Share

05

Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.

“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.

Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.

Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.

“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak sekali barang yang ada di lemari obat dan Iris yakin pasti ada hal-hal asing yang ia tidak ketahui. “Tapi—”

Aria memotong perkataannya. “Aku sudah memberitahu Max” katanya. Di saat yang sama, Max masuk ke dalam ruangan dengan beberapa buku di tangannya. “Ya, kan?” serunya kepada Max.

Max menoleh ke arah Aria, masih menyeimbangkan buku di tangannya sambil berusaha membuka satu lemari dengan tangan lainnya yang bebas. “Iya dan tenang saja, itu bukan hal yang sulit,” katanya.

Aria berjalan ke arah Max dan berkata, “Sebelum itu…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Max menoleh ke Aria dan menatapnya dengan bingung. “Ada apa?” tanyanya.

“Tidak ada seorangpun petugas kebun yang bisa dipercaya,” kata Aria dengan nada kesal. “Tidak ada yang merawat tanaman herbal yang di rumah kaca dan ketika aku menegur, mereka hanya mengira itu adalah tugas orang farmasi,” Aria melanjutkan omelannya di tengah-tengah ruangan, membuat Iris melirik ke sekelilingnya berharap tidak ada orang lain yang tiba-tiba masuk ke dalam dan membuat gosip tidak menyenangkan tentang mereka.

“Tidak tahukah mereka kalau tanaman tersebut—”

Max mencengkram bahu Aria dengan satu tangannya yang bebas, menghentikan omelannya. “Lebih baik kau lanjutkan apa yang harus kau lakukan daripada mengomel,” katanya dengan pelan. Disaat itu, untuk kesekian kalinya Iris mempertanyakan siapa yang superior di antara mereka.

“Oh, benar juga.” kata Aria. “Kalau begitu, temui aku di rumah kaca jika kau sudah mengembalikan buku itu,” lanjutnya, mengambil beberapa langkah menjauh.

“Baiklah…” kata Max pelan. “Cobalah untuk tidak mencari keributan dengan salah satu dari petugas kebun.” lanjutnya dengan sedikit memohon. Iris benar-benar berharap Aria mengerti itu karena Iris sama sekali tidak ingin menjadi salah satu bahan gosip karenanya.

Aria berkedip beberapa kali seperti ia sedang memproses setiap kata yang keluar dari mulut Max.

“Oh, jangan khawatir.” Aria tersenyum. Senyumannya terlihat ramah dan tulus. Max dan Iris baru saja menarik sedikit nafas lega, sebelum perkataan Aria selanjutnya membuat berubah pikiran.

“Aku akan melakukannya jika mereka memulai terlebih dahulu.” Aria melipat lengannya di depan dada, berjalan menuju pintu. “Sampai jumpa nanti!” Wanita muda tersebut melambaikan tangannya ke arah Iris, sebelum ia menghilang dari balik koridor.

Max menghela nafasnya, pasrah. “Aku… memiliki hak untuk khawatir, benar bukan…?” Ia bergumam kepada dirinya sendiri.

“Sepertinya ia adalah orang yang sangat… sulit,” kata Iris dengan prihatin.

Max menggelengkan kepalanya dan menoleh untuk menatap Iris, ia berkata, “Oh, kau akan lebih merasakannya setelah beberapa minggu atau mungkin lebih cepat.” Ia meraih beberapa buku yang berbeda dan memberikannya kepada Iris. “Tolong kembalikan ini ke perpustakaan dan temui kami di rumah kaca setelah itu,”

“Eh?” Iris menerima buku-buku tersebut dengan kedua tangannya. “Baiklah.” katanya. Max langsung pergi menyusul Aria.

Iris keluar dari farmasi dan berjalan menelusuri koridor yang panjang.

Cleon menyadari buku-buku yang Iris pegang dan alisnya saling bertaut melihatnya. “Apa kau mulai terbiasa di farmasi istana?” Tanyanya.

“Ya,” kata Iris. “Sepertinya begitu,”

Cleon menyunggingkan senyum lebar, menunjukkan deretan giginya. “Dari semua orang disini, hanya orang-orang farmasi saja yang membawa buku-buku tebal tentang tanaman.” katanya.

Sebuah ide muncul di kepala Iris. “Kau mau baca? Aku bisa meminjamkannya kepadamu.” katanya.

Cleon menatap Iris dengan kedua alis saling bertaut, tidak percaya apa yang ia dengar. “Tidak, terima kasih.” katanya tanpa pikir panjang. “Membaca membuatku mengantuk.” lanjutnya.

Iris berkedip beberapa kali. “Baiklah kalau begitu,” katanya. “Permisi, aku harus pergi.” Iris berjalan cepat dan mulai melangkah menjauh dari Cleon.

Awalnya hanya terdengar suara langkah kakinya, namun beberapa saat kemudian, suara langkah kaki dari orang lain terdengar— saling beradu, bergema di koridor yang panjang. Iris menyadari bahwa Cleon mengikutinya, namun ia tidak mengatakan apa-apa sampai Iris berhenti melangkah dan Cleon pun ikut berhenti.

“Jadi,“ katanya tanpa melihat ke belakang. ”Apakah ada hal yang ingin kau katakan atau kau hanya akan mengikutiku ke mana-mana?“ Iris berbalik menghadapnya, Cleon hanya berdiri di belakangnya dengan wajah datar.

Iris menghela nafasnya. ”Apa ada yang kau perlukan?“ tanyanya dengan pelan.

Cleon terlihat terkejut dengan pertanyaan tersebut. Kedua matanya melihat ke segala arah seperti mencari alasan yang tepat. Iris menyadari hal sepele seperti itu dan menaikkan satu alisnya. Cleon menggelengkan kepalanya dan berkata, “Ayo, aku antar kau ke perpustakaan.”

Iris menaikkan satu alisnya. “Tiba-tiba?” tanyanya. “Kau tidak menawarkanku bantuan tadi,”

Cleon tertawa pelan dengan canggung, mengusap tengkuk lehernya. “Aku hendak kesana juga.” katanya. “Aku berani bertaruh kalau kau tidak mengingat lokasinya ada dimana dan akan mengandalkan instingmu saja,”

“...Terserah kau saja,” kata Iris dengan pelan.

Cleon membimbingnya melalui satu set pintu kaca yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi, dan ia menunjuk ke atas ketika mereka berbelok ke koridor terbuka yang mengarah ke perpustakaan.

Iris melihat dua patung di taman. Patung gargoyle yang terbuat dari batu berwarna hitam, kedua sayap dalam posisi melebar— siap untuk terbang, bertengger di masing-masing tempatnya, mulutnya terbuka lebar seolah kedua patung tersebut sedang meraung tanpa suara.

“Sungguh mengerikan,” bisik Iris.

 “Kau tahu? Ketika aku masih kecil, aku bahkan tidak mau mendekatinya," Cleon mengakui.

Iris menoleh ke arahnya. “Sejak kecil? Sejak kapan kau tinggal disini?” tanyanya.

“Ayahku juga seorang pengawal di istana. Bahkan ayahku telah menjadi seorang kapten.” kata Cleon. “Jadi aku memang banyak menghabiskan waktu disini.”

Iris mengangguk dan melihat dua patung di hadapannya. “Kau akan melihat sesuatu seperti itu di depan gerbang utama untuk memberikan kesan seram terhadap penyusup— bukan di dalam istana,” katanya. “Sudah berapa lama patung ini disini?"

Cleon mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang ia tahu. ”Seingatku, ayahku bercerita bahwa Raja membangunnya di tahun yang sama dengan kelahiran Pangeran Adrian.“

Iris harus bertanya kepada seseorang yang tidak asing dengan seluruh tempat ini. Dan saat ini, Cleon adalah satu-satunya pilihan yang aman. Kesan pertamanya terhadap Cleon, ia terlihat orang yang lugu untuk seseorang seumurnya dan Iris berharap ia akan memberikan sedikit jawaban yang ia cari. ”Raja yang sekarang?“ tanya Iris dengan pelan.

Cleon mengangguk. ”Tentu saja.“ katanya. ”Memangnya ada berapa banyak Raja kerajaan ini yang memiliki seorang anak bernama Adrian yang lahir di istana ini?“

Iris mengedikkan bahunya. ”Mengapa ia memasang patung yang begitu menyeramkan?“ tanya Iris lagi.

”Kenapa kau bertanya padaku? Tentu saja aku tidak tahu.“ kata Cleon. ”Dan kau terlalu banyak bertanya,“ lanjutnya.

Itu semua hanya tebak-tebakan. Iris masih tidak tahu apa-apa dan tidak banyak yang ia kenal untuk bertanya. Siapa pun di sini yang mungkin punya jawaban adalah orang-orang asing baginya. Iris tidak mempercayai mereka. Setidaknya untuk saat ini, belum.

Iris memeriksa patung tersebut lebih lama. Jari gargoyle tersebut tebal dan cakar menunjuk ke arahnya. Iris berani bersumpah bahwa rahangnya telah melebar. Iris tidak ingin berlama-lama menatap patung menyeramkan tersebut. Tangannya membuka pintu perpustakaan dan melangkah masuk.

Ruangan itu luas dan berlangit-langit tinggi. Dinding-dindingnya berupa jendela dari lantai ke plafon, menyuguhkan pemandangan bangunan-bangunan tinggi dan perkotaan di kejauhan. Semuanya dilapisi oleh batu marmer yang berwarna abu-abu dan biru, ada banyak pilar-pilar menjulang tinggi yang diperkirakan belasan meter tingginya, di atasnya juga membentuk setengah lingkaran seperti kubah, dihiasi dengan motif bintang dengan delapan sudut. Lantainya dari batu berwarna senada.

Dindingnya pun tidak polos. Ada banyak bingkai foto dengan berbagai ukuran dan berbagai waktu, lukisan dan berbagai macam hal tergantung di sana. Berbagai patung-patung dan juga vas-vas unik juga terpajang di atas etalase yang terbuat dari batu. Di sisi kiri dan kanan, ada puluhan rak buku yang berderet dengan rapi. Hanya dengan melihat banyaknya rak buku, dapat diasumsikan bahwa kemungkinan ada ratusan atau bahkan ribuan buku-buku disini.

“Wow,” seru Cleon dengan takjub. Ia berdiri setelah mengambil beberapa langkah masuk ke dalam, kedua matanya membulat karena terkejut bahwa betapa besarnya perpustakaan ini.

Iris menoleh ke arahnya. “Aku kira kau sudah pergi,”

Cleon terkekeh pelan. “Aku ingin tahu seperti apa perpustakaan ini,”

Iris berkedip berkali-kali. “Kau sudah lama disini dan baru pertama kali melihat perpustakaan?” tanyanya dengan heran.

Cleon mengedikkan bahunya. “Aku sudah bilang tadi kalau membaca membuatku mengantuk,” katanya. “Jadi, aku tidak pernah masuk ke sini, bahkan untuk sekedar mengintip pun tidak,”

“Sama sekali?”

“Ya.” Cleon menjawabnya dengan nada yang terdengar bangga.

“Baiklah kalau begitu…” Iris tidak tahu harus mengatakan apa.

“Kau dapat aku tinggal kan? seharusnya kau tidak akan hilang di dalam perpustakaan“ Cleon masih melihat sekelilingnya, masih terlihat takjub dengan luasnya ruangan tersebut.

“Iya, terima kasih…?” kata Iris dengan tidak yakin.

“Sama-sama.” jawab Cleon dengan senyuman dan pergi meninggalkan Iris sendirian.

Iris melihat Cleon pergi hingga pintu perpustakaan tertutup rapat. Ia menoleh, menatap sekelilingnya lagi untuk mencari keberadaan seseorang. “Permisi,” serunya. Namun tidak ada jawaban dan Iris pun tidak melihat ada siapapun.

“Apa tidak ada petugas disini?” Iris bergumam dengan heran.

Ia pun berjalan mengeliling belasan rak buku yang lebar dan penuh, mencoba mencari rak yang tepat untuk meletakan kembali buku yang ia pegang. Tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya meremang. Tanpa aba-aba, ia langsung membalikkan tubuhnya, kedua matanya mencari sesuatu yang dirinya sendiri pun tidak tahu apa. Namun, Iris dapat merasakan seperti ada yang sedang mengawasinya.

Kedua alisnya saling bertaut dan jantungnya berdegup kencang. Iris berusaha tenang hingga ia selesai mengembalikan buku. Ia juga berusaha menyakinkan dirinya bahwa yang ia rasakan hanyalah perasaannya saja. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut.

• • •

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status