Yang perlu ku lakukan adalah lebih waspada terhadap keadaan sekitar. Menjauhi tempat sepi adalah hal yang paling penting. Mungkin saja mereka sedang memperhatikanku dari belakang, lalu akan menyerangku saat sedang lengah, seperti di parkiran waktu itu.
Namun, sudah 24 jam berlalu, aku belum melihat pergerakan dari Pak Wang ataupun anak buahnya. Pak Wang juga belum menghubungiku kembali.
Mungkinkah kemarin itu cuma gertakannya saja?
Pak Wang hanya mengancam dan tidak sungguh-sungguh berniat melenyapkanku dari muka bumi?
Benar, mungkin dia tidak berani melakukan tindak kriminal sebesar itu.
Hingga malam ini, aku me
Akhirnya aku bisa melemaskan punggungku. Menyandarkannya pada sandaran sofa saat para polisi itu beralih kepada Riska sekarang. Para polisi yang datang bersama Pak Daniel saat kejadian itu. Aku harus memberikan beberapa keterangan dan menceritakan semua kejadian yang ku alami. Ternyata Pak Daniel juga berhasil mendapatkan bukti rekaman saat aku disergap di parkiran waktu itu karena salah satu kamera dashboard mobil merekam semuanya. Semua orang yang berhubungan dengan kejadian itu belum diperbolehkan pulang, termasuk Pak Daniel. Aku menoleh ke arah Pak Daniel yang duduk di salah satu sofa. Ternyata
Baiklah. Aku akan mendengarkan saja dan tidak akan berkomentar apapun. Apalagi saat itu tentang kehidupan Pak Daniel. “Ibu… meninggal saat melahirkan. Ayah bilang, jika saja saya tidak pernah datang ke dunia ini, mungkin Ayah masih bisa bersama Ibu saat ini. Beliau benar.” Tidak. Itu tidak benar. Aku mengernyit. Merasa ada sesuatu yang salah. Tuan Lambert menyalahkan anaknya sendiri atas kematian istrinya saat melahirkan Pak Daniel? Bagaimana bisa Tuan Lambert menyalahkan Pak Daniel bahkan sejak ia masih seorang bayi yang baru mengerti caranya bernafas? Itu alasannya kenapa Tuan Lambert bersikap kasar?
"Kamu mau lihat Mas Ari kerja di atas kursi roda?" Aku memberengut di depan layar ponsel yang menampilkan sosok Mas Ari di seberang sana. Sedang memperlihatkan wajah tidak percaya karena aku terus meneleponnya seakan aku menyuruhnya untuk cepat-cepat bekerja. "Bukan gitu…” sahutku. Ikut memberengut. “Ada apa? Ada yang bikin nggak betah disitu?” Mas Ari membenarkan posisi duduknya yang kurang nyaman, membuat kamera sedikit bergoyang. “Mit, orang kerja nggak boleh milih-milih tempat.” “Iya, iya… Mita juga ngerti. Bukannya nggak betah. Mita cuma takut-” Takut jatuh cinta lagi pada orang yang sama.
Cepat-cepat aku menarik tanganku. “Ma-maaf.” Wajahku terasa memanas. Tapi Pak Daniel malah tersenyum. Senyum lepas yang membuatku terpana. Tawa yang ia tahan untuk beberapa saat, akhirnya ia keluarkan juga. Aku semakin malu, tapi suara tawa yang terdengar renyah di telingaku, malah membuatku ikut tersenyum. Apalagi sudah lama aku tidak melihat senyumannya yang seperti itu. Bahkan sejak bertemu kembali, aku tidak bisa melihat yang lain selain raut wajah seriusnya itu. Mungkin karena hubungan kami juga sangat kaku. Kalau bisa dibilang, aku merindukan bagaimana kami dulu. Saat-saat itu… saat-saat dimana aku bisa santai berada di dekatnya. Membicarakan apa yang terjadi di hari-hariku dengannya. Membicarakan tentang sekolahku, tentang temanku. Bersandar di bahunya tan
"Mbak, besok ada waktu? Bisa temenin Rama?" "Kemana?" Aku membalas. "Biasa. Inspeksi kuliner." di akhir tulisannya Rama menambahkan emoji tertawa. Setidaknya begitulah sebagian chat Rama kemarin. Kami menyebut berburu kuliner sebagai inspeksi karena kami biasanya tidak hanya sekedar mencoba makanan baru, tapi juga mengamati rasanya. Mungkin saja bisa memberikan kita ide untuk varian menu baru. Dan Rama paling pintar akan hal itu. Mungkin memang sudah ada bakat yang mengalir dalam darahnya. Dia secara ajaib bisa menebak kalau makanan ini pasti bisa lebih enak kalau ditambah ini atau itu.
"Jangan salah paham. Saya juga tentu senang, jika kamu bisa melupakan apa yang terjadi dahulu. Itu berarti, kamu menjalani hidupmu dengan baik. Hanya saja… saya butuh jawaban yang benar-benar keluar dari mulutmu sendiri. Setelah itu, mungkin saya juga bisa memulai kehidupan pribadiku sendiri."Mulutku terkatup rapat. Pengakuan itu tiba-tiba sekali. Dia masih berharap aku kembali ke sisinya? Apa perasaan kita ternyata masih sama?Ada rasa lega, ternyata dia sama sekali tidak ada perasaan lebih terhadap wanita di sekitarnya. Aku juga merasa senang, dia belum melupakanku, masih menyimpan perasaan terhadapku.Tapi, aku juga merasa bingung. Apa aku benar-benar tidak ingin kembali ke sisinya? Bahkan setelah aku tahu bagaimana perasaannya terhadapku?
"Udah ah, jangan bahas itu." Sashi merengek hingga akhirnya bahan pembicaraan kita kembali teralihkan. Aku merekomendasikan Sashi harus datang dan menginap ke resort tempatku bekerja. Dia pasti akan menyukainya. Ada banyak tempat yang bisa ia singgahi. Sashi merasa tertarik dan berjanji akan segera berkunjung. 1 jam kemudian, kami tiba di tujuan. "Mit, anterin gue masuk dulu yuk." "Ck. Kayak anak TK lo, Sas." Aku berdecak, tapi kemudian ikut turun dari mobil. Walau aku tahu tempat apa di hadapanku ini, tapi sungguh aku belum pernah menginjakkan kaki masuk ke dalam tempat seperti ini.
Aish! Bunyi alarm adalah sesuatu yang paling kubenci saat ini. Dengan kesal, aku meraih ponsel di meja samping tempat tidur lalu mematikan alarm. Kenapa alarmku sudah berbunyi? Aku melirik jam di sudut layar. Rupanya memang sudah waktunya berbunyi. Jam 5 pagi, huft… rasanya aku baru tidur sebentar. Dengan berat hati aku berusaha turun dari tempat tidur. Aku butuh air. Entah kenapa tenggorokanku berasa tidak enak. Keluar dari kamar, aku langsung menuju dapur bertepatan dengan Milen yang juga keluar dari kamarnya. Dia melirikku sebentar dan seperti diriku, dia mengambil segelas