Setelah mendapat telepon dari Kenneth, Sean memacu mobilnya menuju Forklore. Sesampainya di jalan di mana apartemen Kenneth berrada, ia mencari keberadaan GMC yang dimaksud oleh Kenneth. Dapat. SUV hitam itu terparkir di ujung jalan, beberapa puluh meter di belakang Evo hitam putih.
Pemilik alias 'Buck' itu menepikan mobil dan memarkirnya tepat di belakang Evo hitam putih. Ia kemudian keluar dari mobil dengan mengenakan topi dan memasuki minimarket. Pria itu langsungg menuju kasir dan membeli sekotak rokok.
Dari apartemen Jenny, Kenneth kembali ke minimarket. Mendapati mobiil Sean, ia tahu si rusa telah tiba, Kenneth mempercepat langkah. Saat memasuki minimarket, Sean baru saja membayar rokoknya.
Sean menoleh pada Kenneth. "Boleh aku meminjam toilet?" Kemudian meminta izin pada gadis kasir.
"Ya, ada di sana," tunjuk gadis kasir ke arah toilet di belakang minimarket.
Setelah Sean meninggalkan kasir, Kenneth menghampiri meja kasir. "Tol
Setiap dukungan dari reader, adalah oksigen yang memberikan semangat bagi Bee untuk terus melanjutkan ceritanya sampai TAMAT. So, jangan lupa, comment, rate and vote❤️
Robert berdiri bergemin di depan jendela ruangannya, pandangannya menerawang jauh menembus malam. Denver duduk dengan menumpukan kedua sikunya pada sandaran lengan kursi, memandang penuh harap pada punggung atasannya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Robert menarik nafas dan membuangnya kasar. "Bisa kauberikan waktu sedikit lagi?" Jelas tergambar gurat lelah pada wajah pria yan mukai menua itu. "Wanita itu memberikan waktu tak kebih dari 24 jam." Denver menawar. Sekian menit berlalu dalam diam. Hingga akhirnya suara Robert terdengar memiliki harapan. "Laporan dari Aaron dan Zac menyebutkan bahwa kasus ini juga melibatkan SIA." Robert memastikan kembali. "Benar. Tersangka pembunuh Elton adalah buronan SIA." Denver membernarkan. "Kau punya kontak orang SIA itu?" "Ya." "Kirimkan padaku." Tanpa berkata lagi, Denver mengeluarkan ponsel dari saku kemeja putihnya, lalu mengutak-atik ponsel itu. "Sudah ku
Salinan di tangan Daniel memperlihat sebuah foto pria muda berusia awal dua puluhan, berambut cokelat. Di samping foto itu terdapat logo SIA. Ia membaca bagian-bagian terpenting pada berkas itu. Pada dua halaman pertama berkas itu Daniel mendapatkan latar belakang Kenneth yang terdaftar sebagai Agen SIA sejak sembilan tahun lalu dengan nama Kenneth Delwyn Larssen, seorang anak angkat dari mendiang agen SIA Marc Patrick Larssen. Informasi penting lain yang Daniel tangkap adalah bahwa Kenneth merupakan putra tunggal mendiang seorang polisi narkoba bernama Samuel Richard Henry. Daniel melanjutkan ke halaman berikutnya yang mencatat sejumlah operasi yang pernah dan sedang dijalankan oleh Kenneth. Pencariannya langsung tertuju pada operasi terakhir Kenneth. Saat ini Kenneth sedang menjalankan Operasi Speedzone—Operasi pengejaran organisasi kartel narkoba terbesar bernama 'Underzone'. Melanjutkan pada dela
Sarah sedang membaca novel ber-Bahasa Spanyol pemberian Owen, saat terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Keluarga Stanley. Tak biasanya ada yang berkunjung pagi-pagi di rumah Keluarga Stanley. Sarah melongok ke luar jendela kamar. Terlihat olehnya sosok pemuda keluar dari sebuah crossover berwarna ungu, berambut hitam sebahu tergerai, terlihat berciri Asia Timur. Sarah mengenali sosok itu. Sarah buru-buru mencari kimono pelapais pakaian tidurnya. Terlambat, Kevin sudah lebih dahulu menyambut kedatangan Shoujin. “Untuk apa kau datang ke sini?” Kevin mencegat Shoujin di beranda rumah dengan bertolak pinggang. “Aku ingin menjemput Nicky,” jawab Shoujin tenang dengan wajah yang tak ramah seperti biasa. Sambil berjalan, ia memasukkan kunci mobil ke saku jaket kulit hitamnya. “Dia tidak di sini!” Kevin turun dari beranda rumah, menghampiri Shoujin. Ia menghadang Shoujin dalam jarak yang sangat dekat, kurang dari satu meter. “Benarkah? Tapi dia yang memintaku datang.” “Dan bagai
Dering alarm ponsel tak henti berbunyi nyaring, mengganggu si mata sipit yang masih tertelungkup di ranjang dengan pakaian lengkap, termasuk jaket dan sepatu. Pria itu mengerang. Tangannya meraba-raba nakas hingga mendapatkan ponselnya. Mengintip sekilas layar ponsel, 08.30 a.m. Ibu jarinya menekan tombol di layar, kemudian suasana Kembali tenang. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Aaron terlonjak dan duduk di pinggiran ranjang. “Aargh …!” Ia mengacak rambut seraya beranjak dari ranjang, melepas jaket dan sepatunya, lalu melemparkannya begitu saja, dan keluar dari kamar. Aaron menatap pantulan dirinya di cermin di kamar mandi. Wajahnya terlihat kusut, sekusut suasana hatinya. Ia menghela nafas. Setelah selesai dengan semua persiapannya, Aaron memesan taksi melalui aplikasi ponsel. Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Aaron bergegas memasuki mobil itu. Tujuannya adalah markas SAPD. Ia harus menghadiri pertemuan yang akan berlangsung tiga puluh menit dar
Setelah pertemuan singkat dengan Brenda dan Yuri, Kenneth mengebut dengan Evo-nya menuju Rhein's. Pria itu menepikan mobilnya tepat di belakang crossover ungu metalik. Sepintas ia menoleh pada mobil asing itu ketika berjalan menuju pintu masuk Rhein's. Model mobil itu mengingatakan Kenneth pada mobil Zac—tipe yang sama, buatan pabrikan yang sama. Toko roti Shoujin selalu ramai di Hari Minggu, seperti hari ini. "Selamat datang," sambut Satoru dan Karina saat lonceng di pintu berdenting. "Halo," balas Kenneth sembari tersenyum ramah dan mengedar pandangan mengitari counter, dan mendapati Satoru ada di sana. Ia pun menghampiri pemuda seusia Karina itu. "Apa kau sudah menyelesaikannya?" Kenneth masih memasang wajah manusiawinya. Merasa seseorang bertanya padanya, Satoru menoleh ke arah sumber suara. "Oh, ya." Kali ini pun Satoru menunjukkan ekspresi yang juga manusiawi, berbeda dengan ketika pertama kali mereka bertemu, saat Kenneth memberikan titipan Owen padanya. Pemuda sebangsa Sho
Hanya hening dan secangkir kopi—seperti biasa—yang menemani Kenneth tenggelam di antara tumpukan data digital pada laptopnya. Si kucing berbayang-bayang keributan dan masa lalu yang kelam telah bergelung lelap di kamarnya setelah lolos dari sekarat. Sedangkan si mata sipit belum pulang. Semua file terkompresi yang tersimpan dalam flashdisk yang baru selesai dibongkar oleh Satoru telah Kenneth salin ke brankasnya, terkumpul pada sebuah folder bernama 'Bye Bready'. Satu per satu file Kenneth buka.Dari hasil pemerikasaannya, ia menemukan informasi yang cukup penting. Francesco Connelli. Sebuah nama yang tak asing di lingkup SIA, dengan nama sandi 'Digger', kecepatannya dalam mengumpulkan data, termasuk ketika harus membobol brankas level 6, membuatnya menjadi isu yang paling berbahaya. Ia adalah data miner terbaik yang pernah SIA miliki dan belum ada yang menggeser posisinya. Berpartner dengan O
Nicky mengetuk pintu kamar Kenneth untuk membangunkannya. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Hati-hati sekali Nicky memutar kenop pintu. Setelah terbuka, ia masuk. Kenneth masih tidur telentang dengan sebelah tangan tertumpu di atas perut. "Kenny." Nicky menepuk perlahan pundak Kenneth supaya tak mengejutkan "Kenny, bangun. Sudah waktunya sarapan." Ia kembali menepuk pundak Kenneth. "Kenny bangunlah. Aku sudah membuatkan sarapan untukmu." Masih tak mendapat jawaban, Nicky mendesah. Ia lalu membungkuk dan mengamati wajah lelah Freak Brother #1. Wajah itu hampir selalu terlihat lelah. Namun meski begitu, tetap saja terlihat mempesona. Si kucing mendesis frustrasi. Kenneth kakaknya, bisa-bisanya ia mempunyai ketertarikan 'semacam itu', layaknya ketertarikan seseorang terhadap lawan jenis. Kenapa harus ada kutukan seperti ini? Seatap dengan laki-laki tampan, bahkan kadang seranjang, tetapi tak bisa memiliki hubungan lebih dari sekedar saudara. Nicky
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan