaafkan bukan. Mulai saat ini, ia harus mencoba melupakan masalah itu dan memaafkannya. Memang tak mudah menerima permintaan maaf dan dapat melegakan orang lain, tapi Elena akan berusaha melakukan itu agar hatinya pun ikut tenang. Waktu libur ini harus digunakan dengan baik sebelum kembali dan menjemput kesibukannya, dan yang terpenting akan kembali bertemu dengan mereka. Elena juga harus tahu diri, ia tak boleh terus-menerus merepotkan Alva dalam urusan tempat tinggal. Kalau tahu akan seperti ini, ia akan menuruti kata Naura ketika