Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.
“Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri.
Kuletakkan gunting di atas rak yang memang sudah terpasang rapi di dekat taman miniku. Kucuci tangan di kran air, lalu berjalan mendekati suamiku yang masih asik bercengkrama dengan ponselku. Kukeringkan tangan dengan tisu, lalu ikut meneguk jus jeruk yang tersisa setengah.
“Lihat apa sih, Mas?” tanyaku ingin tahu.
“Semuanya,” jawab Mas Edwin singkat.
“Mas gak mau sarapan? Udah sikat gigi belum sih? Hawa mulutnya gak enak banget,” tanyaku saat membaui aroma tak sedap dari Mas Edwin.
“Biarin bau, kamunya aja cinta,” balasnya dengan penuh rasa percaya diri.
“Ya kali kalau gak cinta, udah saya tinggal’lah!” Aku memilih masuk ke dalam rumah;membiarkan suamiku melakukan apapun maunya terhadap gadget milikku. Tubuhku yang berkeringat membuat tak nyaman, aku putuskan untuk mandi saja agar tubuh dan kepalaku kembali segar. Tak kudengar suara pintu kamar yang terbuka, karena suara air shower yang aku putar full.
Klik!
Ada Mas Edwin berdiri di depan pintu kamar mandi dan bersiap untuk masuk. Dalam hati aku bersorak, sudah sekian tahun menikah, kami belum pernah melakukannya di kamar mandi. Apakah Mas Edwin ingin mencobanya? Aku memperhatikannya dengan seksama, disertai getaran-getaran halus berdesir seiring lajunya darah yang mengalir cukup lancar pagi ini. Lelaki itu menutup pintu kembali dan memandangku biasa saja tanpa kabut di matanya. Dia melorotkan celananya sampai mata kaki;kalian tahu bagaimana reaksiku? Aku menggigit bibirku gemas tanpa sadar.
“Mas,” panggilku dengan suara sedikit mendesah manjalita.
“Kenapa? Aku mau buang air. Mules nih. Kalau kamu gak tahan baunya, keluar aja dulu.
“Oh, mau buang air,” aku pun mendesah kecewa. Tanpa berkata lagi, aku melilitkan handuk di badan, lalu menyelipkan ujungnya di lipatan bagian dada. Kakiku melangkah keluar dari kamar mandi dengan penuh kekecewaan. Duduk di tepian ranjang sambil menetralkan napas dan juga detak jantungku yang ternyata terlalu GR untuk disentuh suami sendiri. Ya Tuhan, apakah aku sudah berlakon bagaikan wanita kurang belaian? Isi kepalaku tak hentinya memikirkan bagaimana caranya agar membuat Mas Edwin berhasil memerawaniku, tapi mau pakai cara apa, aku pun bingung. Kulirik pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka dan ini sudah lima belas menit dia di dalam sana. Air mandi ditubuhku sampai mengering sendiri, karena terlalu lama menunggunya selesai melakukan ritual.
Aku memutuskan untuk menghampirinya ke kamar mandi, lalu menetuk pintu itu sebanyak dua kali. “Mas, udah belum? Aku mau mandi nih!” seruku dari balik pintu.
“Iya, sebentar,” jawabnya dari dalam sana. tak lama kemudian, terdengar guyuran air tanda ia sedang mandi. Aku menekan knop pintu ingin ikut mandi bersama, sayang sekali terkunci. Aku menghela napas kecewa dengan sikap Mas Edwin. Kenapa harus dikunci? Sehoror itukah dia dengan istri sendiri?
Klik!
Pintu kamar mandi terbuka lebar. Mas Edwin keluar dari sana dengan wajah segar sehabis mandi. “Kenapa gak mandi bareng aja sih, Mas? Aku nungguin kamu lama loh. Mulai dari kamu BAB seabad, sampai kamu mandi. Kenapa pintunya dikunci?” cecarku dengan suara penuh kekecewaan.
