Aku mengintip dari balik pintu kamar, memanstikan bahwa semua tamu sudah pulang. Termasuk mertua perempuanku. Suara di depan sana sudah sepi, hanya ada bibik yang bolak-balik membereskan rumah, dibantu oleh Mang Dirman. Sang supir kepercayaan Edwin.
Aku memutuskan untuk keluar kamar, lalu berjalan menuju meja dapur. Cake buatanku tersisa hanya seperempat saja. Itu tandanya, semua tamu mencicipi dan suka dengan rasanya. Ada setitik rasa senang di sudut hati ini, saat apa yang kita lakukan untuk orang banyak dapat diterima dengan baik.
"Bik, basonya masih ada gak? Saya mau dong," ujarku pada Bik Isa saat dia melewatiku sambil membawa nampan berisi gelas kopi yang tersisa ampasnya saja.
"Habis, Non. Tadi dibawa semua sama nyonya besar," jawab Bik Isa sambil menunduk.
"Ya sudah, saya makan kue ini saja. Suami saya lihat gak, Bi?" tanyaku lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari keberadaan suamiku.
"Tuan sepertinya sedang mengantar Nyonya," jawab Bik Isa lagi.
"Ya sudah, Bibik silakan lanjutkan beres-beresnya. Saya biar makan di sini saja." Aku memerintahkan Bik Isa untuk kembali ke dapur. Kue yang baru saja kupotong, kini kumasukkan ke dalam mulut. Rasanya pas. Bolu black forest buatanku tak gagal. Saat digigit, terasa begitu empuk. Apa sebaiknya aku buka toko kue online saja ya? Biar ada kesibukan.
Puas melamun dan menghabiskan dua potong cake coklat, aku pun masuk ke dalam kamar. Kuambil handuk kimono baru dari dalam lemari, lalu berjalan menuju kamar mandi. Mengguyur kepala dan seluruh tubuh, rasanya sangat pas dilakukan saat ini, agar otakku lebih segar, dan perkataan mertuaku pergi dari dalam kepala, bersama buih sabun yang ikut mengalir masuk ke lubang pembuangan air.
Kubungkus tubuh polos ini dengan kimono handuk dan membiarkan rambut basahku tergerai. Sebelum keluar dari kamar mandi, aku menyempatkan bercermin. Wajahku cantik dan masih menarik, walau sudah berusia tiga puluh tahun. Kulitku tidak hitam, tetapi kuning langsat. Aku juga lulusan terbaik di kampus dan anak sulung dari dua bersaudara. Ya Tuhan, bahkan adikku sudah memiliki dua anak, sedangkan aku masih perawan.
Tak ingin setan hadir dalam otak, bergegas ku keluar kamar mandi. Suamiku Edwin, sudah kembali dan kini tengah bertelanjang dada duduk di atas ranjang. Sepertinya dia menungguku untuk bergantian mandi.
"Kenapa tidak mandi bareng saja?" tanyaku padanya dengan senyuman menggoda.
"Ck, akal-akalan kamu saja, Ria. Saat di dalam sana, kamu paksa aku lagi melayani kamu. Padahal kamu tahu sendiri itu percuma!" jawabnya sambil berdiri, lalu berjalan cuek melewatiku begitu saja.
Kutahan lengannya. "Kita coba lagi ya, Mas. Aku punya tisu yang katanya manjur untuk dipakai lelaki," ucapku sembari menarik tangannya menuju laci meja. Kuambil kotak kecil berbentuk mirip kotak rokok berwarna hitam.
"Ini dia, Mas. Tisu magic." Aku memperlihatkan bungkusan itu pada suamiku, tetapi ia malah membuang muka sambil menertawakan sikap konyolku.
"Kamu itu terlalu banyak baca novel, jadinya ngaco! Dah, jangan aneh-aneh. Aku mau mandi, gerah!" Aku hanya bisa menghela napas kasar, saat Mas Edwin lagi-lagi menolak ideku untuk membuatnya bisa bertahan sedikit lebih lama.
Kotak tisu magic aku masukkan kembali ke dalam laci, lalu aku pun memilih duduk di atas ranjang. Aku tunggu sampai Mas Edwin selesai mandi, lalu membujuknya kembali.
Hanya lima menit menunggu, lelaki itu keluar dari sana dengan tubuh sangat segar. Rambut yang belum benar-benar ia keringkan dan sisa air masih menetes membasahi pundak dan dada suamiku, membuat seketika hasratku muncul.
Kudekati dia, lalu aku peluk dari belakang. Ia diam, tak bergerak.
"Mas, aku pengen," rengekku manja padanya.
"Main sendiri aja," jawabnya sambil menghempaskan tanganku dengan begitu kasar. Apa aku marah? Tidak. Apa aku sakit hati? Iya. Aku sakit hati. Namun, aku begitu mencintainya dan mencintai rumah tangga ini. Aku harus kuat dan melakukan berbagai cara agar pernikahan ini terselamatkan. Walau aku mungkin akan tetap menjadi perawan selamanya.
"Aku mau kamu, Mas," rengekku lagi kembali memeluk paksa pingganggnya, mencoba mengusir rasa malu dan sakit hati. Ya Tuhan, aku benar-benar menginginkan suamiku saat ini. Lalu aku harus bagaimana?
"Oke, kita coba lagi, tetapi kalau tidak bisa, kamu jangan kecewa," ucap suamiku akhirnya mengalah.
Aku membuka kimono, lalu berbaring polos.
"Sini, Sayang!" kutepuk manja sisi ranjang yang kosong, memanggil suamiku yang matanya juga mulai diselimuti kabut hasrat. Lelaki itu membuka handuknya, lalu mendekatiku dengan perlahan. Senjatanya sudah mengeras dan itu membuat darahku berdesir.
"Lah ...." aku mendesah kecewa saat lagi-lagi suamiku kalah, padahal baru duduk didekatku saja dan belum melakukan apa-apa.
"Aku bilang apa? Ngeyel sih!" Dia berlari masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkanku yang tergugu sambil meneteskan air mata.
"Ya Allah, aku harus bagaimana? Hiks ...."
****
BersambungAku menata meja makan dengan aneka menu sarapan sehat untuk Mas Edwin, karena aku yang memasak serta mengolah semua makanan yang terhidang saat ini. Ya, walaupun saat ini ada bibik yang membantu pekerjaan di rumah, tetapi aku lebih menikmati jika makanan aku olah sendiri.Jangan tanyakan bagaimana termanjakannya lidah suamiku, yang sangat menyukai semua yang aku hidangkan. Semoga pagi ini pun ia kembali makan dengan lahap."Eh, Mas. Udah rapi. Makan yuk!" ajakku sembari menarik kursi makan untuknya. Digulungnya lengan baju kemeja hingga siku, lalu ia pun mencuci tangan pada mangkuk yang terbuat dari bahan melamin yang sudah aku sediakan."Aku ambilkan ya, Mas," ucapku lagi padanya. Kedua tanganku lincah menyendokkan satu centong nasi merah ke dalam piringnya dan juga telur orak-arik yang aku masak menggunakan margarin. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sambil menerima piring yang aku letakkan di depannya.Memang selalu seperti ini, jik
"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!"TutTutTutTak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya.Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur.TringTringKupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri."Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja
Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.“Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa ke
Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.“Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri.&
“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa me
Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang se
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h