"Raisa." Terdengar seseorang menyapa.
Raisa mengalihkam pandangan pada Ben yang mendekat ke arahnya. Tanpa disuruh pria itu menarik kursi di depan Raisa dan mendudukinya. Gurat wajahnya tampak khawatir, membuat kepala Raisa ditumbuhi tanya.
"Kenapa kamu masuk kalau masih belum baikan?"
Kening Raisa berkerut dalam, bertanya-tanya kenapa Ben tiba-tiba bertanya seperti itu."Aku baik-baik saja, Kak."
"Mulai besok kamu tidak perlu masuk kantor. Kamu istirahat saja di rumah."
"Tapi, Kak ...."
"Aku akan membayar utuh gaji kamu. Tenang saja."
Raisa merasa tidak nyaman. Selama ini Ben terlalu bersikap berlebihan padanya. Dia seolah menganakemaskan Raisa, berbeda dengan sikap pria itu terhadap karyawan lain. Ya, meski Raisa tahu ada motif tersembunyi dari segala sikap atasannya tersebut.
"Persalinanku masih tiga bulan lebih, Kak." Lagi, Raisa mencoba menolak permintaan Ben.
Ben menghela napas dalam-dalam, lalu
Setelah kejadian yang baru saja terjadi, wajah Raisa merona. Mobil melaju tanpa ada kata-kata terucap dari keduanya hingga beberapa menit. Di balik kemudi, pria itu tak kuasa menahan senyum mengingat respons Raisa saat dirinya melakukan aksi mendebarkan itu.Saat Ben mendekatkan wajah, mata Raisa membulat dengan tubuh terasa panas dingin. Dia menelan ludah susah payah. Tenggorokannya terasa kerontang. Napas Ben yang berembus menerpa wajah Raisa membuat jantung perempuan itu berpacu dua kali lebih kencang.Saat menyadari hal gila itu tak patut terjadi, Raisa segera berseru, "Apa yang Kak Ben ...."Kalimat Raisa menggantung saat Ben ternyata meraih seat belt dan memasangkannya kepada Raisa. Kontan saja perempuan itu menjadi salah tingkah. Rikuh."Jangan berpikir aneh-aneh," kata Ben setelah seat belt terpasang.Raisa hanya mematung dengan pipi terasa menghangat. Perempuan itu kikuk seketika, kemudian membuang muka keluar jendela, memandang kosong lam
Raisa mematung memandang pria yang kini berada di hadapanya. Sementara, pria itu terlihat bingung melihat raut wajah Raisa yang menyiratkan rasa terkejut. Hingga akhirnya dia menyadari siapa wanita di depannya, seketika senyumnya meredup."Kalian saling kenal?" Dokter Farah bertanya, membuat Raisa dan pria itu menoleh bersamaan kepadanya."Ah, tidak. Kami hanya pernah berpapasan kalau tidak keliru," kata pria itu.Raisa hanya terdiam. Mendadak dia ingin segera meninggalkan tempat ini, ingin lekas pulang."Oh, kenalkan ini Mas Farhan ...." Dokter Farah berkata sedikit rikuh, memandang kepada Raisa dan Ben bergantian.Ben mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Farhan berpindah kepada Raisa yang terlihat menghindari kontak mata. Pria itu mengulurkan tangan yang hanya disambut dengan malas oleh Raisa sambil menyebut nama dengan suara datar, "Raisa."Kemudian dengan cepat Raisa melepas tautan tangannya. Rasa sakit yang dirinya simpan r
Ben sedang berada di beranda ketika merasakan seseorang mendekat. Pria itu terbangun dari pengembaraan jauhnya, menoleh kepada wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di dekatnya. Perempuan berwajah teduh yang telah melahirkannya."Ma, Papa belum pulang?" Ben bertanya."Papa lembur. Jadi kapan kamu akan memperkenalkan pacarmu ke mama?" Wanita itu menjawab dan langsung membelokkan topik.Ben mengesah. Selalu itu yang ditanyakan mamanya. Entah sedah berapa kali Ben didesak agar segera menikah mengingat usianya yang tidak lagi muda. Selain itu ada alasan lain kenapa mamanya tersebut selalu mendesak Ben, ingin segera menimang cucu.Ben terdiam dengan pikiran menimbang-nimbang. Sebenarnya, Ben sudah ingin mendekati seorang gadis, tetapi keinginan tersebut buru-buru dia enyahkan setelah bertemu dengan Raisa. Rasa cinta yang masih tersisa di hati, membuatnya kembali menaruh harap pada perempuan itu."Jangan bilang kamu belum menemukan wanita yang cocok?
"Raisa!" Kun memanggil Raisa. Dirinya mencoba mendekati perempuan itu dengan langkah yang terasa sangat berat. Benar-benar sangat aneh."Iya? Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Raisa seraya tersenyum ramah. Lagi-lagi terlihat sangat aneh, wanita itu terlihat seolah tak pernah memiliki masalah apa pun dengan Kun."Dia ... anakku?" Kun menunjuk gadis mungil nan manis yang terlihat sedang ketakutan melihat Kun."Bukan. Dia anakku." Raisa merengkuh kepala gadis kecilnya ke pinggul. "Anda membuat anakku takut. Tolong menjauh dari kami.""Raisa, kamu lupa denganku? Aku Kun, suamimu."Raisa menggeleng. "Suamiku sudah mati," ucap Raisa kemudian berlalu dari hadapan Kun.Kun memanggil berkali-kali. Namun, tak sedikit pun Raisa menoleh atau menjawab. Ingin mengejar, tapi persendiannya terasa lumpuh."Raisa!""Raisaaa!"Kun terjaga dengan puluh bersimbah setelah berteriak. Terduduk dengan napas tersengal-sengal.
Kun merasakan gelisah mendera. Benaknya terus saja mengulang percakapan dengan Dokter Farah dua hari lalu, tentang tujuan Raisa menemui Dokter Farah dahulu. Karena penyakit, bukan karena mengontrol kandungan. Itu artinya, Raisa mengandung dari benih Kun, bukan sebab berzina dengan lelaki lain.Betapa kejamnya dirinya yang telah menuduh Raisa berkhianat dan menalaknya pada saat hamil!Bulir bening meniti dari kelopak mata tak terasa. Kun merasa dirinya manusia paling kejam di dunia. Dia adalah monster!Kun meremas rambutnya frustasi.Ingin sekali Kun menemui Raisa. Namun, dia sudah berjanji pada Dokter Farah untuk tidak menemui Raisa lagi.Kun mengusap wajahnya dengan kasar. Ini tidak boleh berlarut-larut. Ah, persetan dengan janji yang pernah diucap!Pria itu beranjak menuju lemari pakaian. Mengambil kemeja sembarang dan mengenakannya. Dia ingin menemui Raisa saat ini juga. Dia harus meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat.
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.