“Gak ah! Nanti kamu perkosa,” katanya dengan wajah datar , lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Mulutku terbuka ingin sekali meluapkan kekesalan padanya, tetapi percuma, yang ada nanti kami semakin bertengkar dan takkkan pernah menemukan solusi. Memperkosa katanya? Helloo??
“Dah, mandi cepat sana! kita ngemal. Aku baru dapat bonus. Kita ganti kalung kamu dengan yang lebih bagus,” katanya sambil menarik baju dari dalam lemari. Tanpa sahutan, aku masuk ke dalam kamar mandi dengan lemas. Mas Edwin memang mapan dan mempu memberikan segalanya untukku, tetapi ia tak bisa mengisi kekosongan hati dan ragaku sebgai seorang wanita. Entahlah harus sampai kapan akan seperti ini.
Kami sudah berada di dalam sebuah mal besar yang terletak di Jakarta Pusat. Sebelum masuk ke dalam toko emas, terlebih dahulu aku menemani Mas Edwin sarapan junkfood. Ayam fried chicken dengan paket lengkap nasi, union ring, burger, serta minuman bersoda yang ada topping es krim di atasnya. Sungguh bukan makanan sehat yang harus rajin sekali dikonsumsi oleh seorang lelaki yang memiliki penyakit impotensi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Mas Edwin yang seperti anak-anak saja. Malas berdebat, aku memilih menghabiskan es krim cup coklat yang sudah ada di tanganku.
Selesai makan, kami pun masuk ke area pakaian. Mas Edwin memberikanku pakaian beberapa stel dengan harga yang tidak murah. Aku menikmatinya, walau di ujung hatiku merasakan kegersangan. Tak jauh dari kami memilih baju saat ini, ada pasangan suami istri yang juga sedang memilih pakaian. Sang istri tampak cantik dengan wajah polos tanpa make up, dan yang menjadi nilai plusnya dalah kondisi perut sang istri yang nampak membuncit besar. Jika saat ini aku sibuk memegang kantong belanjaan, maka wanita yang tak jauh dariku tengah mengusap sayang perut buncitnya. Aku benar-benar iri.
“Kamu mau punya anak?” bisik Mas Edwin yang ternyata mengetahui apa yang saat ini aku perhatikan.
“Mau, tapi jangan bilang aku bisa punya anak tapi dari orang lain,” balasku dengan sorot mata tajam pada suamiku. Lelaki itu hanya terkekeh, lalu meninggalkanku tanpa membalas ucapanku. Dia berbalik lagi, lalu mengambil totte bag belanjaan yang ada di tanganku, lalu membawanya pergi menuju kasir.
Tiba di toko emas, kami disambut dengan begitu ramah. Mas Edwin meminta pada pelayan toko emas, agar merekomendasikan perhiasan emas atau berlian terbaik untukku. Hatiku membuncah sangat senang. Di satu sisi dia memang tidak sempurna, tetapi di sisi lain, dia begitu memujaku. Membelikanku pakaian bagus, emas, menyediakan tempat tinggal mewah untukku, dan juga selalu mencukupi semua kebutuhanku. Bukan hanya itu; biaya kuliah Ariani,adikku- juga Mas Edwin yang membiayai. Apakah aku termasuk seorang istri yang tidak bersukur dengan keadaan suamiku saat ini?
“Yang ini saja!” tunjuknya pada sebuah kalung bermata kristal ungu dengan harga lima puluh juta. Lelaki itu memakaikan kalung super bagus itu di leher jenjangku. “Kamu suka?” tanyanya sambil berbisik, dan lagi jiwa matre kewanitaanku bersorak gembira, diikuti anggukan kepalaku, berikut lengkungan garis bibir yang teramat lebar. Perhiasan itu kembali dia berikan pada palayan toko untuk dibungkus. Mas Edwin juga menyerahkan satu kartu ATM untuk membayar kalung mahal yang baru saja dia pilihkan untukku.
“Jika kita mengadopsi bayi, kamu mau tidak?” pertanyaan dari lelaki itu sontak membuatku membeku.
****
Bersambung
“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa me
Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang se
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h
Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak meno
“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld