Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.
Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.
Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.
Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.
Lampu tengah ruangan dan lampu lainnya masih padam. Hanya ada lampu dapur yang menyala. Itu tandanya Bik Isah sudah bangun dan mungkin sedang salat Subuh. Dengan mengendap-ngendap aku berjalan menuju kamar yang ditempati oleh Raka.
Pelan dan hati-hati kupegang knop pintu, lalu menekannya. Nampak di depan mataku, Mas Edwin tengah terlelap sambil memeluk anak lelaki itu di balik selimut. Kulepas sandal kamarku, lalu dengan kaki telanjang berjalan mendekat pada suamiku yang masih terlelap sangat nyenyak. Kuperhatikan wajah keduanya. Mereka sangat mirip. Apakah masih ada hubungan saudara dengan Mas Edwin?
Semakin aku mendekat, semakin jelas terlihat bahwa keduanya betul-betul mirip ayah dan anak. Aku tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. Pantas saja Mas Edwin bersikeras mengurus Raka, mungkin saja karena wajah mereka mirip seperti ini.
Tak ada yang bisa aku lakukan, selain setuju dengan keputusan Mas Edwin untuk mengurus Raka. Apalagi semalam suamiku memberikanku kunci mobil baru tipe matic, agar memudahkanku untuk mengantar dan menjemput Raka sekolah.
Kembali aku tersenyum tipis memperhatikan wajah anak lelaki tampan itu. Tak apa mengurus anak yatim, anggap saja ini bagian dari ibadahku kepada Tuhan. Sepertinya mandi dan salah Subuh harus segera aku tunaikan, agar saat Raka bangun, aku sudah rapi dan siap mengantarnya ke sekolah.
"Bik, buatkan sosis bakar dan roti bakar untuk Raka ya," suara suamiku terdengar dari arah dapur. Aku yang sedang membuka jendela depan ruang tamu akhirnya menoleh pada Mas Edwin. Kakiku melangkah cepat untuk menyusulnya.
"Mas, aku sudah buatkan nasi goreng untuk Raka. Sehat loh, ada sayuran, baso, dan juga sosis," kataku sambil membuka tudung saji di atas meja.
"Raka maunya sosis bakar dan gak mau nasi goreng. Biar Bik Isah buatkan untuk Raka. Nasi goreng kamu biar aku yang makan," sahut Mas Edwin sambil meninggalkanku yang tergugu di depan meja makan. Sengaja aku sibuk di dapur pagi hari, demi membuatkan nasi goreng sebagai sarapan sehat untuk Raka. Namun sayang sekali, anak lelaki itu malah lebih suka sosis bakar dan juga roti bakar.
Jujur aku semakin membenci Senin. Hari pertama yang ingin kubuat berkesan, namun berakhir menyedihkan. Kututup kembali hidangan nasi goreng dengan tudung saji. Lalu aku berjalan menuju kamar Raka. Lebih baik aku mengambil cara lain untuk dekat dengannya, yaitu membantunya berpakaian.
"Raka, Tante boleh masuk gak?" panggilku sambil mengetuk pelan pintu kamar anak lelaki itu.
"Boleh," sahutnya singkat. Aku pun tersenyum, lalu membuka lebar pintu kamar. Berapa kagetnya aku, saat mendapati Raka yang masih bergelung di dalam selimut sambil bermain tab. Bukankah satu jam lagi ia harus masuk sekolah? Aku berjalan mendekat dan duduk di ranjangnya.
Raka sama sekali tak melirikku. Ia fokus pada mainannya. Pelan aku mengatur napas, mencoba mengerti dan mengalah atas keadaan yang baru saja aku jumpai dalam hidupku. Akan berbeda rasanya jika anak sendiri. Ini anak orang lain, yang pola asuhnya sudah lebih dahulu dididik oleh orang tuanya. Maka tidak mudah bagiku untuk mengubahnya.
"Kenapa Raka belum mandi? Raka'kan mau sekolah," tanyaku dengan suara lemah lembut. Ia hanya melirikku sekilas, lalu kembali lagi menatap tabnya.
"Raka ada telinga tidak ya? Kenapa Tante tanya tidak dijawab?" tanyaku lagi masih dengan suara lemah lembut.
"Tante bukan mama Raka, jadi Raka gak mau jawab pertanyaan dari Tante," ucap anak lelaki itu dengan polosnya. Hingga membuatku tak bisa mengatakan apapun. Mulutku setengah terbuka, dan merasa sangat bodoh pagi ini, berhadapan dengan seorang anak lelaki emas yang jika aku bersuara nyaring karena tingkahnya, pasti aku yang akan disalahkan.
