Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas.
Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional.Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat, di depan rumah Bu Ningsih.Bu Rahma menimpal dengan conggaknya, "Iya, ya, Jeng. Padahal Si Keyra itu orangnya nggak pernah keluar rumah, kerja aja nggak pernah, kok bisa sih, dapat orang kaya-raya?"Tetangga julid dengan seribu asumsi yang menyaingi sangkalan debat, sudah menjadi bagian dalam kehidupanku.Aku meremas ujung rokku, menahan sesak di dada. Ingin sekali kubalas ucapan mereka, tetapi aku selalu teringat perkataan ibu,"Di luar sana, tidak semua orang mau menerima kenyataan, Nak. Ada yang lari dan terus berlindung, di balik kata 'tidak mungkin'. Ada pula yang mendesak orang lain, agar tidak mempercayai kesuksesan kita. Biarlah orang berkata apa, sampai mulutnya berbusa dengan kepalsuannya. Kita hanya perlu mengupgrade diri menjadi lebih baik lagi ke depannya, untuk membuktikan bahwa argumen mereka salah."Kepercayaan diriku kembali, kulewati ibu-ibu rempong itu dengan santai. Pintu sedan putih dibukakan oleh sang supir. Aku masuk sambil melambaikan tangan, pada ibu yang masih berdiri di ambang pintu kayu. Rumah sederhana peninggalan mendiang kakek tampak mengecil, sepanjang jalannya laju kendaraan.Aku memasang sabuk pengaman. Supir dan wanita muda itu duduk di kursi depan. Lima belas menit berlalu, kami tidak saling berbicara, dan hal itu membuatku bosan. Kurapikan penampilan berulang-ulang. Mataku tidak bisa terpejam, mungkin karena aku tidak begadang, di malam sebelumnya."Ada yang perlu saya bantu, Nona Lilac?" tanya pelayan wanita yang mempunyai rambut blonde itu. Style yang ia kenakan tampak modis, seperti bukan seorang pelayan biasa. Apakah ia adalah sekretarisnya Ganta?"Eh, hum, sa ... saya cuman ngerasa bosan, kalau tidak sambil mengobrol." Aku menyampaikan keluhanku padanya. Umur kami sepertinya tidak terpaut jauh. Menurutku, ia berusia sekitar tiga atau dua tahun lebih tua dariku, karena wajahnya yang terlihat muda."Agar Anda tidak bosan, saya bisa menjelaskan apa saja yang akan Anda tanyakan tentang Tuan Dean," ujarnya ramah."Ini adalah kesempatan emas untukku," pikirku dalam hati. Aku berusaha keras mencari pertanyaan yang tepat. Tentu saja, memikirkan cara agar bisa lepas dari pernikahan dengan cara baik-baik."Anda sekretarisnya Mas Ganta, ya?" Pertanyaan awal kubiarkan terdengar normal."Panggil saja Selly, Nona. Saya bukan sekretarisnya Tuan Muda Dean." Selly menoleh dengan senyuman di wajah ovalnya.Mulutku membentuk huruf O. Dahiku berkerut."Saya dan Pak Rian merupakan pegawai lama di Perusahaan Arzo. Bisa dikatakan, kami berdua sudah sembilan tahun bekerja untuk Arzo Group. Kerja sama yang terjalin, akhirnya menjadikan kami tangan kanan kepercayaan Tuan Dean, Nona," ucapnya menjelaskan panjang lebar.Pak Rian yang sibuk menyetir pun ikut berkata, "Tuan Dean adalah orang yang baik, meski terkadang mudah berubah-ubah. Anda hanya belum terbiasa dengan karakter tak terduga sepertinya, Nona. Saya yakin, Anda akan bahagia, jika Tuan Dean sebagai pasangan Anda.""Dari mana Mas Ganta tahu tentang diriku?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari pita suara. Aku tidak lagi menyaring ucapanku."Kami tidak tahu menahu kalau soal itu, Nona. Seingat saya, Tuan Dean bilang, Anda adalah wanita tercantik yang pernah dia temui, di Jembatan Ampera," jawab Selly seraya kembali menghadap ke depan."Kurasa saya masih cukup muda untuk menikah. Bukankah benar begitu, Selly?" Aku menundukkan kepala."Setiap orang punya pilihannya masing-masing, Nona. Saya berusia tiga tahun lebih tua dari Anda, dan sudah punya tiga anak kembar. Pernikahan itu bukan hanya tentang pemikiran kapan dewasanya, tetapi juga tentang adaptasi pola pikir."Aku tertegun sambil memikirkan ucapan Selly. Di tengah perjalanan menuju lokasi, aku diam saja setelahnya. Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan pada mereka. Selly dan Pak Rian juga membungkam. Suasana pun hening kembali. Hanya suara angin yang bertabrakan dengan laju mobil, menghiasi perjalanan menuju kediaman Keluarga Arzo.*Sudah tiga jam menunggu kedatangannya. Namun, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Jam digital di atas televisi sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dari kaca jendela berukuran besar, sang mentari telah memancarkan sinar hangatnya."Berapa lama lagi aku harus menunggu kayak orang bodoh gini?" batinku menjerit lelah. Kesabaranku hampir habis. Aku bosan menjadi pihak yang menunggu. Sedangkan, ia yang ditunggu tak muncul-muncul juga.Aku duduk di sofa mewah yang empuk. Di depanku, ada banyak hidangan yang menggugah selera. Tiga pempek kapal selam telah kuhabiskan, hanya untuk menunggu kepulangan tuan muda kesayangan Nyonya Fiani–Ibunya Ganta.Prang!Suara benda jatuh terdengar ke segala ruang. Aku hampir tersedak, karena bunyi yang begitu memekakkan telinga. Dua lelaki pegawai rumah, beserta tiga pembantu wanita tengah menopang seorang pria. Aku berlari kecil, berniat membantunya juga.Akan tetapi, ia marah, dan tiba-tiba mengatakan bahwa, aku hanya ingin harta keluarganya. Keangkuhan yang belum pernah kulihat, ada pada sorot matanya yang seakan merendahkan."Kamu nggak bisa bohong, Ra! Aku tahu, kamu cuma pura-pura cinta sama aku, kan? Kamu mau diajak nikah, karena aku kaya-raya, kan?"Air mataku berlinang. Tangan kananku dicengkeram kuat oleh tangan kekar miliknya. Urat nadi yang terlihat dari tangannya, membuatku bergidik ngeri."Jangan diam aja, dong! Jawab dengan jujur!" bentaknya kasar. Entah kenapa Ganta bisa berubah seperti itu. Setelah dia menarik tanganku lebih dekat ke dadanya, barulah aku tahu, dia sedang mabuk."Udah, Tuan. Kasihan atuh sama Si Eneng." Wanita paruh baya berperawakan kurus menarik bahu majikannya, tetapi ditepis dengan cepat oleh Ganta."Kalian semua nggak usah ikut campur! Ini bukan urusan kalian, ngerti? Kalau ada yang berani melawanku, aku nggak akan segan-segan buat pecat siapa pun!" ancamnya dengan penekanan di akhir.Para pembantu rumah itu beserta pengawai lainnya memberikan jarak, yang cukup jauh dengan kami berdua. Hanya ada aku dan Ganta, di tengah-tengah keramik yang bersusun seperti bunga kristal es itu.Wajah tampannya berubah menjadi merah padam. Tidak dapat kutemui lagi kehangatan di sana. Semuanya terbenam di balik amarahnya."A ... aku nggak pernah bilang kayak gitu sama kamu, Ganta. Aku nggak pernah memanfaatkan harta kamu. Aku nggak punya niat seburuk itu sama kamu." Aku meronta, berusaha melepaskan cengkeraman pria itu."Halah, jangan berkilah kamu, Liora! Kamu pikir, aku mau dibodohi berkali-kali?" timpalnya sambil memandangku dengan sorot tajam."Si siapa Liora, Gan?" Aku berhasil melepaskan tangannya dariku."Nggak usah bertanya hal yang nggak perlu kujawab!" Ganta berteriak keras."Nggak! Sekarang, jawab aku, Gan! Siapa itu Liora?" desakku seraya memukuli dadanya.Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent
Kami berada di Bandara Udara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ruang waiting room tampak ramai oleh turis mancanegara. Jam di arloji kiriku menunjukkan pukul enam pagi."Kamu pasti sangat merindukannya, kan?" Ganta merangkul pinggangku. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Ra."Aku hanya diam saja. Pikiran buruk yang selintas berlalu di angan, nyatanya salah besar. Aku kira, Ganta akan melakukan hal yang tidak-tidak."Pesawatnya lepas landas tiga puluh menit lagi. Kalau kamu tetap di sini, kamu bakalan ketinggalan pesawat," pungkasnya kemudian.Aku menatapnya dengan tatapan sayu. "Pernikahan kita bagaimana? Kalau aku pergi, keluargaku nanti ...."Ganta meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungilku. "Sttt! Aku bakalan atur sisanya. Kamu bilang, ingin pergi menemui Elgin di Kalteng, kan? Ya, lakukanlah."Pria yang awalnya bertingkah laku bak iblis itu, menampilkan senyuman manis seperti malaikat penolong. Namun, aku bisa melihat ada guratan-guratan kesedihan, yang terpancar dari uki
Pusat kota yang ramai. Keindahan alam yang bersatu dengan kehidupan masyarakat, sangat indah sekali. Andai ponselku tidak hilang, mungkin sudah penuh dengan foto-foto aesthetic di sana. Sangat disayangkan, tidak mengabadikan banyak momen.Aku ditraktir makan mie ayam oleh Satria. Pria itu agaknya menganggapku sebagai seorang adik. Ya, dia pernah keceplosan,"Aku dari dulu pengen punya adek perempuan, Ra. Boleh nggak aku anggap kamu gitu? Eh, maaf, kita baru kenal, dan nggak sopan kalau aku sampai banyak bicara yang nggak-nggak."Akan tetapi, tujuanku bukanlah untuk bersenang-senang. Ya, karena pertemuan kami pasti akan menemui perpisahan, aku pun sedikit menjaga jarak dengannya. Lagi pula, dia adalah orang baru, dan belum bisa dipastikan, apakah baik dengan maksud terselubung, atau memang benar-benar baik.Aku menghembuskan napas dalam-dalam, setelah menghabiskan dua mangkok mie ayam porsi besar. "Ya ampun, aku kebanyakan makan. Eh, Sat, maafin aku, ya.""Nggak apa-apa kok, Ra. Santai
Aku tidak mungkin salah dengar. Entahlah, aku sedikit tidak yakin juga."Ra, kamu yakin ini tempatnya?" Satria berhenti di dekat gerbang. Tempat itu tampak sepi, tak ada yang belajar, karena hari Minggu.Sudah enam jam perjalanan menuju ke Kabupaten Kapuas. Kata Dara, rumahnya ada di dekat SMAN 1 Kapuas Hulu. Setelah mencari kemana-mana, tetapi aku tidak menemukan sosok gadis jago karate itu.Mbak Farah memberitahukan bahwa, Dara adalah temannya di jejaring facebook. Mereka berkenalan sudah cukup lama. Aku meminjam akun milik Mbak Farah, untuk menghubungi Dara. Sayangnya, selain kabar baik, ada pula kabar buruk."Semua akun media sosial milik Kak Elgin udah nggak aktif lagi, sejak dua hari yang lalu, Mbak. Pas aku tanya ke Kak Toni, dia malah nggak jawab sama sekali. Besoknya pas aku lihat nomor WA-nya, nomorku udah diblokir." Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Dara.Kamu hilang tanpa kabar, semenjak pulang dari rumah sakit. Dara bahkan belum sempat menjengukmu. Katanya, ada ba