Share

Found You!

“Darimana lo?’ tanya Jefri begitu Kiran berjalan mendekatinya.

“Sonoooo,” jawab Kiran sambil menunjuk tempatnya berasal dengan dagunya.

“Dapet jodohnya?” tanya Jefri sembari berjalan menuju kasir sedangkan Kiran mengekori di belakangnya.

“Enggak,” jawab Kiran. “Nggak ketemu Dirga sih.”

“Dih pede banget bakal jodoh sama Dirga,” ledek Jefri. “Lagian ya pasti nih, do’a lo biar berjodoh sama Dirga lagi bertarung tuh di atas sana .”

“Hah? Kok?” tanya Kiran bingung.

“Yaaa.., pasti banyak juga yang berdo’a untuk di jodohkan sama Dirga Yongki Dharmawangsa, bukan lo doang.”

Kiran terdiam. Ada benarnya juga apa yang sahabatnya katakan barusan. Ia terlalu sibuk pada perasaannya sampai tak menyadari bahwa pasti ada banyak barisan kaum hawa yang juga menantikan Dirga membalikkan tubuhnya ke mereka, sama sepertinya. Tapi sayangnya selama enam tahun ini hanya punggung Dirga yang selalu Kiran lihat. Cowok itu tak pernah berpaling untuk melihatnya, walaupun sekali.

“Kan…, habis ini pasti menye-menye ke gue overthinking dah.”

BUGH!

AWWW!!”

Selamat! Sore ini, dahi mulus Kiran sukses menghantam ujung buku Jefri yang cukup tebal karena cowok itu yang tanpa aba-aba membalikkan tubuhnya. Kiran yang saat itu sedang tidak memperhatikan jalannya tentu tidak bisa mengelak dari hantaman itu. Jefri sangat terkejut dicampur ngilu melihat sahabatnya yang kini menunduk di depannya sambil memegangi dahi dan mengaduh kesakitan. Mulutnya bahkan terbuka lebar saking terkejutnya.

“Aaaa.., Jefri monyet! Sakiiiit!” jerit Kiran tertahan.

“Eh, maaf anjir! Nggak sengaja sumpah, Raaan…” Jefri memegangi dahi Kiran dengan sebelah tangannya, berusaha melihat apakah dahi cewek itu baik-baik saja atau tidak.

Tentu Kiran merasakan sakit di dahinya. Bagaimana tidak, dahi malangnya itu tadi menghantam ujung buku milik Jefri dengan keras. Kalau sekarang dia sedang berada di rumah, pasti Kiran sudah menangis. Untungnya ia masih bisa menahannya walaupun matanya sudah berkaca-kaca.

Saat sedang menahan sakit di dahinya, mata Kiran menangkap sosok yang enam tahun ini setia mengisi ruang dihatinya. Sosok yang ia tunggu-tunggu untuk membalikkan tubuhnya dan melihat Kiran yang menantinya selama ini. Sungguh, Kiran tidak mau menjadi serakah. Di sapa olehnya saja Kiran akan sangat bersyukur.

Iya, dia Dirga.

Tapi tunggu, sepertinya Dirga berjalan ke arah dua sahabat ini.

Kiran merapihkan rambutnya dengan sigap, menghapus air mata yang tadinya hampir keluar, dan mengambil paksa sebuah buku dari tangan Jefri yang membuat cowok itu terkejut.

"Apa-apaan lo ngapain ngam—"

"Jefri?" panggil Dirga.

"—bil buku gue..." sambung Jefri sambil membalikkan badannya saat mendengar sebuah suara yang Jefri sangat kenali itu

"Lah, Ga? Ngapain lo?" sapa Jefri yang memang akrab dengan Dirga.

"Mau ada pembahasan osis gitu. Anak-anak pada belum dateng, yaudah gue main dulu ke sini."

"Oh, pantes..." Jefri tercengir. Lalu merapatkan giginya dan melirik Kiran yang terdiam di tempatnya.

"Eh? Siapa sih?" tanya Dirga menunjuk Kiran, cowok itu mencoba mengingat namanya. "Sekelas sama Jefri, kan? Gue nggak inget nama lo. Pokoknya ada hubungannya sama air, kan?"

"Pffftt!"

"Anjir, hahaha!"

Terdengar suara seseorang menahan tawa dan juga Jefri yang sudah tertawa terbahak-bahak.

"Eh?" Dirga terlihat bingung. Ia mengusap tengkuknya karena merasa tak enak. "Salah, ya?"

"Keran maksudnya? HAHAHA..."

Kiran tertawa renyah. Ia menatap tajam Jefri yang masih saja tertawa dan juga seorang lelaki yang tadi sempat ia lihat membaca sambil telungkup. Ingin sekali Kiran menoyor kepala Jefri dan melempar cowok di sana dengan sepatu sketnya kalau saja tidak ada Dirga berdiri gagah nan tampan di depannya sekarang.

"Aduh, Ga... makasih, lho, udah bikin gue ngakak," ucap Jefri disela tertawanya. "Dia Kiran, masa lupa? Dari SD barengan geh."

"Oh, iya, Kiran!" Dirga tertawa lalu menepuk jidatnya. "Maaf ya, Ran. Gue lupa banget."

Kiran tersenyum kaku, "Nggak apa, Dir,” katanya. Padahal dalam hatinya ia benar-benar gemas karena kelakuan Dirga yang satu ini. Dirga si pelupa, tidak pernah berubah dari dulu. Saking gemasnya, ingin rasanya ia berpacaran dengan Dirga dan p

"Yaudah, Jef, gue duluan ya. Mau nyari buku dulu,” pamit Dirga pada Jefri, dan hanya menganggukkan kepala pada Kiran.

Kiran memandangi punggung Dirga yang perlahan menghilang dari pandangannya. Ia menghela nafas gusar dan memberikan buku milik Jefri kembali ke pemiliknya.

"Ngapain sih ngambil buku orang segala?" Tanya Jefri seraya mengambil buku dari tangan Kiran.

"Nggak tahu. Mungkin alam bawah sadar gue mikir siapa tahu dia jadi tertarik sama gue yang kelihatan 'anak buku' banget," jawab Kiran jujur.

"Yaelah, Ran, jangan jadi sad girl gitulah. Kasihan gue dengernya, jadi pengen jauh-jauh dari lo." Jefri pergi menuju kasir, meninggalkan Kiran yang masih berdiri di tempatnya.

"Eh, bentar... tadi sebelum berangkat gue bilang ke Jepri alasan gue make up karena siapa tahu ketemu jodoh disini kan..." batin Kiran. Matanya liar, ia memikirkan ucapannya dengan Jefri sebelum keduanya berangkat kemari. "Jadi apa ini tanda, kalau jodoh yang gue maksud itu beneran Dirga?"

Kiran menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan semburat merah yang muncul dengan sendirinya karena malu dan senang dengan halusinasinya sendiri. Lalu ia menghentak-hentakkan kakinya karena terlalu senang. Namun perempuan itu tidak menyadari  bahwa ada sepasang mata yang melihat tingkah Kiran, sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau gue jadi manusia, gue ogah jadi manusia kayak dia, terlalu halu." Terdengar sebuah suara bermonolog. "Heh, jangan halu-halu banget jadi orang tuh. Astaga, sumpah ya, jangan buang-buang waktu lo buat hal yang sia-sia kayak gitu. Banyak kaum kayak gue gini yang bahkan memohon sama Tuhan selama bertahun-tahun buat mengembalikan waktu yang terbuang gitu aja. Tapi Tuhan nggak ngabulin. Lalu akhirnya itu semua hanya jadi penyesalan tiada henti."

Kiran mematung. Perlahan, ia menyingkirkan tangannya dan memicing ke sumber suara.

"Apa kata lo barusan?" tanya Kiran ketus pada sesosok lekaki itu.

Yang diajukan pertanyaan menghembuskan nafas jengah, ia bahkan membungkukkan badannya dan berkacak pinggang. "Gue bilang jang— EH ANJ?!"

Si lelaki tiba-tiba berteriak sambil menutup mulutnya. Ia terlihat kaget setengah mati, bahkan tubuhnya terhuyung ke belakang dan bola matanya membesar. “JADI LO BENERAN BISA LIHAT GUE?!!” serunya.

Sedangkan Kiran masih tak berkutik di tempatnya.

"Menurut lo?" jawab Kiran masih ketus. "Maaf ya, mas, gue mau negur sekalian nih mumpung ada lo di depan gue. Pertama, lo jangan seenaknya baca sambil ngejogrok di lantai kayak dirumah nenek gitu. Kedua, lo nggak sopan ngetawain orang. Ketiga, nggak usah ribet sama urusan orang lain.”

Kiran membenarkan tas selempangnya yang turun lalu pergi begitu saja dari hadapan si lelaki yang masih mematung di tempatnya. Lelaki itu tidak bergerak se-inci pun dari tadi. Kemudian ia memandangi Kiran yang berjalan menghampiri Jefri di kasir, memukul dan tertawa bersama Jefri, lalu setelahnya mereka pergi dari gramedia.

Lelaki itu benar-benar tak bisa berkutik. Akhirnya ia menemukan seseorang yang bisa melihatnya setelah hampir tiga bulan lamanya ia sendiri, kesana kemari tanpa tujuan pasti. Tidak ada yang bisa melihatnya bahkan manusia yang mempunyai indera ke-6 sekalipun.

Selama ini, ia hanya berdiam diri di toko buku ini. Membaca buku-buku resep makanan guna menghilangkan rasa bosan. Sosok ini menganggap dirinya arwah yang belum bisa naik ke atas karena ada hal yang belum di selesaikan di dunia. Tapi anehnya, seorang indigo pun tidak bisa melihat wujud anak ini. Lantas, hal itu membuat dia bingung harus berbuat apa. Ia hanya berkomunikasi dengan sosok-sosok yang tidak menyeramkan di toko ini.

Mungkin kamu harus menemukan seseorang yang mempunyai ikatan batin kuat denganmu,” ujar salah satu sosok di toko buku. “Mungkin seperti jodoh yang tertunda?”

Saat mengingat kembali perkataan sosok itu, ia merasakan sesuatu dalam dirinya saat ini berbicara. Seolah menyuruh lelaki itu untuk terus di dekat perempuan yang barusan bicara dengannya.

Tangan kirinya turun menuju dada. Entah kenapa, ia merasakan sesuatu bergejolak di dalam sana yang tak seharusnya ada. Lalu ia melihat gelang yang melingkar di tangan kirinya itu.

Hae • Chan

Sebuah gelang dengan ukiran nama. Satu-satunya petunjuk untuk dirinya yang bahkan tak ingat siapa namanya. Lalu ia bertekad akan berjuang agar perempuan tadi mau setidaknya membantunya mengingat tentang masa kehidupannya. Atau bahkan jika mungkin, menjadi temannya.

"Heh, maneh kalau bengong gitu mulu cewek tadi bakal ilang atuh, blegug."

Lelaki itu menengok ke sumber suara. Disana ada 'penunggu' lain, seorang bapak-bapak yang mungkin sedari tadi menontonnya terdiam.

"Buru susulin," lanjut bapak itu.

"Eh? Iya atuh, Pak, punten ya."

Lelaki itu tiba-tiba menghilang, lalu muncul di tempat makan. Ia mencari perempuan gramedia tadi namun tak ada disana. Ia menghilangkan dirinya lagi dan berakhir di timezone namun perempuan tadi tak kunjung ia jumpai. Tapi dalam hatinya yakin, ia akan segera bertemu dengan perempuan itu. Lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status