"Raka mau mandi Tante. Tante tunggu di luar saja ya!" Ya Tuhan, anak kecil itu mengusirku dari kamarnya yang ada di dalam rumahku. Sepertinya tidak hanya Mas Edwin yang akan membuat aku darah tinggi. Kini ditambah seorang anak lelaki yang yang terlalu cerdas bicaranya yang membuat penyakitmu semakin komplikasi.
****
Enam tahun tanpa malam pertama 10
Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.
“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana hatiku sedang kacau karena menghadapi ulah suami dan juga anak angkatku.
Kuputuskan untuk bermain social media saja di dalam kamar hingga jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu tandanya aku harus menjemput Raka sekolah. Anak lelaki itu bersekolah di sekolah swasta, sehingga jam belajar lebih panjang, tidak seperti siswa sekolah negeri. Aku sendiri baru kali ini mendengar nama sekolahnya. Dari namanya saja sudah nampak bahwa itu adalah sekolah mahal.
Aku pun bersiap dengan cepat. Aku tak mau Raka lama menunggu di sekolah. Lebih baik aku yang menunggu daripada anak sekecil Raka. Bisa menjadi masalah bagi suamiku jika aku terlambat menjemput anak kesayangannya. Begitu keluar dari rumah, mobil baru pemerian suamiku sudah terparkir manis di sana. mobil sedan keluaran terbaru berwarna merah marun kesukaanku. Ingin sekali memakainya untuk menjemput Raka siang ini, tetapi sayang, plat nomornya belum terpasang.
Kuputuskan naik mobil sedan kecil yang biasa aku gunakan ke sana-kemari. Mang Dirman sudah membuka lebar pagar di depan sana. Kutekan klakson dua kali tanda berpamitan padanya. Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang sambil menikmati pemandangan sekitaran komplek sungguh membuat perasaanku membaik saat ini. Ponselku bergetar, saat kulirik pengirimnya adalah suamiku. Karena sedang berkendara, aku memutuskan untuk membaca pesan itu nanti.
Aku terpana pada sebuah gedung sekolah tinggi dan sangat keliatan eksklusif. Benarkah Raka sekolah di sini? Bukannya anak itu diadopsi karena orang tuanya tidak mampu membiayai hidupnya. Lalu, kenapa bisa sekolah di tempat mahal seperti ini? Apa suamiku yang mendaftarkan Raka sekolah di sini. Sungguh kesehatan jantungku benra-benar tak baik. Jika iya, kenapa Mas Edwin tidak membicarakannya lebih dahulu padaku? Bukankah aku ini istrinya? Memang iya, dia yang mempunyai uang, tetapi bagaimanapun menyekolahkan anak tentunya harus berdiskusi denganku.
Mobil aku parkir di area khusus parkir tamu sekolah. Nampak mobil berjejer rapi bersamaan dengan mobilku. Mulai dari mobil biasa sampai mobil mewah. Segera aku menetik pesan pada Mas Edwin untuk mengonfirmasi semua ini. Jangan sampai aku tak tenang di jalan saat menyetir membawa Raka nanti.
“Mas, gak salah ini sekolah Raka? Bukannya ini sekolah mahal? Aku yakin bayarannya saja bisa mencapai dua juta satu bulan. Belum lagi uang masuknya. Mas, kamu harus jelaskan ini begitu pulang bekerja?”
Send
Aku sangat berharap pesan yang aku kirimkan segera berbalas, karena aku sungguh penasaran dengan semua ini. Bolak-balik kugeser layar ponsel, tak kunjung ada pesan masuk dari Mas Edwin. Pesan dariku hanya dibaca saja, tetapi belim dibalas. Mungkin dia sedang sibuk. aku memutuskan untuk masuk ke dalam area gedung. Tujuan pertamaku adalah ruang administrasi siswa. Aku ingin tahu data Raka apakah sebagai siswa baru atau lama.
Kuketuk pintu yang tertempel tulisan kantor administrasi.
“Masuk,” suara dari dalam sana membuatku membuka pelan pintu dan langsung masuk ke dalamnya. Ada dua orang petugas dan aku memilih untuk berjalan mendekat pada petugas perempuan yang kini sedang menapku.
“Permisi, Bu. Saya wali dari anak Raka, siswa kelas satu di sekolah ini,” ucapku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Oh, iya. Mari Bu, silakan duduk,” ucap ibu itu mempersilakanku duduk di depannya.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya lagi sambil membetulkan letak kaca matanya yang melorot sampai ke hidung.
“Maaf, Bu. Saya mau tanya, apakah Raka memang sudah sekolah sejak tahun ajaran baru di sini, atau baru saja masuk?” tanyaku to the point. Kening si ibu mengerut. Tentu ia heran dengan pernyataanku. Bisa saja jadinya ia curiga padaku saat ini. Namun aku mencoba abai. Dengan ekspresi sesantai mungkin aku mencoba mencairkan suasana dengan memberikan senyum padanya.
“Ibu bukannya wali dari Raka, tetepi kenapa tidak tahu?” tanyanya balik membuatku tak bisa berkutik. Tak mungkin aku ceritakan masalah rumah tanggaku padanya’kan?
“Begini, Bu. Ada sedikit miskomunikasi antara saya dan suami, karena suami saya baru saja mengangkat anak yaitu Raka. Baru kemarin juga tidur di rumah saya. Maaf, bukannya saya curhat, Bu tapi itulah kenyataannya.”
“Oh, seperti itu. setahu saya, Raka sudah terdaftar sebagai siswa baru di sekolah kami sejak Januari; saat pendaftaran gelombang satu sudah akan ditutup. Sebentar, saya cek di system ya,” katanya lagi membuat jantungku semakin berdetak tak karuan. Aku merasakan kedua kaki dan tangan yang membeku karena sangat penasaran sekaligus syok dengan kenyataan yang baru saja aku dengar. Jika Raka sudah terdaftar sejak Januari sebelum tahun ajaran baru, berarti dia memang murid lama di sini. Trus, siapa yang mendaftarkannya? Tak mungkin Mas Edwin. Apalagi suamiku itu bilang, ia baru saja membantu temannya untuk merawat anak temannya itu.
“Maaf, Bu. Di data siswa, nama anak Raka Hidayat. Nama ayah Edwin Prakasa Hidayat dan Ibu Eva Rianti.”
“A-apa? Ya Tuhan, ada apa ini?”
Bersambung
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h
Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak meno
“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi
Mobil Mas Edwin baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Suamiku itu ke kantor sambil mengantar Raka ke sekolah, sekaligus menumpangi Bu Mila sampai di TK-nya. Sungguh pemandangan yang sangat manis dan harmonis antara ibu, anak, dan ayahnya. Jika ada orang yang melihat sekilas, tentulah takkan ada yang tahu, bahwa ketiganya orang yang tak memiliki garis keturunan sedarah.Aku mengintip dengan jengah dari jendela kamar. Beberapa foto sudah aku dapatkan saat mereka sarapan pagi bersama sambil bercengkrama, dan juga foto manis saat memasuki mobil barusan. Yah, buat jaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat foto ini aku butuhkan.Mang Dirman segera menutup pintu pagar, lalu kembali ke pos jaganya. Suamiku yang paling anti menggunakan mobil ke kantor, pagi ini mendadak bersembangat. Apakah ia berniat untuk menikahi guru les Raka? Mau dia buka perawannya pakai apa? Tang? Martil? Mesin bor? Sungguh lucu suamiku ini. Aku terus saja bermonolog dengan gemas sekaligus kesal
"Terserah, kalau kamu mau ribut di sini, mari kita selesaikan di sini," ucapku dengan menahan geram. Kami semua, termasuk wanita yang bersama suamiku berada di ruang kepala sekolah. Keributan yang sengaja kubuat karena kesal bercampur amarah, telah mengakibatkan kami bertiga digiring ke kantor kepala sekolah.Aku tak ingin berdamai. Walau berkali-kali suamiku mengatakan bahwa aku salah paham. Tak mungkin aku jelaskan semua duduk persoalan pada pihak sekolah Raka'kan? Bisa malu lelaki itu jika mulut ini tak tahan untuk meneriakinya suami tak tahu diuntung."Kamu salah paham, Ria?" katanya lagi sambil memelas di depan wajahku. Namun aku bergeming, sengaja kubuang muka agar tak melihat wajah dramanya. Aku tahu ini semua hanya lakon saja. Begitu sampai di rumah bisa dipastikan pipiku merah terkena tamparannya."Begini, berhubung ini masalah rumah tangga, sebaiknya Bapak dan Ibu menyelesaikan di rumah saja. Tidak baik dan tak b