Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.
Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melihDebu yang menempel pada permukaan botol kaca terlihat begitu tebal, bahkan menutupi label kertas yang menempel pada botol tersebut. Seorang remaja bernama Iris Campbell— sedang menggosoknya dengan ujung lengan bajunya sebelum ia mengingat peringatan dari ibunya untuk tidak menggunakan pakaiannya sebagai kain lap. Sebagai gantinya, Iris mengambil kain yang selalu ia bawa dan masuk di dalam saku celemek kerja yang ia kenakan. Iris menggosok botol itu dengan kuat, sedikit demi sedikit memperlihatkan tulisan tangan yang tertera di label tersebut. Tulisan tangan yang rapi, menandakan apa isi dari setiap botol yang tersimpan dengan rapi dan sesuai dengan kategorinya pada setiap lemari setinggi tiga meter. Di ujung lemari, tertutup oleh toples kaca, Iris menemukan satu toples berukuran sedikit lebih besar dan badan toples tersebut masih terbungkus oleh kertas. Dengan rasa penasarannya yang besar, Iris mengambil toples tersebut.
Beberapa hari telah berlalu semenjak kedatangan Max ke farmasinya. Hal yang tidak terduga adalah ketika sepucuk surat dengan amplop berwarna putih gading yang disegel dengan segel lilin berlambangkan simbol kerajaan dikirimkan kepada Iris. Iris telah disetujui oleh kerajaan untuk menggantikan ayahnya di posisi farmasi kerajaan dengan syarat masa percobaan selama satu tahun. Tidak hanya itu, satu hari setelah kedatangan surat tersebut, ada orang kerajaan lagi yang datang, mengukur badan Iris untuk membuatkan seragam. Hal itu hanya berlangsung selama dua hari. Iris akan menjadi gila kalau lebih dari dua hari. Di hari pertamanya untuk memulai kehidupan barunya, Iris terbangun dengan suara gaduh di dapur. Karena posisi kamarnya berada tepat di atas dapur, suaranya terdengar lebih keras. Iris hanya dapat mendesah keras. “Iris! Sampai kapan kau ingin tidur?” Myra berseru memanggilnya sambil menaiki tangga menuju ka
Iris menjelaskan alasan mengapa ia berada di sana kepada pengawal tersebut. Hal tersebut cukup memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan. Karena pengawal tersebut meminta bukti surat dan harus menunggu konfirmasi dari orang farmasi terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Iris untuk masuk. Salah satu dari mereka memutuskan untuk mengantarkan Iris masuk ke dalam area istana.Pengawal tersebut adalah seorang pemuda yang Iris tebak usianya sekitar dua puluh lima tahun— empat tahun lebih tua dari dirinya. Ia bertubuh ramping tapi kekar. Tidak hanya rambutnya, matanya pun berwarna hitam. Kulitnya menjadi terlihat lebih pucat akibat seragamnya.Seragam berlengan panjang berwarna hitam, berleher tinggi dengan belasan kancing di sisi kiri, celana panjang hitam dengan lencana emas yang tertera simbol kerajaan serta sepatu boots berwarna hitam dengan sebuah garis berwarna putih pada kedua sisinya.“Ayo,” kat
Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman
Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak se
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang