Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga
Semua keluarga sudah berkumpul di rumahku sore ini. Ada papa, oma, Om Deri, Tante Irfin dan anak-anaknya. Ada juga dari pihak dari suamiku, yaitu ibu, bapak, Ajeng;adikku dan juga beberapa sepupu lainnya.Hari ini aku membuat sukuran acara ulang tahun pernikahanku dan Mas Edwin yang keenam. Sungguh tak putus aku panjatkan puji sukur, karena selama enam tahun ini, kami selalu bisa melewati ujian rumah tangga dengan baik dan hampir sempurna.Aneka masakan aku hidangkan untuk menjamu para tamu. Mereka yang senang berkunjung ke rumahku, tentu sangat hapal betapa sedapnya setiap olahan makanan yang kubuat."Alhamdulillah, sudah enam tahun juga kalian lewati bersama. Lihat yang lain sudah beranak pinak, kamu memangnya tidak ingin, Ria?" tegur ibu mertuaku saat aku tengah menyendokkan kuah baso ke dalam mangkuk hidang."Doakan saja, Bu. InsyaAllah secepatnya," jawabku sambil memberikan senyuman hangat untuk ibu mertuaku."Ibu ya udah saban hari berdoa. Ga
Aku mengintip dari balik pintu kamar, memanstikan bahwa semua tamu sudah pulang. Termasuk mertua perempuanku. Suara di depan sana sudah sepi, hanya ada bibik yang bolak-balik membereskan rumah, dibantu oleh Mang Dirman. Sang supir kepercayaan Edwin.Aku memutuskan untuk keluar kamar, lalu berjalan menuju meja dapur. Cake buatanku tersisa hanya seperempat saja. Itu tandanya, semua tamu mencicipi dan suka dengan rasanya. Ada setitik rasa senang di sudut hati ini, saat apa yang kita lakukan untuk orang banyak dapat diterima dengan baik."Bik, basonya masih ada gak? Saya mau dong," ujarku pada Bik Isa saat dia melewatiku sambil membawa nampan berisi gelas kopi yang tersisa ampasnya saja."Habis, Non. Tadi dibawa semua sama nyonya besar," jawab Bik Isa sambil menunduk."Ya sudah, saya makan kue ini saja. Suami saya lihat gak, Bi?" tanyaku lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari keberadaan suamiku."Tuan sepertinya sedang mengan
Aku menata meja makan dengan aneka menu sarapan sehat untuk Mas Edwin, karena aku yang memasak serta mengolah semua makanan yang terhidang saat ini. Ya, walaupun saat ini ada bibik yang membantu pekerjaan di rumah, tetapi aku lebih menikmati jika makanan aku olah sendiri.Jangan tanyakan bagaimana termanjakannya lidah suamiku, yang sangat menyukai semua yang aku hidangkan. Semoga pagi ini pun ia kembali makan dengan lahap."Eh, Mas. Udah rapi. Makan yuk!" ajakku sembari menarik kursi makan untuknya. Digulungnya lengan baju kemeja hingga siku, lalu ia pun mencuci tangan pada mangkuk yang terbuat dari bahan melamin yang sudah aku sediakan."Aku ambilkan ya, Mas," ucapku lagi padanya. Kedua tanganku lincah menyendokkan satu centong nasi merah ke dalam piringnya dan juga telur orak-arik yang aku masak menggunakan margarin. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sambil menerima piring yang aku letakkan di depannya.Memang selalu seperti ini, jik
"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!"TutTutTutTak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya.Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur.TringTringKupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri."Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja
Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.“Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa ke
Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.“Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri.&
“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa me