"Aku punya kabar baik untukmu, Ra." Kamu berjingkrak-jingkrak, seperti orang yang menang undian seratus milyar."Apa?" Aku antusias mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan, di kala senja itu. Rinai hujan yang mengguyur kita, tak kugubris.Kamu mendekat, memegangi kedua bahuku. "Kita akan segera menikah."Aku bahagia bukan kepalang. Rasanya, hanya aku yang paling beruntung. Sayap-sayap cinta kita yang selalu gagal terbang, akhirnya melebar jua."Kamu seneng, kan? Sama, aku juga." Kamu memelukku dengan sangat erat. "Aku nggak bakalan nyakitin kamu lagi, Ra."Aku menyadari sesuatu yang aneh. Tiba-tiba mataku membulat, lebar seperti lingkaran sempurna. "Elgin?" aku memanggilmu seraya membuat jarak di antara kita.Kamu bertanya dengan keterkejutan di wajah, "Kamu kenapa kayak nggak senang gitu, Ra? Kamu nggak suka ya kalo kita nikah? Atau jangan-jangan kamu masih mikirin Si Ganta?"Tuduhan yang kamu layangkan, kubalas dengan satu pertanyaan, "Apakah kita mendapatkan restu dari keduanya?
"Kau pikir ini bukan kesalahanmu? Kau lihat sendiri surat ini baik-baik!" Kak Lintang meletakkan kertas yang sebelumnya kamu remukan di atas meja."Kalau saja mamah nulis nama kamu sebagai alasan dia bunuh diri, kamu mungkin udah beneran masuk penjara, El." Kak Meri yang baru datang malah memanaskan emosi.Kita berempat berkumpul di gudang belakang, setelah pemakaman selesai dilakukan. Dalam suasana duka, kedua kakak tirimu itu masih saja menaruh dendam.Ayahmu memanggil, mungkin tak keenakan karena pertengkaran itu terdengar hingga ke luar, "Elgin, Keyra, Meri, Lintang, kalian di dalam, kan?"Kak Meri meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. "Sttt! Awas aja ada yang ngomong!"Aku sedikit menundukkan kepala, takut pada wajah bengis kakak perempuanmu. Tidak lama setelahnya, ayahmu tak lagi berteriak memanggil nama kita. Tampaknya dia sudah cukup bosan berdiri di depan pintu yang masih saja tertutup itu. Karena tak ingin ayahmu menguping, Kak Lintang memastikan, apakah dia pergi atau mas
Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu cocok disandangkan padamu, Elgin. Setelah lima belas hari ibumu berpulang, ayahmu juga ikut kembali ke langit.Banyak tetangga yang mencibir, jikalau keluarga Zoidern terkena covid. Ya meksi, ayahmu sempat panas tinggi, Dokter Farhat tidak membenarkan itu adalah gejala covid 19.Penghujung tahun yang mengenaskan. Siapa yang dapat memperhitungkan kematian secara akurat? Tanda-tanda mungkin saja bisa disadari. Namun, apakah bisa ditentukan?Batu nisan yang ada di sana, kamu peluk erat seakan tak ingin lepas lagi. Mata yang paling indah di semesta tak kunjung berhenti mengeluarkan permata indahnya. Kamu terlihat sangat rapuh, ketika menangis.Payung-payung hitam yang ada di atas kepala, satu per satu mulai bepergian. Masker yang kita kenakan basah terkena derasnya musim hujan. Saat itu, hanya tersisa aku, kamu, dan Rossa. Gadis cantik di sampingku masih setia memayungimu. Ketulusannya berbahaya untuk hubungan kita. Aku akui, ra
"Kenapa!? Kenapa kamu jahat banget sama aku, El!? Kamu pembohong! Kamu bilang, kamu cinta sama aku. Tapi kenapa kamu ninggalin aku kayak gini!?" Aku menangis, menjerit keras, hingga lelah sendiri berteriak-teriak seperti orang gila.Sudah hampir sembilan bulan kamu, Elgin Zoidern, menghilang. Padahal tidak lama lagi, kita akan merayakan anniversary yang ke-tiga tahun. Ya, hubungan kita telah terjalin lama, tetapi rasa sayangku sudah melebihi kapasitas. Ibarat tangki, kurasa air yang ditampung sudah membanjiri dunia. Terlalu cinta itu memang tidak baik. Namun, aku masih saja melakukannya.Aku menceritakan keluh-kesahku tentang hubungan kita pada Wita—adikku. Ya, seperti yang kamu tahu, aku adalah seorang remaja yang memiliki sikap introvert. Bagiku, menyendiri adalah teman yang paling mengerti, di kala sunyi. Saat itu, adikku menyarankan agar, aku menabung untuk membeli tiket ke Palangkaraya—Kalimantan Tengah.Bukannya aku tidak mau berjuang, El. Kamu tahu, kan? Aku belum mempunyai pe
Sejak malam sial itu, insomniaku semakin menggila. Aku tidak bisa tidur nyenyak, setelah ayah bertengkar hebat dengan ibu. Di satu sisi, keluargaku sudah tidak punya uang, untuk membayar hutang bulanan. Sementara itu, menerima perjodohan adalah jalan menyakitkan, yang mau tak mau sepertinya harus kutempuh.Jujur, hatiku sebenarnya masih berharap kamu kembali. Aku tidak ingin membangun mimpi dengan orang baru. Ketika keluargaku membutuhkan banyak uang, kala itulah, ia datang dengan segudang kekayaan. Siapa yang tidak tergiur dengan harta melimpah? Semua orang butuh uang, bukan?"Bu, Keyra izin keluar sebentar, ya?" ucapku meminta pada wanita paruh baya, yang sibuk mencuci piring, di wastafel."Jangan lama-lama, ya, Nak!? Di luar sana banyak orang asing, Ibu takut kamu kenapa-kenapa," seru ibu tanpa menoleh ke arahku.Aku berdandan rapi. Rambut cokelat panjang, kugerai ke belakang. Di ujung rambutku dibuat gelombang bak ombak kecil, di tepian pantai. Pagi itu, sengaja tak kupakai make u
Nomor WhatsAppku telah diblokir oleh Kak Irene. Entah apa alasannya. Pesan terakhirnya begitu menyayat hati kecilku. Apakah hubungan kita sebenarnya tidak direstui keluargamu, Elgin? Di sana, kakakmu menuliskan,"Lupakan dia. Akan jauh lebih baik, kalau kamu sama Elgin nggak sama-sama. Mamah setuju banget sama Rossa. Kakak rasa, El bakal nikah sama Si Rossa. Bukannya kenapa, Dek. Kakak juga nggak mau kamu tersiksa lagi ke depannya. Menikahlah dengan pria lain, yang jelas bukan adikku."Sebenarnya, kamu bener-benar menginginkan atau hanya mempermainkan? Jangan membohongi hati yang tulus, Elgin! Aku tidak suka permainan, dan membenci setiap kalimat palsu. Tidak usah berucap janji, jika hanya ada kehampaan setelahnya. Hubungan kita bukan sehari atau dua hari. Lama. Aku menghabiskan banyak waktu, untuk menjadi satu-satunya di hatimu.Aku sepertinya memang harus melupakan semuanya. Menjalani hidup tanpa senyuman lagi, mungkin sudah takdirku begitu. Usahaku mencari uang untuk tiket pesawat
Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya. Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan. Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira
Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat